webnovel

Taishi dan Teratai

Taishi terlambat menyadari bahwa uang bekalnya telah habis begitu saja saat ia hendak membeli makanan untuk dirinya sendiri. Hanya ada dua keping perunggu yang cukup untuk membeli beberapa kepal nasi saja.

"Hmm... biarlah, aku akan bekerja untuk mencari uang," pikir Taishi saat melahap kepalan nasinya yang terakhir.

Aneh, di istana ia selalu disajikan makanan enak, tetapi di sini ia merasa bahagia dengan beberapa kepal nasi saja.

Saat hari menjadi gelap ia mulai kebingungan harus tidur di mana. Untunglah seorang pengemis tua yang tadi diberinya uang datang menghampirinya.

"Hei, Nak ... Apakah kau tidak punya tempat tinggal?" tanyanya sambil menggigit bakpau yang separuh, "Kenapa kau membagi-bagikan uangmu? Uangmu banyak?"

"Ehm, itu warisan. Hanya itu yang kupunya. Orang tuaku telah meninggal, aku tidak punya rumah lagi," jawab Taishi sedih. Bolehkah aku tidur di tempatmu, malam ini saja? Besoka aku akan mencari pekerjaan."

Pengemis tua itu mengangguk-angguk. Ia berjalan pergi sambil memberi isyarat agar Taishi mengikutinya. Mereka berhenti di depan sebuah gudang kotor yang sudah sangat reyot. Pengemis tua itu mengambil beberapa helai kain buruk dari tempat sampah dan membentangkannya sebagai alas tidur.

"Aku biasa tidur di sini," ujarnya pendek.

Taishi hanya bisa menggeleng-geleng. Di istana yang mewah, tak pernah sedikit pun ia mendengar tentang kemiskinan di luar istana, tentang penderitaan rakyat ... kelaparan ...

Dengan tabah Taishi mengembangkan sehelai kain di lantai gudang itu lalu tidur di atasnya. Kalau pengemis itu bisa, tentu ia pun bisa.

Walau rasanya amat dingin.

***

BYUURR ...

Taishi terbangun dengan amat kaget. Seorang laki-laki bermuka jahat baru saja menyiramnya dengan seember air kotor dan kini ia siap marah-marah.

"Pengemis hina! Ayo pergi dari sini! Kalau kau masih tidur di sini nanti malam, kau tidak akan kuampuni ...!!"

"Tapi ..." Taishi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan telah mampir ke punggungnya. "Aww ...! Aduh..!!"

"Rasakan ini! Kalau kau berani melawan, kusuruh prajurit menangkapmu! Saudaraku adalah seorang pengawal istana ...!"

Cepat-cepat Taishi bangun dan berlalu dari situ. Ia tak melihat si pengemis tua. Mungkin ia telah terlebih dulu menghindar. Dengan tubuh lapar dan pakaian yang basah, Taishi berjalan kesana kemari mencari pekerjaan, tetapi tak seorang pun menginginkannya.

Taishi hampir putus asa.

Siang itu ia melihat seorang kakek buta yang mengamen bersama cucu perempuannya di tengah pasar. Lelaki tua itu memainkan kecapi, kadang seruling, sementara cucunya menyanyi. Suaranya merdu sekali seperti burung bulbul yang membuat hati orang yang mendengarnya tergugah. Lagu-lagu yang mereka mainkan kebanyakan bercerita tentang keindahan alam pedesaan, membuai Taishi dalam angan-angan.

Taishi sangat kecewa karena tak seorang pun memberikan uang kepada kedua pengamen jalanan itu. Orang-orang bubar begitu saja setelah pertunjukan selesai. Akan tetapi tidak nampak sedikit pun gurat kekecewaan di wajah anak perempuan itu. Dengan sabar ia menuntun kakeknya ke pinggir jalan lalu duduklah mereka makan roti keras dengan sedikit sup di dalam wadah bumbung bambu.

Dari jauh, Taishi melihat itu semua dengan perasaan ingin. Sudah hampir dua hari ia tidak makan karena tidak punya uang. Tak seorang pun memberinya pekerjaan, dan ia tak mau mencuri. Ia sangat lapar.

"Hei, kau ...!" Tiba-tiba saja anak perempuan itu melambai dan memanggil Taishi, "Kemarilah ..."

Taishi bergerak maju dan menghampiri kakek dan cucu itu. Ia tak mengerti kenapa anak perempuan itu memanggilnya.

"A ... ada apa?" tanyanya keheranan.

"Sejak tadi kau memperhatikan kami terus. Duduklah di sini agar kita bisa saling mengenal. Mau makanan?"

Taishi hendak menolak, tetapi ia sayang kepada perutnya sendiri. Akhirnya ia mengangguk dan ikut makan bersama mereka.

"Siapa namamu, Nak?" tanya si kakek buta itu kemudian. "Orang memanggilku Kakek Han si Pengamen, dan ini cucuku, Teratai."

Taishi bingung, apakah ia harus memberi tahu nama aslinya atau tidak. "Uhm ... panggil saja aku Seruling atau Sayu. Mana saja boleh. Aku senang memainkan seruling."

Kakek Han dan Teratai saling pandang lalu tersenyum. Mereka meneruskan makannya dan mengobrol tentang desa tujuan mereka berikutnya. Orang tua Teratai telah meninggal akibat kemiskinan. Ia dan Kakek Han lalu berjalan kesana kemari dengan mengamen untuk menyambung hidup.

Mereka biasa tidur di mana saja, dan hal itu membuat Taishi semakin merasa bersalah. Banyak sekali rakyatnya yang bernasib seperti Taishi dan kakeknya ... dan ia, Raja Kerajaan Air, tidak mampu berbuat apa pun ....

"Kau bisa memainkan seruling?" tanya Teratai kemudian. Ia mengulurkan seruling kepada Taishi. "Cobalah mainkan."

Taishi teringat pada serulingnya yang ia tinggalkan di istana karena terlalu menarik perhatian dengan hiasan emas dan batu mulianya. Ia sudah rindu meniup seruling. Dengan senang hati ia memainkan seruling yang diberikan Teratai dengan lagu-lagu yang ia kuasai. Suara musiknya memukau sekali. Tanpa sadarnya, Teratai telah ikut bernyanyi dengan suara merdunya.

Lagunya tentang seekor rusa kecil yang mencari kebahagiaan dan memintanya kepada dewa. Ia ingin berubah menjadi manusia agar bahagia. Namun ternyata manusia kejam terhadap sesama dan hidupnya tidak bahagia. Ia pun meminta agar kembali diubah menjadi rusa.

Cring! Criiing!!

Beberapa orang yang lewat melempar uang kepada mereka. Taishi dan Teratai saling pandang keheranan.

"Astaga ... manusia memang aneh. Saat kami mengamen, tidak ada seorang pun yang memberi kami uang. Tetapi saat kita bernyanyi untuk bersenang-senang, mereka justru memberi uang begini ..." gerutu Teratai sambil memunguti kepingan-kepingan uang itu.

Taishi hanya mengangkat bahu.

"Kurasa musik barusan memang indah. Kalau kita bernyanyi untuk membuat diri kita senang, orang lain pun akan merasa senang," ujarnya bijak.

"Sayu, maukah kau ... ikut kami saja? Maksudku, kau kan tidak punya tujuan ... bukankah lebih baik jika kita berkelana bersama-sama? Kakek tentu tak akan keberatan ..." kata Teratai kemudian. Sepasang mata indahnya menatap Taishi dengan penuh semangat.

Kakek Han mengangguk-angguk. Tanpa berpikir panjang Taishi menyetujuinya. Ia menyukai Kakek Han dan Teratai dan rasanya berkelana bersama mereka tidak mungkin lebih buruk daripada menggelandang sendirian di jalanan.

Malam itu mereka menginap di sebuah pondok bobrok yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Keesokan harinya mereka masih mengamen di kota itu mengumpulkan uang untuk hidup.

Taishi belajar lagu-lagu baru dari yang indah dari Teratai dan sepanjang hari mereka berdua selalu bernyanyi riang.

"Sayu ..." Teratai duduk termenung di batu besar di tepian sungai sedang memandangi aliran air yang deras di bawahnya. Ia tampak sedih. "Kau pernah bertemu orang tuamu, kan? Bagaimana rasanya punya orang tua?"

Taishi keheranan mendengar pertanyaannya.

"Kau tidak pernah bertemu orang tuamu?"

Teratai menggeleng. "Sejak bayi aku sudah dirawat kakek dan nenek. Setelah nenek meninggal dan rumah kami dirampas tuan tanah, kami berkelana kesana kemari. Orang tuamu bagaimana?"

Pangeran Sayu menggeleng-geleng.

"Ibuku ... pergi saat aku berusia 4 tahun. Ayahku pun sudah tidak ada, beliau meninggal beberapa tahun yang lalu. Sejak kecil aku pun sudah tidak tahu bagaimana rasanya punya orang tua."

Teratai tersenyum sedikit untuk menghibur hati Taishi.

"Kurasa kita akan baik-baik saja. Aku beruntung masih memiliki kakek yang sangat baik kepadaku. Tanpa dia, aku pasti sudah mati." Anak perempuan itu menoleh kepada Taishi. "Kalau kau? Adakah orang yang baik kepadamu?"

Taishi tiba-tiba tersadar bahwa seumur hidupnya tak seorang pun menyayanginya, dan ia sudah terbiasa dengan hal itu. Bahkan ibu kandungnya pun pergi meninggalkannya. Dari dulu ia selalu sendirian ....

"Kau dan kakek baik kepadaku," jawab Taishi sambil tersenyum. "Benar kan?"

Teratai mengangguk sedikit keheranan. Taishi tidak membiarkannya berlarut-larut dalam kesedihan, segera menariknya dari batu besar itu dan mereka berlari-lari kembali ke tepi hutan di mana Kakek Han sedang menunggu.

"Astaga, Teratai ... " ujar Taishi tiba-tiba. "Bukankah tadi kita pergi ke sungai untuk mengambil air minum?"

"Iya ... dan kita justru lupa membawanya," keluh Teratai.

"Baiklah, kita berlomba lari ke sungai untuk mengambil air. Yang menang akan mendapat hadiah!" teriak Taishi sambil berlari kencang mendahului Teratai.

"A ... aku juga mau mengambil ..!!" Teratai ikut berlari menyusul Taishi. Wajahnya yang begitu lembut tampak kemerah-merahan karena gembira. Rambutnya yang panjang tampak berkibar ke sana kemari seiring langkah kakinya menapak bumi.

Ketika Taishi menoleh ke belakang sambil tersenyum penuh kemenangan, ia tiba-tiba terpaku. Ia seolah melihat seorang dewi yang sangat menawan sedang menyusulnya dengan langkah yang indah seolah menari. Itu adalah saat yang mengingatkan Taishi pada banyak kenangan hidupnya.

Ia merasa seolah melihat sekuntum bunga liar yang tumbuh indah di tengah padang.

Ada yang ingat ga, Taishi dewasa membawa seruling berukiran teratai emas di pinggangnya?

Missrealitybitescreators' thoughts
下一章