Hanhe menyusuri koridor sekolah yang sekarang telah sunyi senyap dengan langkah gontai seraya merutuki kejadian naas yang tadi menimpanya. Semuanya gara-gara gambar konyol itu! Sekarang dia bukan hanya tidak punya waktu untuk membetulkan control-area, masih harus menghafalkan puisi-puisi tidak berguna itu. Hanhe menghela nafas, otaknya terus memikirkan cara terbaik untuk mengatasi masalah ini... Ah, ketemu! Ia bisa menggunakan penemuan ini! Benar-benar harus berterima kasih pada ayah bunda yang telah memberinya karunia otak sehebat ini, kalau tidak ia pasti besok bakal mampus.
Satu masalah selesai, sekarang ganti memikirkan masalah lainnya.
Koridor yang sunyi senyap telah membuai pikirannya mengingat kembali mimpinya. Gadis yang ia lihat tadi di mimpinya, memberi sebuah kesan aneh padanya. Ia tahu benar siapa gadis itu saat berada dalam mimpi, namun sekarang ia melupakannya. Yang ia ingat hanyalah tatapan gadis tersebut, sendu, penuh haru, sedih, kesepian, kehilangan.
Kata yang terakhir inilah yang paling mengherankan dirinya, tapi begitulah yang sedang dirasakannya sekarang.
Sebuah gelombang memori merambat masuk ke dalam pikiran Hanhe, membuatnya dapat mengingat dan memahami sesuatu. Tentang putri itu. Samar-samar terdengar pula gaung suara Fenger saat di perpustakaan.
Entah mengapa aku merasa mengenal lukisan ini... tidak, aku merasa gadis dalam lukisan ini adalah aku sendiri...
Putri dalam mimpinya sama persis dengan wanita dalam lukisan di buku yang dilihat Fenger.
Dan Hanhe mulai merasa bahwa kata-kata Fenger sedikit banyak ada benarnya.
Oooh, kenapa aku harus memikirkan hal yang tidak berguna macam ini, omel hatinya. Ini cuma mimpi! Cuma kebetulan belaka! Dan tidak cukup penting untuk dibahas lebih lanjut!
Selagi hatinya sibuk berdebat, matanya mendadak menangkap bayangan dua orang di luar jendela. Nampaknya kedua orang itu sangat akrab. Mereka sedang asyik mengobrol sambil berjalan santai memuju ke luar gerbang sekolah. Hanhe mengenali salah seorang dari mereka berdua.
Fenger, dia belum pulang rupanya. Bersama seorang cowok yang tidak kukenal. Kelihatannya dia anak kelas tiga... Ah, sudahlah, mau dia sama siapa, itu bukan urusanku. Untuk apa kupikirkan? Urusanku masih banyak. Masih ada masalah control area keparat itu juga!
Setengah berlari, Hanhe bergegas menuju ke tempat parkir sepeda, mengambil sepedanya, lalu pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamarnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat bahwa sudah ada seorang gadis kecil di dalamnya. Ia makin terkejut ketika menyadari apa yang tengah dimain-mainkan oleh gadis itu.
Wa... Wang Mei... kenapa kau bisa ada di sini... Hanhe melongo sesaat, tapi langsung melanjutkan kata-katanya dengan cepat, Dan siapa yang bilang kau boleh sembarangan menyentuh barang-barangku, hah?!?! Kembalikan! Ini bukan mainan yang bisa disentuh sembarangan oleh anak kecil sepertimu!
Si gadis kecil bernama Wang Mei melihat Hanhe dengan mimik muka cemberut bercampur cuek, Habis, aku bosan, di rumah ini ngga ada barang bagus...
Tapi kan bukan berarti kau boleh mengutak-atik barangku seenaknya! sambil mengomel Hanhe langsung merebut mesin waktu setengah jadinya, memperhatikannya sebentar untuk memastikan benda itu masih dalam kondisi baik-baik saja, meletakkannya di meja, lalu kembali bertanya, Lagipula, kenapa kau bisa ada di sini?
Kakak ini sedang datang bulan ya, daritadi marah-marah terus! Wang Mei mendengus. Aku di sini juga bukan mauku, kok! Karena mamaku mau menginap di rumahmu, katanya sudah lama ia tidak berbincang-bincang dengan mamamu... ya begitulah....
Hanhe tampak bingung, Mamamu mau menginap? Kok aku tak tahu ya... Tiba-tiba ia terlihat sangat terkejut, dan dengan cepat berujar, Sampai kapan kalian mau menginap? Dan... rumah ini kan kecil... jangan bilang kau akan...
Kita-kita akan menginap sampai Tahun Baru lewat. Dan, karena kata-katamu tadi benar, aku disuruh gelar kasur di sini. Lagipula ...
Sebelum Wang Mei selesai berkeluh kesah, Hanhe sudah keburu terhuyung lemas bagaikan habis ditabrak banteng gila ketika mendengar perkataan sepupunya. Ya... yang benar saja... kau tidur di sini... sampai Tahun Baru lewat???!!! Oh, ampun, dosa apa yang telah kuperbuat sampai-sampai aku harus sekamar dengan setan kecil ini?!
Apa katamu tadi, hah?! Kau tadi sebut aku apa?! Ayo ulangi sekali lagi!
Kubilang sial sekali aku harus sekamar dengan setan kecil sepertimu! Puas?!
Sangat PUAS SEKALI, kakakku yang baik! sindir Wang Mei sinis sambil menarik rambut Hanhe, cukup keras untuk membuat kakaknya berteriak kesakitan.
AAAUUCCHHH!!! Dasar anak kurang ajar, sopan sekali kau pada kakakmu, ya?!
Dengan kesal Hanhe melempar bantal yang sedang dipegangnya tepat ke muka Wang Mei. Wang Mei pun tidak mau kalah, ia balas melempar guling yang cukup besar ke arah kakaknya.
Segera saja terjadi perang bantal di kamar yang relatif luas itu. Entah berapa lama, kedua anak bodoh itu berperang bantal serta adu melancarkan sumpah serapah. Yang jelas peperangan itu diakhiri dengan kemenangan ibu Hanhe, yang sampai mendatangi kamar anaknya, hanya untuk mengomeli mereka.
Kalian berdua ini kenapa berisik sekali, sih?! Kalau nanti tetangga sebelah mendengar, bagaimana?! Bikin malu saja! tukas sang ibu. Kau Hanhe, sebagai kakak, kau seharusnya memberi contoh yang baik pada adikmu, bukan malah seperti ini! Heran, deh, sudah enam belas tahun tapi kok tingkah lakumu masih seperti anak kecil, sih?! Pantas saja adikmu juga ikut-ikutan nakal, kau memberi contoh yang jelek, sih!
Kedua anak itu hanya bisa diam saja menerima kemarahan ibu mereka yang seakan tiada habisnya. Ya, ampun, berantakan benar kamar ini! Ternyata kalian ini tidak cuma membuat keributan saja ya?! Bingung mama, kalian kok bisa tahan dengan keadaan seperti ini?!
Hanhe sudah teramat-amat frustasi. Yang benar saja, kenapa begitu banyak masalah yang terjadi hari ini. Control area lah, mimpi anehnya lah, adiknya lah, dan sekarang mamanya masuk ke dalam daftar masalahnya.
Beruntung bagi Hanhe, telepon rumahnya berdering. Sang mama terpaksa menghentikan kuliahnya tentang pentingnya kesopanan untuk mengangkat telepon.
Halo... di sini keluarga Lin... mencari Hanhe, ya, dia ada, tunggu sebentar, ya... mama meletakkan gagang telepon sembari memanggil anak laki-lakinya, Hanhe, ada telepon dari Han Fei!
Dengan cepat Hanhe melesat keluar dari kamarnya laksana baru keluar dari kAndang singa. Ya, di sini Hanhe. Ada apa Han Fei... eh, belajar bersama... ya ampun, aku lupa... ya, ya, aku akan segera berangkat... oke, bye!
Kenapa Han Fei? tanya ibunya ingin tahu.
Ma, saya pergi ke rumah Han Fei dulu, yah, soalnya saya sudah berjanji untuk belajar kelompok sore ini.
Sampai jam berapa? Tidak sampai malam, kan?
Tidak tahu juga, yah. Tergantung mereka. Saya tidak bisa pastikan, deh, ma.
Ya sudah. Tapi usahakan jangan terlalu malam, ya.
Baik, ma.
Bagaikan orang yang baru bebas dari penjara, Hanhe melangkah dengan ringannya, menuju ke kamarnya untuk menyiapkan buku-buku pelajaran yang harus dibawanya, sementara Wang Mei sibuk memperhatikannya dengan penuh minat.
Enak benar kau, bisa keluyuran sore-sore begini!
Siapa bilang aku keluyuran. Aku ini mau belajar kelompok tahu! Lagipula, mana mungkin mama mengizinkanku pergi begini sore kalau cuma untuk keluyuran!
Masih mending kau boleh pergi, biarpun cuma untuk belajar kelompok. Coba aku, boro-boro mamaku kasih aku izin keluar, walaupun dengan alasan yang sama sepertimu!
Soalnya kau masih kecil. Masih sebelas tahun!
Tapi, teman-temanku saja dibolehkan oleh orang tuanya untuk bahkan keluyuran sampai larut malam!
Jangan salah, orang tua temanmu itu kebanyakan sibuk kerja, tidak sempat memperhatikan anaknya!
Ah, kakak ini payah! Ngga mau belain adik sendiri! seru Wang Mei ketus. Susah memang kalau punya kakak juara sekolah! Terlalu kaku!
Panas seketika hati Hanhe saat mendengar kata-kata pedas adiknya itu. Tapi ia tak mau berdebat lama-lama. Ia sudah terlambat lebih dari setengah jam dengan waktu perjanjiannya dengan Han Fei. Lagipula bila ia mengulur waktu terlalu lama, ia khawatir ia akan pulang kemalaman, dan memancing kemarahan ibunya yang agak-agak protektif itu.
Jadi ia cuma bisa diam menahan marah sambil beres-beres. Kemudian ia teringat pada mesin waktunya. Takut dimainkan adiknya lagi, ia masukkan mesin waktu tersebut ke dalam tasnya, kemudian langsung ngeloyor pergi.