Mungkin ini begitu tiba-tiba, tapi aku ingin merubah cara berpikirku. Bukan seperti bagaimana aku bertindak tanpa berpikir dan mengambil keputusan dengan gegabah. Nyatanya, itu justru menjerumuskan diriku dalam keadaan yang sulit. Bertindak seperti itu sungguh berbahaya, misalnya seperti bagaimana aku terjebak dalam rencana Rendra. Mungkin itu memang rencana dengan tujuan yang baik, tapi bagaimana jika niatnya berubah?
Nah, dalam kondisi itu, aku pasti kesulitan untuk menghindar. Pada akhirnya aku hanya akan menjadi sasaran empuk menjadi target yang disalahkan. Itu adalah cara yang ideal untuk memanfaatkan orang lain tanpa perlu mengotori tanganku sendiri.
Tapi cara berpikir seperti ini sungguh buruk. Aku tidak ingin memanfaatkan orang lain, hanya menghindari orang dengan cara berpikir seperti ini saja sudah cukup.
Kebanyakan teman sekalasku menganggap aku bodoh atau semacamnya. Karena aku selalu terlibat dalam hal yang konyol bersama sahabatku. Tapi itu sangat berbeda dari apa yang sebenarnya, aku bersikap seperti ini karena menyenangkan dan cukup menghibur. Sebagian remaja, itu adalah hal yang ideal untuk dilakukan. Bercanda, bersenang senang, merasakan jatuh cinta, patah hati, galau dan sedih. Itu sifat yang sangat manusiawi.
Dan untuk kesekian kalinya, aku merasa sedikit menyesal karena bertindak tanpa berpikir panjang.
Sore ini aku diajak ayahku yang baru pulang dari pekerjaannya, pergi ke suatu kafe yang letaknya tidak jauh dari taman kota untuk bertemu seseorang. Ayah mengajakku pergi dengan mobil kesayangannya.
Aku tidak tahu siapa orang ini karena ayah bahkan tidak mau membicarakan tentangnya padaku. Ada sedikit rasa curiga dan tidak enak. Meskipun ayahku sendiri yang membawaku, itu tidak lantas menghapuskan rasa curiga di hatiku begitu saja.
Mungkinkah simpanan ayah? Nah ini hanya kemungkinan terburuk yang terpikirkan olehku. Ayah dan ibuku telah menikah selama hampir dua puluh tahun, waktu yang tidak sedikit. Siapa yang tahu bagaimana perasaan berjalan di hati seseorang. Terkadang ada rasa bosan yang tumpang tindih dengan rasa cinta yang pudar menciptakan penghianatan.
Sejujurnya, aku sangat tidak menyukai kemungkinan itu. Aku sendiri juga memiliki rasa cinta di hatiku untuk seseorang. Dan aku pasti sangat membenci orang itu jika berhianat.
Setelah hampir setengah jam menyusuri keramaian jalanan kota, kami sampai di sebuah kafe yang dimaksud. Ayah memarkir mobil, dan kami masuk bersama.
Karena ayah mengenakan pakaian yang kasual, aku juga begitu. Itu berarti orang yang hendak kami temui bukanlah orang yang sangat perlu untuk berpakaian khusus.
Begitu masuk, ayah langsung menuju ke salah satu meja yang tersedia. Disana ada seorang pria yang sedang duduk sambil memainkan handphone miliknya. Aku bisa tahu bahwa dia sedang mengetik sesuatu hanya dengan melihat bagaimana tangannya memegang handphone. Pria itu mungkin lebih muda dua atau tiga tahun dari ayahku, sungguh wajah yang tidak asing untukku.
Ayah dan pria itu saling bersalaman ketika bertemu dan saling sapa dengan santai. Siapapun bisa melihat bahwa hubungan mereka cukup akrab. Aku ikut menyalami sebagai tanda silaturahmi dan kesopanan.
"Halo paman Iwan, lama tidak bertemu"
Pria itu tertawa ketika kami bersalaman.
"Arga ya, kamu sudah besar ternyata. Dulu kamu di Belanda masih kecil, sekarang jadi anak yang tampan ternyata. Tidak salah ayahmu memilih istri"
Paman Iwan adalah orang yang dulu tinggal bersebelahan dengan rumah orang tuaku di Belanda. Kebetulan beliau juga orang Indonesia seperti ayahku yang sedang bekerja disana. Tapi beliau tinggal sendiri karena kedua anaknya tinggal di Jepang bersama keluarga istrinya. Paman Iwan baru pindah ke Indonesia ketika aku berumur 10 tahun, sudah tujuh tahun lamanya aku tidak bertemu paman Iwan.
Kami duduk dan berbincang dengan santai, ayah dan paman Iwan sangat bersemangat membahas pekerjaan yang mereka tekuni. Paman Iwan adalah seorang pengusaha mebel yang sangat sukses, perusahaan miliknya telah memiliki seratus cabang perusahaan di Indonesia dan memiliki beberapa cabang di luar negeri. Tentunya pemasaran produk miliknya telah sampai pada pasar internasional dan pasar lokal.
Dulu kami mendapatkan beberapa furnitur seperti lemari, meja dan kursi dari paman Iwan sebagai hadiah. Aku sangat menyukai lemari buatan paman Iwan, dan aku masih menggunakannya di kamarku hingga saat ini. Alasan utama aku menyukai lemari itu adalah karena motif ukiran dan desain yang menarik, ditambah lagi daya tahannya terhadap jamur dan rayap sangat bagus, bahkan masih utuh hingga sekarang.
Aku diam dan mendengarkan perbincangan ayah dan paman Iwan. Sejujurnya, aku tidak terlalu bisa mengikuti arah pembicaraan ini. Mereka berbicara tentang perusahaan, karyawan, strategi bisnis dan yang lainnya. Aku tidak terlalu mengerti karena aku belum pernah terjun dalam dunia kerja.
"Arga sudah punya pacar atau belum," paman Iwan bertanya begitu mendadak.
Aku ragu bagaimana cara menjawabnya. Aku bahkan belum pernah bercerita kepada ayah tentang Nana. Dan bahkan jika aku bercerita, ayah tidak akan mendukung hal semacam itu. Ayah selalu menyuruhku untuk fokus dengan sekolah dan mempersiapkan masa depanku dengan baik. Jika aku aku bercerita, mungkin aku akan dibanjiri dengan pertanyaan dan nasihat.
"Sudah om," aku memutuskan untuk berbicara dengan jujur, dan reaksi ayahku bisa ditebak. Ayah terkejut mendengar jawabanku.
"Wah sayang sekali, padahal om ingin menjodohkan kamu sama anaknya om. Cantik loh padahal, dia juga bertanggung jawab dan bisa bersikap dewasa. Gimana kalau kamu pertimbangan dulu?" itu pilihan yang sulit. Aku tidak enak hati menolak tawaran paman Iwan, tapi aku akan merasa seperti orang yang jahat jika menerimanya dan menghianati Nana.
Tetapi aku perlu mempertimbangkan kembali hubunganku dengan Nana. Pacaran bukanlah bukti memiliki, itu hanya hubungan semu dan sementara. Tidak ada jaminan bahwa hubungan kami akan bertahan selamanya. Selalu perlu untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya dan langkah pencegahan. Dalam hal ini, menikah adalah langkah yang pasti dan pilihan terbaik yang bisa dipilih.
Tapi memikirkan tentang pernikahan saat ini mungkin adalah langkah yang terburu buru. Bagaimanapun, kami berdua masihlah murid SMA tahun kedua. Dan lagi, aku kurang yakin apakah keluarganya akan bisa menerimaku dengan baik.
Paman Iwan tetap menawariku untuk dijodohkan dengan anak perempuannya, karena tidak kuasa menolak, aku setuju untuk ikut pergi liburan dengan keluarga paman Iwan bulan depan sekaligus untuk bertemu dengan putrinya. Bulan depan adalah libur semester selama dua minggu, itu waktu yang cukup untuk merasakan liburan. Aku tidak tahu kemana tujuan liburan ini, tapi aku cukup menantikannya karena aku suka berwisata alam.
Tentunya keluargaku juga ikut. Ada ayah, ibu, paman Findrand, bibi Stela, dan aku sendiri. Paman dan bibiku menikah tahun lalu dan belum memiliki anak, tapi mereka pasangan yang cukup bahagia. Mereka tinggal di kota Surabaya tidak jauh dari rumahku, tapi sesekali mereka pergi ke kampung halaman mereka di Belanda. Pamanku adalah kakak kandung dari ibuku, sedangkan ayahku adalah anak tunggal, jadi aku tidak punya paman dari pihak ayah.
Maaf untuk para pembaca karena gaya penulisan yang berubah ini. Saya selalu berusaha menemukan gaya menulis yang paling sesuai untuk dibaca,tinggalkan komentar kalian jika menyukai perubahan ini. Btw, enak ya dijodohkan, gak perlu susah payah cari jodoh.