Mama.. Maafkan Nara, Ma. Nara tidak bisa mendengarkan Mama lagi. Mulai detik ini, Nara tidak akan pernah mau tinggal bersama Papa lagi. Nara akan bawa Mama ke rumah baru kita. Meskipun itu hanya rumah kontrakan kecil, kita pasti bahagia kok kalau tinggal di sana. Karena di sana tidak ada Papa lagi."
Nara mengucapkan segalanya dengan suara yang sangat kecil, jadi Mamanya yang masih tertidur itu tidak bisa mendengar apapun lagi.
"Mama.. Semoga saja, Mama bisa bahagia tinggal bersama Nara tanpa Papa. Karena sekarang kita hanya tinggal berdua, Nara janji, Nara akan cari kerja dan itu untuk biaya hidup kita nantinya."
Nara tetap mengoceh sambil terisak. Dia melepaskan semua air matanya malam itu di samping Mama nya. Semua kesedihan dan amarah yang tertahan, disalurkannya melalui isak tangis tanpa suara.
"Mama.. Sebenarnya, apa yang telah terjadi di masa lalu? Kenapa aku jadi kepikiran terus dengan perkataan Papa? Apa ada rahasia yang kalian berdua sembunyikan dariku selama bertahun -tahun? Aku memang tidak mau mempercayai Papa, tapi Ma, dalam hati kecilku berkata aku percaya dengan kata - kata Papa. Karena Papa sudah selingkuh dan kasar pada Mama, pasti itu semua berhubungan dengan masa lalu Mama. Aku harus mencaritahu semuanya, Ma. Kalau Mama tidak mau memberitahuku, aku akan mencaritahunya sendiri," ucap Nara sambil melihat tajam ke arah Mamanya. Bukan maksud marah pada Mamanya, tapi dia marah karena dia sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang orangtuanya.
Sepanjang malam, Nara hanya terisak meratapi semua kejadian yang dilihatnya di kantor Papanya. Dia begitu membenci Papanya, karena telah mengkhianati Mamanya.
Nara berubah menjadi sosok yang cengeng bila menyangkut maslaah keluarganya, terutama bila itu semua terjadi kepada Mamanya.
Keesokan paginya..
"Ma.. Mama sudah merasa baikan?" Tanya Nara pada Mamanya yang sudah terbangun dari tidurnya.
"Mama baik - baik saja kok. Ara semalaman di sini? Ara tidak pulang ke rumah?"
"Rumah yang mana, Ma? Nara tidak pernah menganggap bangunan mewah itu sebagai rumah."
Jawaban Nara membuat Mamanya terkejut mendengarnya. Mamanya merasa aneh dengan tingkah Anaknya saat ini.
"Kenapa kamu berbicara seperti itu, Ra? Rumah Papamu adalah rumahmu juga," kata Mama Nara sambil menatap lekat mata Nara.
"Gak, Ma. Mulai detik ini, kita tidak akan kembali ke rumah itu lagi, Ma. Nara sudah memindahkan semua barang kita ke rumah baru kita, Ma." Kata Nara sambil mengalihkan pandangannya ke arah sudut ruangan.
"Apa kamu berantem lagi dengan Papamu, Ra? Ara tidak boleh melawannya, bagaimanapun dia itu Papamu." Mama Nara memegang kedua tangan Anaknya.
"Mama aja yang tidak tau apa yang terjadi. Semalam aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Papa selingkuh dan melakukan hal menjijikkan di dalam kantornya sendiri. Pantas aja selama ini Papa tidak pernah peduli dengan Mama, ternyata dia sudah punya pengganti. Nara benci sama Papa!"
Akhirnya Nara menangis setelah mengucapkan kata - kata yang dengan susah payah dipendam. Mama Nara tidak bisa berkata apa pun lagi. Dia tau, cepat atau lambat, Nara akan tau semuanya. Semua masa lalunya yang selama ini dia tutupi dengan rapat.
"Sudahlah, Ara. Jangan selalu menyalahkan Papamu. Belum tentu yang kamu lihat itu adalah benar," ucap Mama Nara sambil memeluk Anaknya yang sedang menangis.
"Mama selalu saja membela Papa! Apa pun yang Papa perbuat, tidak pernah salah di mata Mama! Papa sudah sejahat itu mengkhianati Mama, tapi Mama malah mengatakan apa yang aku lihat belum tentu benar? Nara melihat semua tepat didepan mata Nara, Ma! Pokoknya, mulai detik ini, kita tidak akan kembali ke Neraka itu lagi! Kita akan hidup berdua dengan bahagia tanpa Papa!"
Nara memeluk erat Mamanya hanya untuk menambah kekuatan batinnya saat ini. Dia pun menangis sejadi - jadinya melawan rasa sakit hati yang di torehkan oleh Papanya sendiri. Sejak dulu sampai sekarang, dia tidak pernah percaya dengan kata CINTA SEJATI setelah melihat bagaimana perlakuan Papanya terhadap Mamanya sendiri.
"Ara tidak mau kita kembali lagi ke rumah yang bagaikan Neraka buat Mama. Mama mau yah, tinggal bersama Ara? Nara janji, Ara akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita berdua. Mama ikut Ara ke rumah baru ya, Ma?"
Nara berusaha membujuk Mamanya, tapi dia tidak mendapat jawaban apa pun. Mamanya tidak menerima atau pun menolak ajakan Anaknya. Dia masih memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan.
Di satu sisi, dia masih mencintai suaminya. Dia tidak ingin berpisah dengan orang yang sangat dicintainya, karena dengan bersusah payah dia dapat menikah dengan suaminya itu dan menjadi sekarang ini. Kalau dia meninggalkan suaminya, dia akan kehilangan segalanya. Dia akan kehilangan suaminya beserta kekayaan suaminya.
Di sisi lain, dia tidak tega melihat Anaknya bersedih sampai seperti ini. Selama ini dia berpikir, tidak masalah kalau dia dipukuli atau dijadikan pelampiasan amarah suaminya asal suaminya itu masih berbaik hati pada Anaknya. Jika dia masih tetap berada di rumah itu, Anaknya pasti akan mengetahui semuanya. Segala hal yang sudah di kubur dalam - dalam sejak awal.
"Baiklah, Mama akan ikut dengan Ara. Tapi, kamu harus janji satu hal sama Mama."
"Apa itu, Ma?" Nara mulai berhenti menangis dan melepas pelukannya. Dia menatap biji mata sang Mama.
"Maafkan Papamu, kamu tidak boleh mengganggu kehidupan Papamu. Jangan membencinya lagi. Jangan melakukan hal buruk untuk melawan Papamu. Ara bisa janji sama Mama?" Mama Nara berusaha keras untuk tersenyum, agar sang Anak mau menuruti permintaannya. Hanya seperti inilah, dia bisa menjaga kebahagiaan Suami dan Anaknya.
"Ara janji, Ma." Dengan rasa putus asa, Nara berjanji pada Mamanya. Sebenarnya, Nara tidak ingin melakukan permintaan Mamanya. Nara sudah terlanju membenci Papanya. Dia sangat membenci lelaki yang sudah berstatus sebagai Papanya selama 24 tahun.
Nara pun memeluk Mamanya dan melepas semua kekhawatirannya pada sang Mama. Untuk saat ini, dia hanya akan fokus menjaga Mamanya, menuntaskan kuliahnya dan mencari pekerjaan.
**********
"Kak Dev! Kakak belum bangun juga? Kay sudah siap. Bangun Kak! Antarkan Kay ke sekolah. Kakak kan sudah janji sama Kay semalam."
Kay berusaha membangunkan Kakak kesayangannya itu dengan paksa. Dia menggulingkan badan Kakaknya hingga Devan terjatuh dari tempat tidurnya.
"Aduh! Kamu itu ya, Kakak sampai jatuh begini. Apa kamu tidak bisa lebih lembut lagi? Kamu itu kan cewek. Jangan kasar begitu dong, Kay."
"Kakak sih.. Lama amet bangunnya. Tumben - tumbenan jam segini belum bangun. Biasanya kan Kakak sudah mandi dan selalu nemenin Kay sarapan. Cepat mandi kak! Kakak kan sudah janji semalam."
Kay merengek pada Kakaknya itu. Dia tersenyum manja pada Devan. Kay memang hanya bertingkah seperti itu pada Devan. Bagaimanapun anehnya tingmah sang adik, dia tidak peduli. Kay tetap yang paling penting dalam kehidupan Devan. Dia sangat, sangat menyayangi adiknya itu.
Usia mereka memang berbeda 5 tahun, tapi mereka tetap akur dan malah banyak yang berpikiran mereka itu sepasang kekasih. Tapi, semua itu bisa di tepis karena wajah mereka sangat mirip. Ya, jelaslah. Mereka kan saudara, pastilah mirip.
"Iya, iya, bawel. Kakak mandi dulu. Kamu tunggu di mobil aja, sekalian hidupkan starter mobilnya sebentar."
Akhirnya Devan bangkit dari lantai dan bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai dengn ritual mandinya, dia langsung menghampiri Adik manjanya itu. Hari ini dia mengenakan kaus oblong berwarna hitam dengan celana jeans berwarna biru gelap.
Selama perjalanan, Kay mengingatkan Devan untuk mengajaknya berlibur di akhir pekan ini.
"Kak Dev, jangan lupa akhir pekan ini kita ke Taman Hiburan ya, Kak? Kay sudah lama sekali tidak di ajak ke sana. Kakak sibuk melulu sih." Ucap Kay dengan wajah yang merengut.
"Iya, Kay. Kakak tidak pernah lupa dengan janji Kakak. Apalagi janjinya sama Adik kesayangan? Mana mungkin Kakak lupa." Devan tersenyum melihat wajah jelek adiknya saat ini.
Kay hanya bisa bertingkah manja dengan sang Kakak. Hanya Dev yang selalu peduli dengan segala keperluan dan keselamatan Kay. Kay masih bisa mendapatkan kasih sayang meskipun bukan dari kedua orangtuanya, karena Dev selalu memberikan kasih sayangnya sepenuhnya pada sang Adik. Dev tidak mau Kay merasakan sakitnya tidak mendapat kasih sayang yang selama ini dia rasakan.
Sesampainya di sekolah, Kay berpamitan pada Dev, "Kak, jangan lupa jemput Kay jam 1 nanti ya. Bye Kakak."
"Yang rajin belajarnya. Awas kalau Kay ketahuan turun peringkatnya! Kakak gak bakalan mau ajak Kay kemana - mana lagi." Ancam Dev pada Kay. Kay hanya mengangguk sambil tersenyum dan berlari menuju gerbang sekolah. Dia hampir telat karena Dev kelamaan bangunnya.
Dev pun meluncurkan mobilnya ke Kampus. Dia punya jadwal kuliah pagi hari ini. Mau tidak mau, dia juga harus belajar.
Hari ini Devan berusaha menghindar dari Kevin. Dia hanya ingin sendirian. Dia tidak mau mendengar celotehan Kevin untuk sementara waktu.
Setelah jam kuliah selesai, Devan pergi ke tempat di mana dia bisa menghilangkan penat - penat di pikirannya sebelum menjemput Kay.
"Loe ngapain ke sini lagi?" Tanya Vino melihat Dev yang sedang duduk di sudut arena balapan.
"Suka - suka gue lah. Loe sendiri ngapain di sini?" Tanya Dev balik.
"Gak asik loe, Dev. Di tanya malah nanya balik. Gue mah, udah biasa ada di sini. Hari ini gue pengen balapan sampai 3 putaran dulu. Mumet otak gue gara - gara tuh cewek tomboy." Ucap Vino sambil mengacak rambutnya dengan gusar.
"Ehh, loe kenapa lagi dengan dia?" Tanya Dev penasaran.
"Dia itu, udah tomboy, ternyata kejam banget! Nyesel gue buat syarat macem itu sejak awal," kata Vino yang malah menutup mulutnya. Dia keceplosan. Gak sadar kalau dia mengakui sesuatu.
"Nah, loe ketahuan ya. Loe bilang sama gue, kalau hukuman itu bukan ide loe. Jadi, ceritanya senjata makan Tuan dong? Hahahahaha.." Dev mengejek Vino yang menutupi kebodohannya selama ini.
"Dev, loe gitu banget sama gue," ucap Vino dengan lesu.
"Loe nya sih, nantang pake acara nurutin keinginan si pemenang. Padahal loe juga belum tau kemampuan lawan loe. Hahahaha.. Salah sendiri." Dev tertawa melihat ekspresi aneh dari Vino.
Drrttt.. Drrttt.. Drrttt..
Lalu kemudian Vino menatap layar ponselnya yang bergetar. Dengan muka yang sudah ditekuk Vino mendengus kesal. "Cckkkk.. Dia lagi. Males gue!" Ucap Vino dengan ketus.
"Telepon dari siapa sih? Telepon dari Nat ya?" Tanya Dev sambil mengangkat sebelah alisnya pada Vino.
"Iya! Udah tau malah nanya! Males gue ngangkatnya." Vino pun meletakkan ponselnya begitu saja di kursi panjang tempat Dev duduk santai.
Panggilan yang tadi nsudah berakhir. Tapi tidak lama. Tiba - tiba telepon berdeing kembali. Vino tetap pada posisinya, duduk di sebelah Dev dan mengalihkan pandangannya ke arah arena balapan.
Dev menerima panggilan telepon dari Nara dan meloudspeaker suara panggilan itu. Dev memang jahil orangnya. Vino terkejut sampai tidak tau mau bilang apa setelah mendengar suara teriakan Nara.
"VINO..!! LOE HARUS DITELEPON BERAPA KALI BARU MAU MENGANGKAT TELEPON DARI GUE SIH?!! LOE MAU KABUR DARI JANJI LOE YA?!! PADAHAL BARU SATU HARI, LOE UDAH MAU KABUR YAA..?!! JAWAB GUE VIN..!!"
Umpatan demi umpatan ingin sekali dilayangkan Vino pada Dev. Dev hanya terkekeh melihat ekpresi Vino yang berubah - ubah karena telepon dari seorang cewek tomboy.
"Aduuuhh, gimana nih? Loe sih, Dev. Ngapain loe jahil nerima panggilan dia? Mampus gue!" Vino mengumpat dengan suara yang sangat kecil, agar tidak kedengaran oleh Nara.
Dev pun menjauh, karena dia memdapat panggilan dari Kay.
"Kak, jemput Kay sekarang. Kami diperbolehkan pulang lebih cepat dari biasanya karena akan diadakan rapat guru di kantor," ucap Kay dengan penuh semangat, "Kay tunggu di depan gerbang ya, Kak."
"Oke, Kay. Tunggu sekitar 15 menit, Kakak pasti sudah sampai di sana." Jawab Dev dengan singkat.
Dev memutuskan panggilan itu dan menghampiri Vino yang sedang bingung, "Aku pergi duluan ya, mau jemput adik. Semoga urusanmu cepat kelar ya. Bye."
"SIALAN LOE DEV..!!" Teriak Vino karena kesal pada Dev. Dia lupa kalau dia mendiamkan panggilan dari Nara.
"LOE DI SITU VIN?!! KOK DARITADI LOE DIEM AJA?!! VIN..!! VINO..!! JAWAB GUE VIN..!!" Nara kedengaran kesal setengah mati karena dia dicueki Vino selama hampir seperempat jam.
"Ya, Nat. Ini gue. Gak usah ngegas gitu kali. Sori, gue tadi lagi ngobrol dengan teman, jadi belum sempat bicara dengan loe. Ada apa Nat?" Jawab Vino dengan menekan rasa dongkolnya pada Nara. Dia harus sabar - sesabar mungkin menghadapi Nara yang menyebalkan, karena dia masih berhutang janji pada Nara.
"Kalau emang loe sibuk, bilang daritadi dong! Gue kan jadi kesal sendiri karena loe gak ngejawab telepon dari gue. Loe udah ke rumah kontrakan itu lagi gak? Gimana keadaannya? Jam berapa selesainya?" Tanya Nara dengan penuh rasa penasaraan.
"Katanya sih, sore jam 5 sudah bisa di tempati, Nat. Nanti gue jemput loe setelah gue antar barang - barang loe." Jawab Vino pasrah. Dia menawarkan dirinya karena tau setelahnya itu bakalan gimana.
"Loe gak perlu jemput gue. Anter barangnya aja, jangan lupa kasih sama gue kunci rumah itu. Awas loe kalau lama!" Ucap Nara dengan ketus.
"Iya Nat. Antarnya ke Rumah Sakit kan?" Tanya Vino dengan nada lemas.
"Iya, Nanti loe telepon gue aja kalau loe udah sampai depan. Gue yang samperin loe." Jawab Nara singkat. Panggilan pun di putuskan sepihak oleh Nara.
Vino yang kesal dengan Dev dan Nara pun akhirnya mengeluarkan segala umpatannya di daerah yang sepi itu.
"SHIT! SIAL BANGET GUE KENAL TUH DUA ORANG! DEVAN SIALAN! NAT SIALAN! SIALAN KALIAN BERDUA!"