webnovel

Dengan Kucing Tua

Keyakinan pihak sini

Keyakinan pihak sana

Bertumbukan,

Saling menghancurkan,

Kala dilerai kebenaran,

Kedua pihak menangis

Ketika Kucing Tua sudah dikunci di balik sel Penjara Kota, ia langsung berbaring di ranjang sel itu. Wander dan polisi distrik mencoba memancingnya berbicara, tapi cuma dijawab dengan suara ngorok yang palsu dan keras.

"Ia tampak tidak berbahaya bagiku… Seperti gelandangan biasa," Petugas penjara berkomentar.

"Tidak juga. Seandainya kau lihat bagaimana ia bisa melompati gedung-gedung itu. Ia benar-benar selincah kucing. Hati-hati dengannya, Tuan."

"Ada banyak maling di luar sana… Tapi baru kali ini ada penduduk yang bisa menangkap pencuri.

Apalagi Kucing Tua, pencuri yang bahkan pernah menembus Istana Musim Panas! Ada hadiah buat kepalanya di Ibukota!" Kepala penjara memuji Wander. Ia tadinya hanya tahu Wander sebagai seorang pelajar juara provinsi, bukannya sebagai Pengejar Mimpi.

Wander agak kaget juga mendengar penuturan mengenai aksi Pencuri Ulung yang baru ia tangkap itu. Cerita itu tampaknya begitu luar biasa ketimbang pencuri berwajah kucing yang sedang pura-pura ngorok di selnya itu.

"Jangan biarkan kabur, Pak. Ia bisa menyusutkan ukuran tubuhnya. Kalau Guru sudah kembali, mungkin ia bisa menjelaskan lebih banyak."

Suara Wander dan polisi-polisi itu perlahan menghilang.

Kucing Tua merenung di selnya, "Jadi namanya betul Wander, ya? Demi Surga nan terkutuk! Kemampuan ringan tubuhnya… Bakal susah merebut Kotak itu… Apa kutunggu saja kesempatan baik di sini?"

*

"Apa kita pukuli saja sampai mengaku? Atau kita biarkan kurus kering biar mampus?"

Wander tercenung. Memang begitu praktek umum yang terjadi di penjara, kecuali kalau kau punya teman yang bisa menyogok agar diperlakukan lebih manusiawi. Ia mendadak merasa kasihan juga dengan pencuri itu. Ia berbicara pada kepala polisi dan sipir, "Tolong jangan melakukan itu. Guruku akan sangat senang jika bisa menginterogasinya sendiri kalau sudah kembali."

Baik polisi maupun sipir itu terlihat enggan, tapi Wander menyelipkan lima keping emas ke kantung mereka, "Ini hanya untuk sementara. Guru dan aku akan sangat berterima kasih untuk bantuan kalian. Penjahat ini tetap akan diadili, tapi beri kami kesempatan untuk mencari tahu apa yang diincarnya dahulu. Ia tentu tidak akan kabur."

Mereka menatap uang yang banyak di tangan mereka. Lalu merasa tidak ada ruginya, kedua petugas itu hanya bisa setuju. Bagaimanapun Wander dan Gurunya selalu ramah dan dermawan terhadap mereka.

"Baiklah. Ia kan tangkapanmu juga…"

Lalu Wander menyelipkan lima keping emas lagi sambil berbisik ke telinga sipir itu, yang matanya terbelalak mendengar pesannya.

Pagi itu juga, Wander meminta para pelayan memeriksa seluruh rumah untuk melihat ada yang hilang atau aneh, tapi tidak ada hal yang di luar biasanya. Ia sendiri mengecek petak bunga penyimpanan rahasia dengan tidak mencolok. Belum ada tanda-tanda ada yang menyentuhnya.

Wander mengamati bunga-bunga yang tumbuh menahun di petak itu. Ia menduga-duga isi kotak yang masih terkubur di sana.

Mencoba memikirkan soal misteri-misteri ini, ia sejujurnya mengakui bahwa ia masih penasaran. Tapi semangat ingin tahunya sudah lama surut, karena ia menganggap sampai saatnya tiba, ia belum boleh tahu. Wander mulai berpikir ke manakah guru-gurunya pergi? Apa mereka baik-baik saja? Apa mereka terjebak perang? Pikirannya segera berkelana, gundah karena perang dan Kakaknya yang bertugas. Ia berdoa untuk keselamatan dan kemenangan Jendral Moharan dan kakaknya.

Kota tampak sibuk seperti biasa, meski ada kesan dipaksakan. Hanya beberapa orang pedagang yang bisa keluar masuk kota dengan bebas di masa-masa kacau ini. Orang-orang juga tampak gugup, cemas, dan berjalan cepat-cepat menyelesaikan urusan mereka untuk berkumpul di kedai minum atau kantor-kantor berita. Kabar terkecilpun bisa membuat orang-orang berkumpul. Ada juga para penipu dan utusan palsu, tapi Gubernur kota Fru Gar sangat cepat menanggapi situasi dan selalu memberikan informasi kepada penduduknya tepat waktu. Penduduk mempercayai kebijaksanaan beliau, sehingga penyebaran berita palsu bisa dibatasi.

Dari rumah Gurunya, Wander bisa mendengar berita dan gosip juga. Dari para pelayan yang membawakannya berita terakhir. Ia tahu bahwa kedua pasukan akan berhadapan di padang Tensh'a Ibril. Ia sudah berulang kali memelototi peta padang rumput itu, memikirkan kakaknya yang ditugaskan di sana sebagai tentara cadangan.

Memikirkan perang dan pertempuran nun jauh di sana, Wander sampai tertidur, tapi kewaspadaannya tidak menurun sama sekali. Jika ada tamu tak diundang di sekitar rumah ia pasti akan terbangun segera.

Meski tidurnya demikian terjaga, terkadang mimpi juga bisa hadir. Terutama malam itu, ketika Wander mengimpikan ia sedang mengendarai kuda hadiahnya dari Gurunya: Celi, bersama dengan Shishou. Ia menunggang dengan riang gembira sepanjang padang nan hijau itu. Lalu, ketika kuda-kuda itu sedang minum di sebuah sungai kecil, Shishou menawarkannya sebuah labu minum.

Wander merasa haus, dan ia segera melepas tutup labu itu dan ingin minum.

Tapi sebelum ia bisa, Shishounya mendadak menyuruhnya, "Jangan diminum dulu! Tuangkan!"

Kebingungan, Wander menurut. Ia menuang isi labu itu dan ternyata yang keluar darah segar!

Ia terkejut sekali, tapi ketika ia melihat ke sekeliling, Shishou sudah hilang, juga kudanya, maupun padang hijau dan sungai. Yang ada hanya tanah gersang, bergeroak dan pecah-pecah di bawah sinar matahari nan terik.

Ia mendengar suara itu, bergema dari empat penjuru tanah itu:

[Waktu yang dijanjikan sudah dekat …

Ketika kau melihat wajahku ini sekali lagi…

Bukalah Kotak itu, Wuan.]

Wander terbangun dari tidurnya dengan rasa sakit yang misterius di tangan kanannya. Hari sudah menjelang subuh, dan ia betul-betul terkesan dengan Mimpi itu, hingga ia mengacuhkan rasa sakitnya. Tapi ketika ia mencuci wajahnya, ia baru melihat bahwa sebuah luka gores halus telah muncul di tangannya. Darah membasahi baskom cucinya, dan ia menatapnya dengan perasaan takut dan curiga. Kejadian yang tak bisa dijelaskan biasanya pertanda buruk.

Sore harinya, ia mengunjungi Kucing Tua di selnya. Pencuri itu agak kaget melihatnya, tapi sesaat kemudian wajahnya berseri-seri saat Wander menunjukkan sebuah rantang penuh berisi makanan bahkan juga sebuah kendi arak.

"Jangan kaw pikiw bisa korek sesuatu dari 'ku… nyam… ini enak betul!... Ada a'wak juga… Sepewti suwga rasanya…!"

Wander duduk di samping pencuri itu sambil ikut makan juga dengan gembira, "Yah aku hanya berharap bisa sedikit mencairkan hati Tuan. Aku khawatir juga, katanya mereka di sini hanya memberi makan roti gandum hitam kecil-kecil…"

"Woti gandum? Enak aja! Meweka kasih 'ku bubuw basi! Dilempar ke lantai!"

Suara petugas penjara membentak dari luar, "Jangan dengar kebohongannya, Tuan Wander. Ia makan seperti kuda semua rantang restoran yang kau bayar untuknya!"

"Heheh.. sial ketauwan… Hm… kaw yang bayar makanan itu semua? Kupikiw itu wacun tadinya. Tapi 'ku lapar betul jadi kupikiw lebih baik mati kenyang saja…" Pencuri itu berkata serius, tapi wajahnya yang lucu malah membuat maksudnya terbalik.

Ketika pencuri itu selesai makan, Wander segera pergi tanpa mengatakan apa pun. Kucing Tua entah kenapa tidak enak sendiri, ketika Wander mengucapkan selamat tinggal dengan sopan. Ia bertanya dengan penasaran, "Tidak tanya apa'un, nak? Kaw sudah temukan s'suatu?"

"Belum. Tapi aku punya hal-hal lain yang lebih kukhawatirkan, sebenarnya," Wander menjawab dari luar sel ketika melihat sipir mulai berjalan pergi.

"Eh? Tentang apa? Masa owang muda seperti kaw punya masalah? Mungkin Kucing Tua ini bisa Bantu?" Pencuri itu tersenyum licik.

"Kalau begitu beritahu aku tentang perang ini. Menurutmu siapa yang akan menang? Timur atau Barat?"

Kucing Tua melihat Wander seperti ia sedang menanyakan pertanyaan bodoh. "T'ntu saja Bawat!"

"Kenapa?!" Wander merasa jantungnya berdebar sesat. Kucing Tua terlihat begitu percaya diri.

"Dengaw baik-baik. 'Ku tak bilang ini kawena 'ku dukung Pangeran Satu. Kami pencuwi semua benci ia. Bwutal dan ganas ke pekewja malam sepe'ti kami. Dipancung atau dipukul sampe bisa liat muka Divara nan cantik… dan sadaw kaw sudah mampus. Kaw pernah dengaw nama Sulwan?"

"Sulran? Ya. Jendral Tertinggi Pasukan Barat bukan?"

Kucing Tua meludah, "Komandan Pasukan Bawat! Che! Kalau 'ku dengar kaw bicawa gaya begitu rasanya kaw belum kenal wangsat tuwa itu. Ia memang bukan model ksatwia ganteng sepeti Moharan atau Jan…"

"Hati-hati menyebut Jendral besar begitu!" Wander menyahut.

"Kaciman kaw Sulwan! Kaw sudah taklukkan begitu banyak pewang, tapi cuman sedikit owang pernah dengar legendamu… Tapi mungkin juga ini wencana busukmu sembunyikan diri. Dengaw baik-baik, nak! Sulran itu Jendwal yang mengalahkan Suku Selatan 27 tahun yang lalu!"

Wander bereaksi segera, karena Ibunya adalah korban langsung perang Pembasmian Masal nan berdarah itu.

"D-ia? Aku pikir itu Jendral Jan…"

"Kaciman kaw Sulwan! Selalu jasa kaw ditelan orang lebih ganteng… Kaw sudah dimakan semua bewita bohong! Sulwan, menuwutku, semoga Divara gunting jenggotnya, memang wangsat, tapi ia Jendwal te'baik di seluruh negeri ini setidaknya 200 tahun tewakhir."

"General Moharan jauh lebih hebat! Ia…"

"Owang kasar dengan ratusan Gajah kan? Ya. Ya. Kaw sudah begitu kagum liat gajah saja, sudah pikiw langsung tak terkalahkan. Kalau emang gajah begitu hebat… gimana cawanya kita menang lawan owang Mauro? Meweka punya ribuwan gajah di hutan wimba te'kutuk itu! Winatang itu hanya omong kosong aja, 'ku kasih tawu. Beberapa pewangkap api dan lubang, akan membuat mereka balik hantam Moharan, 'ku jamin!" Kucing Tua ketawa.

Kemudian, ia langsung menguliahi Wander soal Sulran dan semua kehebatannya, "Yang paling menawkutkan soal Sulwan wangsat ini adalah ia Jendwal yang anggap etika perang sebagai lelucon. Ia tidak pakai cara pewang biasa atau pakai orang bewdasarkan senioritas. Tapi ia latih 4 orang muwid sejak ia masih aktif, dan semua 4-4nya sudah jadi Jendral ketika ia diangkat lagi. Muwid-muwidnya sangat hebat. Ada Kaju, si Singa. Muwid favowit Sulwan, ia punya bakat yang sama dengan Sulwan waktu masih muda. Gluka, si Banteng, kuat dan bewani bagai macan. Damar, si Walet, ahli mesin pewang, perbekalan, dan mata-mata… dan yang paling ngewi dari semuanya: Toto. Buwung hantu ini betul-betul dilahiwkan buat perang. Sama sekali tak ada perasaan 'ku bilang. Apa yang ia pikiw Cuma untuk menang… Owang ini bisa keluarkan perintah bunuh bayi sampai pewempuan tanpa bekedip. Bunuh pwajurit luka agar tentawa bisa jalan cepat… Tapi ia jenius. Gila emang, tapi begitu jenius. Kalian owang timur tak akan bedaya lawan 4 ini dan Guru mereka si rubah tuwa! Siap-siap kalah saja."

Wander tersenyum sinis, "Dari mana kau tahu soal Sulran begini banyak? Kau digaji ia?"

Kucing Tua hanya tersenyum padanya, dan menjawab, "Owang muda… Pencuwi di manapun, pewang atau damai, Cuma mengabdi ke satu tuan: Duwit. Kita akan sembah Watu Setan sekalipun buat duwit. Jelas, kadang waktu pensiun, Sulwan sering kiwim aku ke sana sini. Doi dan 'ku seperti teman saling menguntungkwan."

"Termasuk misi ini juga?"

Kucing Tua menguap, "Mungkin kaw bisa dengar jawabnya kalau kaw bawa makanannya terus, nak."

Wander lalu pamit. Mendadak pencuri itu berujar ketika ia hendak berlalu, "Kaw keliatan tidak sehat… Ada saudawa ikuw pewang?"

"Kakakku ada di sana. Di Tensh'a Ibril."

"Susah juga kakakmu… Makasih untuk makanan dan mawu dengawkan omongan kucing busuk ini…"

Wander sudah menduga bahwa Kucing Tua bekerja untuk musuh mereka. Sudah rahasia umum bahwa banyak mata-mata berkeliaran di kotanya juga. Seseorang sehebat Kucing Tua pasti punya berbagai kepentingan ketimbang sekedar merampok. Tapi ia tidak punya bukti, dan mengamankan pencuri itu di balik penjara adalah keputusan terbaik di masa sibuk begini.

Tapi mengapa Kucing Tua begitu sukarela memberitahukannya banyak hal hari ini? Apa yang Sulran cari di rumah Gurunya? Apa ada hubungan antara Gurunya dengan perang ini? Atau utusan yang datang menjemput Gurunya?

Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan tanpa jawaban di kepala Wander, demikian juga mimpi dan bisikan pertanda buruk. Rasa percaya diri Kucing Tua pada pasukan Barat juga mengguncang batin Wander, karena ia belum pernah mendengar seseorang yang mendukung Barat bicara demikian bersemangat (jika Kucing Tua bisa dikatakan mendukung atau bersemangat).

Ia tinggal di rumah gurunya seharian, sambil terus berjaga. Mendadak ia teringat amplop merah yang ditinggalkan Gurunya. Haruskah ia buka sekarang? Ia tidak tidur semalaman hanya memikirkan hal-hal ini.

下一章