webnovel

Part 24. Penjual Roti

Brak!

"LO GAK MAU BAYAR, HAH?!!"

Suara teriakan itu membuat perhatian beberapa orang yang lalu lalang menjadi terpusat ke arah Bapak-Bapak tua yang kini duduk gemetar di atas kursi kayu kecil, di sebelah kanan dan kirinya ada dua keranjang berisi roti yang masih banyak.

"LO KALO MAU MASIH DAGANG DI SINI, BAYAR BEGO!" teriak salah satu teman preman yang tadi menimbulkan kegaduhan dengan menendang keranjang dagangan si Bapak.

"Ma-maaf. Tapi dagangan saya memang belum laku," Bapak pedagang roti itu gemetar sambil memegang kayu yang dia gunakan untuk memikul barang dagangannya.

"GUE GAK MAU TAU! LO HARUS BAYAR!"

Emilia mengusap telinga kanannya dan meringis risih. Siang menu jelang soreini dia mengajak Dario pergi untuk membeli sate yang semalam mereka beli, Emilia entah ada angin apa menginginkan lagi sate itu.

Dario menatap Bapak pedagang itu yang sudah gemetar. Ia mengepalkan kedua tangannya. Saat ia ingin maju, langkahnya tertahan saat melihat Emilia lebih dulu maju membelah kerumunan yang sudah ramai.

"BAYAR, MAU GUE ACAK-ACAK, HAH?"

"Sini biar gue acak-acak muka bangsat lo!" seru Emilia. Ketiga preman yang kini sedang berkacak pinggang menghadap si bapak pun langsung berbalik menatap gadis cantik berambut pirang yang kini sedang memakan permen yupi milik Dario yang ia rampok ke dalam saku celananya.

"GAK USAH IKUT CAMPUR LO! ANAK MANJA!" teriaknya saat melihat tampilan Emilia.

"Eh? Maap ni Bang, omongan lo gaada rasa. Kebawa sama angin!"

Salah satu preman kembali berbalik ke arah si Bapak penjual roti, dia menendang keranjang roti itu, membuat roti yang seharusnya terjual kini berantakan di jalanan beraspal.

"HEH ANJING!" Emilia maju. "SOPAN LO SAMA YANG TUA, BAJINGAN SAMPAH!"

"Lo siapa, hah?!"

"Pergi lo anjing!" preman itu mengibaskan lengan.

Bugh.

"Badan doang gede. Otak lo pajangan doang, hah?!"

"Eh anak kecil, bangsat banget lo, ya!"

"Eh anak gede. Goblok banget ya, cuma ngandelin otot terus nindas kaum lemah. Laki kan lo? Itu harga diri udah di gadein sama otot?"

"Kita gak ada urusan ya sama lo! Selagi kita sabar jangan ngusik kita!"

"Sayangnya," Emilia menatap ketiga preman berbadan kekar itu dengan genit. "Gue mau cari masalah, ni. Gimana Bang?"

Suara geraman terdengar seiring teriakan beberapa orang yang berkerumun di sekitar. Emilia segera menangkis beberapa pukulan dari tiga preman berbadan dua kali lipat dari dirinya itu.

Gadis pirang itu terkesiap saat melihat Dario memukul salah satu preman yang berusaha memukulnya dari arah samping. Mengabaikan keterkejutannya, Emilia kembali memukul tengkuk preman yang memakai tatto di lengan kanannya.

Mereka tumbang, bersamaan dengan napas terengah dari sepasang anak remaja yang kini saling tatap sambil tersenyum. Suara riuh terdengar seiring sorakan untuk para preman itu yang pergi dengan malu.

Emilia tertawa sambil memukul lengan atas Dario yang terlihat menggaruk pelipis canggung. "Duh, gemes sama Rio."

Dario terkekeh malu. "Spontanitas, Li."

"Gak usah ngibul kau Fakboi!"

"Hehe. Ketauan deh," cowok itu mengusap tengkuknya sambil meringis lucu. Emilia terkekeh dan mengacak rambut Dario. Ia menghampiri Bapak-Bapak penjual roti tadi dan membantu memunguti beberapa bungkus roti yang berserakan di jalan ke dalam keranjang.

Emilia sedikit kesal sebenarnya, kemana semua orang yang tadi berkerumun? Kenapa tidak ada yang membantu?

Ia berbisik ke arah Dario yang berdiri di sampingnya. "Ri, beliin sate yang tadi, ya. Beli empat bungkus."

Dario kaget. "Kamu laper atau ngidam?"

Emilia menggeplak kepala Dario. "Gigi lo gendut! Udah cepet pesan. Gak pake lama!"

Dengan sedikit menghentakkan kaki, akhirnya cowok yang kini memakai hoodie warna hitam itu berjalan ke arah penjual sate.

Emilia mendekati si Bapak yang masih mengumpulkan roti. "Pak," Emilia menyerahkan sebuah roti kepada si Bapak. Bapak penjual roti itu tersenyum tulus dan menerima roti itu untuk kembali di susun.

"Bapak gak di sakitin kan sama penghuni tempat sampah tadi?"

Bapak itu terkekeh tapi terlihat jelas jika tangannya masih gemetar. "Makasih, Nak. Bapak berterima kasih banget sama kamu."

Emilia berjongkok di hadapan si Bapak dan melihat-lihat kumpulan roti yang sudah tersusun rapih kembali. "Jangan begitu, Pak. Saya nanti malu."

"Kamu gadis yang baik, semoga sehat selalu ya, Nak. Semoga Allah memberi kemudahan untuk kamu."

Mendapat elusan di kepalanya dengan lembut, Emilia tersenyum. "Lain kali Bapak cari tempat jualan yang aman, ya Pak."

Bapak itu tersenyum. "Pasti, Nak. Sekali lagi makasih banyak."

Dan Dario datang tak lama setelah itu. Ia menyerahkan empat bungkus sate yang berbeda plastik itu ke arah Emilia. Emilia menerimanya dengan tersenyum manis. "Pak, udah sore. Bapak punya anak atau istri, gitu?"

Bapak itu mengangguk sambil menyeka keringat dengan handuk kecil yang tersampir di bahu. "Istri jaga anak-anak di rumah, Nak. Anak saya dua."

"Umurnya berapa, Pak? Maaf nih saya jadi kepo kayak Dora. Hehe."

Bapak itu terkekeh melihat Emilia. "Gak apa-apa. Anak saya pertama perempuan, kelas dua SD. Yang kedua laki-laki masih empat tahun."

Emilia mangut-mangut. Ia menyelipkan beberapa lembar rupiah warna merah itu ke dalam kantong plastik tanpa sepengetahuan si Bapak. "Ini, Pak. Buat anak Bapak dirumah. Kalo anak atau Istri Bapak nanya, bilang aja dari bidadari berambut pirang, hehe."

Bapak itu tertawa. "Eh nggak usah, Nak. Ngerepotin."

"Udah Pak, ambil aja. Pacar saya beli empat bungkus, dia mah oon ya belinya banyak banget. Daripada mubazir kan Pak, mending buat Bapak."

Dario mengerutkan dahinya tak suka mendengar perkataan Emilia. Tadi siapa yang minta empat bungkus?

Sebelum Dario menyela, Emilia sudah menyerahkan dua bungkus sate itu dengan paksa. Si Bapak mau tak mau menerima dengan senyum yang tak pernah luntur dari bibirnya.

"Terima kasih banyak, Nak. Semoga kalian berdua selalu bersama sampai tua nanti."

Buru-buru Dario berujar dengan kencang, bahkan sampai Emilia terkejut. "AMIN!"

***

下一章