Part sebelumnya :
"Benar ... kalian seharusnya tidak menyentuh benda itu! Benda itu adalah sebuah hadiah yang diberikan kepada orang yang baru saja menikah dan merupakan benda yang dijadikan sebagai penunggu rumah agar tidak adanya gangguan makhluk-makhluk gaib yang ada di sekitaran desa. Lagipula rumah itu pernah menjadi tempat praktek dukun ilmu hitam. Ahh ... kalian ini ada-ada saja!" tutur sang ibu.
Aku hanya diam, tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Ya sudah ... semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!" ujar si ibu dan kemudian pergi meninggalkan aku.
***
Waktu terasa cepat berlalu, tidak terasa sudah 4 hari semenjak Endy meninggalkan rumah KKN. Jawir juga sudah meninggalkan rumah KKN selama 3 hari. Ia meminta izin untuk menemui istrinya yang katanya sedang sakit, namun entah menggapa aku sulit sekali untuk mempercayai ucapan Jawir barusan. Aku berpikir, kalau ia hanya mencari-cari alasan agar bisa membawa keris naga itu ke Palembang. Entah apa yang dipikirkan anak itu pikirku.
Mak, Feranda dan Dona juga baru kemarin meminta izin untuk pulang ke rumah dengan alasan rindu dengan orangtua mereka. KKN ini memang berlansung selama 40 hari dan hanya mendapatkan izin untuk pulang ke rumah selama dua hari selama KKN berlangsung. Aku tentunya mendapatkan mandat dari Dosen Pembimbing Lapangan sebagai orang yang mengurusi mengenai perizinan para mahasiswa ini.
Tidak banyak hal yang terjadi, program kerja KKN berjalan sebagaimana mestinya. Kami menyiapkan beberapa program kerja yang bertujuan untuk membantu pengembangan desa. Aku memberikan saran untuk memperbaiki balai desa yang terlihat tidak terawat, tempat itu hanya menjadi tempat untuk menyimpan beberapa barang-barang tua yang terlihat seperti gudang atas izin dari Pak Kades dan juga warga desa yang lain. Kami kemudian membersihkan balai desa tersebut agar bisa dipergunakan sebagaimana mestinya.
Setiap malam saat ini rumah KKN menjadi cukup ramai terutama di pukul 19.00-21.00 Wib. Para wanita tampaknya mendapatkan fans daripara anak-anak desa di sekeliling tempat KKN ini. Mereka sering membawakan makanan dan minuman hanya sekedar untuk mengobrol bersama dengan para wanita. Karena merasa mereka sudah besar dan dapat mengurus dirinya sendiri. Aku memberikan izin kepada mereka, hanya saja jika sudah melewati jam 9 para tamu hendaklah segera pulang dan kami harus beristirahat. Itulah aturan yang kubuat dan terapkan di rumah KKN ini.
Aisyah dan Putri mendapatkan pacar sementara mereka di desa ini. Aku tidak terlalu mengenal kedua lelaki yang menjadi pacarnya tersebut dan tidak terlalu memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Aku tidak pernah tahu, kalau sosok penjaga rumah ini akan kembali marah. Jika rumahnya dijadikan tempat pacaran oleh para anak manusia ini dan teror pun berlanjut.
Jam menunjukkan pukul 01.30 Wib. Aku terbangun dari tidurku, rasa kebelet kencing itu begitu terasa. Aku berjalan ke WC dengan melangkahi tubuh Dwi yang menutupi jalan masuk, Toni mengorok dengan kerasnya seperti knalpot racing yang baru keluar dari bengkel. Aku tidak tega membangunkan Dwi dan meminta maaf jika melangkahi tubuhnya dan ngeloyor masuk ke WC untuk kencing. Setelah kencingku selesai, aku keluar dari WC, sebelumnya aku mengingat kalau lampu ruang tengah sudah dimatikan, tapi entah menggapa lampunya kali ini menyala. Aku yang penasaran mencoba berjalan ke arah ruang tengah dan mendapati hal ganjil ada di depan mataku.
Aku melihat sosok Putri duduk di sebelah dipan tua yang ada di ruang tengah, bulu kudukku merinding adegan ini sudah seperti di film-film horor saja pikirku. Aku serasa tidak yakin, kalau sosok yang ada di depanku ini adalah Putri. Memangnya apa yang dikerjakan anak ini tengah malam duduk sendiri di dipan tua sembari menghadap tembok, rambutnya yang panjang menjuntai dan terlihat menyeramkan. Aku hanya mengenali sosok ini Putri ialah dari pakaian yang ia kenakan sebelum makan malam tadi.
Aku memberanikan diri dan mencoba menepuk pundaknya sembari berkata, "Put ... kamu lagi ngapain?"
Sosok ini masih diam membatu dan perasaan takut juga melimuti tubuhku. Aku semakin merasa hal ini tidak beres. Aku mencoba mengulangi hal yang kulakukan sebelumnya dan kemudian Putri membalikkan tubuhnya dan berkata kepadaku dengan lirih, "Kau telah berbuat jahat kepada, Endy! Kau jahat, Handaka!!!" sosok yang menyerupai Putri ini menoleh ke arahku dengan bola matanya yang berlumuran darah, terlihat darah kental itu menetes membasahi bajunya.
Aku terbelalak ngeri, melihat kejadian yang ada di depan mataku saat ini. Tapi aku mencoba untuk mengusir rasa takutku, karena semakin yakin kalau ada makhluk yang mencoba untuk mengangguku. Aku kemudian membaca doa dan makhluk ini berteriak sembari mengoceh ke arahku, "Kau harus mati!! Mati!!! Kau telah mengusik anak yang telah diperjanjikan! Matii!!!" sosok itu kemudian menguap dan menghilang di tengah malam.
"Syukurlah, makhluk itu telah hilang!" ujarku pelan. Namun aku tidak menyadari entah sejak kapan, tubuh Putri yang pingsan tiba-tiba ada di belakangku. Noda darah yang barusan juga terlihat ada di bajunya Putri. Aku kian binggung dengan apa yang terjadi, makhluk tadi itu merasuki Putri atau hanya penampakan yang ia tunjukkan kepadaku. Aku masih kian berpikir tentang ancaman yang diberikan oleh makhluk tadi. Ia menyinggung-nyinggung soal anak yang diperjanjikan, apakah itu Endy? Entahlah aku belum bisa berpikir dengan baik saat ini, sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah menggapa Putri kini pingsan dan ada di ruang tengah.
Aku mengguncang-guncang tubuh Putri dan menepuk pipinya dengan pelan. Aku harap in segera bangun, setelah cukup lama mencoba membangunkan Putri, anak ini kemudian bangun. Aku segera menanyakan mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa kamu tidur di ruang tengah, Put? Bukannya seingatku kamu tadi sudah tidur di kamar?"
Putri memegangi kepalanya dan berkata, "Entahlah ... aku tadi pergi untuk kencing dan terbangun ada disini." ujarnya lirih.
"Oh begitu ... kamu tampaknya terlalu capek!" ujarku kepadanya.
Putri kemudian menyadari bajunya yang terdapat noda darah, "Apa aku berdarah, Han?" tanyanya kepadaku.
Aku mencoba mencari-cari alasan yang masuk akal agar Putri tidak curiga dengan apa yang sebenarnya terjadi, sungguh tidak mungkin untuk mengatakan kalau tadinya ia kesurupan dan darah itu tampaknya keluar dari tubuhnya itu sendiri.
"Oh ... tampaknya itu darah dari hidungmu. Kamu punya riwayat mimisan?" ujarku mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Oh ini darah mimisan ya!" balasnya mencoba mencerna keterangan yang kuberikan barusan.
"Iya ... tadi aku melihat kamu pingsan dengan hidung yang berdarah. Jadi aku mencoba membersihkan noda darah itu dengan bajumu." Terangku.
Muka Putri kemudian memerah dan sesaat kemudian sebuah tamparan melesat ke mukaku.
'Plak' tamparan keras itu sukses mengenai mukaku yang tampan itu.
"Jadi ... kamu melihat tubuhku!" bentaknya dengan nada marah.
Tampaknya aku salah bicara, karena akan sangat masuk akal jika aku mengelap hidungnya dengan baju, maka tentunya setidaknya aku melihat tubuh di balik bajunya itu. Ahhh ,,, aku merasa sangat bodoh di kala itu.
"Eh .... maaf-maaf! Aku tidak melihat tubuhmu, Put! Sumpah! Aku hanya mencoba untuk menolongmu karena khawatir kau berdarah!" jelasku kepadanya.
"Aku tidak percaya kamu seperti ini, Han! Kamu jahat!" Putri segera bangun dan kemudian pergi ngeloyor masuk ke dalam kamar.
Aku yang masih kebingungan kemudian di ledek oleh Toni yang tampaknya terbangun karena cekcok antaraku dan Putri barusan.
"Wah-wah! Pak Ketua KKN ini hebat juga, tengah malam sudah main sampai berdarah-darah seperti itu!"
"Kau ngomong apa sih!" balasku cepat.
Tampaknya salah paham ini menjadi kian menjadi-jadi.
Pagi sudah menunjukkan wajahnya. Aku terbangun dan kemudian berniat untuk mandi. Anak-anak yang lain entah pergi kemana, rumah KKN ini terlihat begitu sepi. Aku juga tampaknya sudah kesiangan, jam sudah menunjukkan pukul 09.00 Wib tapi aku baru saja bangun. Aku segera mandi dan berniat untuk membuat mie goreng untuk sarapan. Setelah semuanya lengkap, aku duduk di meja makan dan melahap mie goreng tersebut. Tiba-tiba Putri keluar dari dalam kamar dan mencoba duduk di meja bersama denganku.
Aku mencoba acuh tak acuh, mengingat tindakannya memukul wajahku semalam membuatku masih kesal. Aku melanjutkan untuk makan dan berniat segera menghabiskan mie ini dan meninggalkan Putri yang masih duduk terdiam di meja makan, saat aku mencoba untuk mengangkat piring itu, tiba-tiba Putri berkata,
"Maaf ya, Han! Soal yang semalam!" ujarnya kepadaku.
Aku yang tentunya masih kesal hanya menoleh dan berkata, "Sudah terjadi, mau bagaimana lagi! Lepaskan! Aku mau mencuci piring!" balasku ketus.
"Kau masih marah?" tanyanya kepadaku.
"Pikirmu?"
"Maaf ... aku mencoba untuk mencerna semua yang terjadi semalam. Aku juga menyadari suatu hal semalam." Terangnya.
"Ah masa bodo! Kau juga berpikir aku telah melakukan hal yang tidak pantas terhadap tubuhmu kan? Ya sudah anggap saja seperti itu! Aku sedang malas!" moodku benar-benar sedang jelek pagi ini. Mengingat kejadian semalam, dimana niat baikku ternyata disalah artikan dan tentunya menjelaskan kebenaran saat ini hanya akan menjadi masalah baru yang kian membuat repot ke depannya.
"Aku minta maaf, Han! Aku tau niatmu baik semalam. Aku hanya emosi karena berpikir kau melakukan hal yang tidak-tidak disaat tubuhku pingsan!" terang Putri.
"Ya terserahlah ... apa yang kau percayai saja!" ujarku sembari ngeloyor pergi ke tempat mencuci piring.
Putri kemudian mengikutiku, "Aku tidak bisa, jika kau tidak memaafkan aku, Han! Dan ada suatu hal yang ini aku bicarakan kepadamu!"
"Ya ... ya ... ya ... aku maafkan!" Ujarku ketus.
"Memangnya mau bicara tentag apa?" tanyaku sekali lagi.
"Aku tampaknya mengingat apa yang kulihat semalam sebelum aku pingsan!" terangnya.
"Lalu apa itu?" selidikku penasaran.
"Aku melihat sesosok perempuan dengan pakaian putih seperti Kuntilanak yang memanggil-manggil ke arahku sebelum aku memasuki kamar mandi dan kemudian pikiranku kabur dan aku pingsan!" terangnya dengan muka berkaca-kaca. Tampaknya tubuhnya belum cukup kuat menerima shock yang terjadi seperti itu.
"Iya ... kau kesurupan semalam! Dan darah itu adalah darah yang diakibatkan oleh Kuntilanak yang merasukimu tempo hari. Rumah ini memang aneh, aku rasanya ingin berhenti saja!" balasku.
Keadaan menjadi hening beberapa saat, hingga kemudian tangis itu pun pecah dari tubuh kurus tinggi yang ada di depanku.
"Aku butuh pelukan, Han!" erangnya lirih sembari tersedu.
Aku kemudian memeluknya mencoba untuk menangnkan hatinya yang kini dipenuhi emosi sedih dan mengelus rambutnya yang tebal.
"Sudahlah ... semuanya terlah terjadi, Put! Tidak ada yang harus disesalkan!" ujarku mencoba menenangkan hatinya.
Aku tidak pernah sadar, kalau sebenarnya ada sepasang mata yang kini tengah memperhatikanku di balik pintu.
"Hmmm ... tampaknya mereka memang melakukan itu ya semalam!"
#Bersambung