webnovel

Kebiasaan Yang Tidak Bisa Hilang

Puzzle pertama : Gadis itu datang ke galerinya setiap hari.

Puzzle kedua : Tiap kali mereka bertemu... Yah, hanya dua kali bertemu, gadis itu terlihat ingin sekali membicarakan mengenai V

Puzzle ketiga : Didengar seperti apapun, gadis itu tidak pernah melihat sendiri karya-karyanya. Dia hanya mendengarnya dari orang-orang dan dengan mengatakan ingin bertemu V tanpa mengetahui karyanya.. sungguh sangat aneh.

Puzzle keempat : Beberapa minggu lalu Frank memberitahunya Star Risen menginginkan jasanya untuk mengambil foto bagus dari hotel terbaru Star Risen untuk diiklankan.

Puzzle kelima dan kunci utama : Gadis ini adalah sekretaris CEO hotel Star Risen yang menginginkan jasanya.

Setelah menggabungkan semua puzzle, barulah masuk akal bahwa gadis ini menggunakan alasan sebagai penggemar untuk bertemu secara langsung dengan V.

"Kurasa kau memang bukan penggemar V. Kau hanya menggunakan alasan itu untuk membuat V menerima tawaran untuk mengiklankan hotel Star Risen. Iya, kan?"

Melihat wajah pucat dan keterkejutan dari ekspresi gadis itu, Vincent mendengus. Ternyata dugaannya memang benar.

"Aku tidak tahu kalau sekretaris baru Paxton bisa selihai ini dalam bersandiwara. Biar kuberitahu satu hal. V collection tidak pernah menerima klien yang penuh dengan kepura-puraan atau akting belaka."

"Terlebih lagi, kami paling membenci orang yang selalu memaksakan kehendaknya dan berbohong demi mencapai tujuannya."

"Aku kagum dengan semangatmu, tapi sebaiknya kau menyerah. V tidak akan pernah mengambil pekerjaan ini. Khususnya pada Star Risen."

Vincent mengatakannya dengan tajam dan tegas seolah tidak akan ada yang sanggup mengubah keputusannya.

Karena dia tidak tahan bersama dengan gadis itu lagi, dan merasa dia cukup lama menahan gadis itu untuk kembali pada sepupunya.. Vincent berjalan kembali masuk kedalam aula.

"Benar." sahut Cathy dengan lantang membuat langkah Vincent terhenti. "Tujuan utamaku adalah meyakinkan V untuk mengambil proyek ini. Aku yakin aku pasti bisa meyakinkannya untuk menerima permintaan kami. Karena itulah aku berusaha keras mencari cara untuk bertemu dengannya."

"Lima menit. Tidak. Dua menit. Cukup dua menit, aku akan meyakinkannya. Tapi, aku tidak pernah berbohong ataupun berpura-pura."

"Frank sendiri yang menganggapku penggemar berat V. Aku memang tidak membenarkannya, tapi aku juga tidak pernah mengiyakan pernyataan itu."

"Saat aku mengatakan bahwa karyanya bisa membuat hati seseorang merasa hangat dan bahagia, aku tidak berbohong. Aku melihat dengan mataku sendiri dan mendengarnya secara langsung dari para pengunjung disana."

"Di tatapan mereka, aku bisa melihat dengan jelas sinar kekaguman dan senyuman bahagia di tiap-tiap orang yang datang ke galeri."

"Bagaimana denganmu? Tampaknya kau sendiri tidak menyukai karya kami. Kenapa kau bisa yakin kemampuan V akan memuaskan CEO kalian?"

Vincent bisa melihat gadis itu menggigit bibirnya dengan keras.

"Aku memiliki alasanku sendiri." jawab Cathy dengan pelan. Namun Vincent masih bisa mendengarnya dan menangkap nada sedih pada suaranya.

"Aku akan memberitahumu kelemahanku. Tidak hanya karya V, aku bahkan tidak bisa menikmati keindahan taman ini." ucapnya sambil menggerakkan tubuhnya menghadap kesamping, mengulurkan tangan kirinya ke arah taman dan mengeluarkan jari telunjuknya dari kepalannya.

"Tidak peduli seberapa cantik atau mengaggumkan, aku tidak bisa melihatnya. Aku tidak akan bisa menikmatinya."

Alasan yang tidak masuk akal. Itulah yang dipikirkan Vincent. Tapi sesuatu dari dalam dirinya penasaran akan apa yang akan dilakukan gadis itu untuk meyakinkan dirinya... lebih tepatnya seorang V.

"Baiklah. Kalau begitu cobalah meyakinkanku seperti meyakinkan V. Aku ingin tahu bagaimana kau melakukannya?"

"Kau bahkan bukan V, untuk apa aku melakukannya?" Cathy berjalan mendekati Vincent dengan langkah tanpa takut ataupun ragu.

Cathy melepaskan jas yang dipinjamnya sebelum mengembalikannya pada pemiliknya.

Vincent mengambil kembali jasnya dan sebelum dia mengucapkan sebuah kalimat, Cathy sudah berbicara terlebih dahulu.

"Soal kepura-puraan, bukankah kau lebih ahli dariku? Alasan kenapa kau membawaku kemari, bukankah kau hanya ingin membantu wanita itu agar aku tidak berada disisi Pak Ben?"

Sebelah alis Vincent terangkat.. bagaimana gadis itu mengetahuinya?

"Padahal kau jelas menyukainya, tapi malah membantunya mendekati pria lain. Dasar pengecut." Cathy mengatakan kalimat terakhirnya dengan nada dingin sebelum akhirnya kembali berjalan melewati pria yang masih berdiri pada tempatnya.

Sementara itu Vincent menatap kosong ke arah jas yang dipegangnya. Di wajahnya terulas senyuman. Bukan senyuman sinis atau dingin yang mencemooh seperti yang ditunjukkannya sebelumnya.

Tapi, senyuman lembut dan senang yang menghiasi wajah Vincent.

Bagaimana bisa seorang gadis memancarkan sinar mata yang begitu menyilaukan? Tidak ada rasa takut ataupun ragu. Bahkan sinar matanya menunjukkan rasa keyakinan yang luar biasa dan dia sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata gadis yang baru saja menegurnya.

Anehnya dia merasa lucu saat gadis itu mengira dia menyukai Felicia dan tidak berani mendekatinya.

Vincent memegang dada kirinya dengan tangan kanannya. Dia bisa merasakan jantungnya berdebar dengan cepat.

Apakah ini berarti...?

-

Dalam perjalanan pulang Cathy sama sekali tidak bersuara. Benjamin juga merasakan suasana hati keponakannya sedang tidak baik. Apakah terjadi sesuatu pada keponakannya di acara tadi?

"Cathy, apa kau baik-baik saja?"

Catherine memberikan senyuman saat menjawab pertanyaannya. "Cathy baik-baik saja."

"Kau yakin?"

"Iya."

Selama beberapa menit Cathy kembali menyendengkan kepalanya dikursi sambil memejamkan matanya.

Dia mengingat kejadian di atas balkon tadi. Tampaknya, kali ini dia harus menerima kenyataan bahwa dia... telah gagal.

"Paman." panggil Cathy dengan nada sedih.

"Iya?"

"Maaf. Sepertinya Cathy tidak bisa membujuk V untuk mengiklankan hotel baru. Cathy sudah tidak sanggup memikirkan cara untuk menemuinya."

Benjamin agak terkejut mendengar hal ini. Sepertinya ini pertama kalinya keponakannya mengutarakan rasa kekecewaannya. Tidak. Ini pertama kalinya Cathy mengakui ketidak berdayaannya.

Benjamin tersenyum mendengar ini. Dia merasa lega, keponakannya tidak bersikeras menyembunyikan masalahnya, berusaha terus menyelesaikannya seorang diri.

Dia mengetahui dari Charlie, bahwa beberapa bawahannya menindas Cathy secara tidak langsung. Namun anak ini tidak pernah sekalipun mengadu atau mengomel padanya.

Benjamin ingin sekali memberi peringatan pada bawahannya yang sudah berlaku dengan sewena-wena terhadap karyawan baru. Hanya saja... dia tidak ingin memperburuk perlakuan mereka terhadap Cathy hanya karena dia memberikan perlindungan spesial padanya.

Cathy juga tidak mengeluh mengenai hal ini. Dia bahkan tampak bersemangat melakukan tugasnya. Jika gadis itu bisa bertahan, kenapa dia harus bertindak?

Karena itulah, Benjamin sangat terkejut mendengar pengakuan Cathy. Menangkap suara yang sedih bercampur dengan kecewa, Benjamin merasa kasihan pada keponakannya.

"Tidak masalah. Sebenarnya aku memiliki rencana cadangan. Jika V memang menolak, aku akan menggunakan orang lain."

"Tapi bukankah paman hanya mau V yang mengambil gambar hotel?"

"Memang, keahliannya tiada duanya dan sangat cocok untuk konsep hotel kali ini. Tapi aku mengenal seseorang yang juga tidak kalah hebat dengannya. Jadi kau tidak perlu khawatir."

Cathy hanya mengangguk perlahan dan kembali menggigiti bibirnya tanpa sepengetahuan Ben.

Begitu selesai membersihkan diri, Cathy menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang besar dengan melentang.

Dia merasa luar biasa lelah baik pikirannya, energinya, bahkan perasaannyapun merasa lelah. Kalau bisa dia ingin tidur seharian tanpa diganggu oleh apapun.

Katup mata Cathy perlahan menutup dan dia hampir terlelap saat mendengar suara bisikan.

"Sebaiknya hari ini jangan ganggu kakak."

"Ssst.. suaramu terlalu keras."

"Suaramu yang keras."

"Ssstt.."

"Sssttt.."

Anna hanya menghela napas menyaksikan perdebatan kedua adik kembarnya. Tepat sebelum dia menutup kembali pintu kamar kakaknya, dia mendengar suara kakaknya.

"Masuk sini."

Tanpa menunggu Anna, si kembar segera berjalan dan berbaring disisi kakak sulung mereka. Lina disisi kanannya, sementara Lizzy disisi lain.

"Kakak belum tidur?" tanya Lizzy

"Tidak bisa tidur tanpa kalian." jawab Cathy dengan senyuman khasnya membuat si kembar tertawa cekikikan.

Sementara itu Anna, menutup pintu kamar dan menyusul si kembar. Kening Anna mengernyit saat melihat bibir kakaknya berdarah... untuk kesekian kalinya.

"Kakak mengginggit bibir lagi ya?" seru Anna dengan tatapan menuduh.

Ups.. Cathy langsung menyembunyikan bibirnya didalam mulutnya agar bekas luka di bibirnya tak terlihat.

"Apa terjadi sesuatu di acara tadi?" tanya Lina.

Baik Anna, Lina dan Lizzy sangat mengenal kebiasaan kakak sulung mereka. Jika ada sesuatu yang membuat Cathy marah atau jengkel.. atau disaat Cathy sedang tertekan, dia tidak akan menceritakannya pada siapapun. Tapi hanya akan menggigit bibirnya hingga berdarah.

Kebiasaan yang tidak pernah dihilangkan sejak Cathy masih kecil.

"Tidak ada. Yah, mungkin ada.. tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan." jawab Cathy.

Lizzy yang berbaring di sisi dekat meja rias, bangkit dan berjalan untuk mengambil sesuatu di meja rias kakaknya.

Setelah menemukan apa yang dicari, dia kembali ke ranjang dan menyerahkan benda di tangannya pada Anna.

Anna mengambilnya dan menyuruh Cathy duduk. Cathy hanya mendesah dan menuruti kemauan adiknya.

Anna membuka tutup salep khusus untuk luka pada bibir. Karena mereka telah menganggap kebiasaan Cathy tidak akan bisa hilang, Anna membelikan salep ini untuknya. Dengan begitu, tiap kali bibir Cathy terluka, Cathy bisa mengoleskan salep ini untuk mengobatinya.

Seperti biasa, Cathy membiarkan Anna yang mengoleskan salep untuknya. Bibirnya terasa sejuk dan dingin akibat salep tersebut, disaat yang sama dia sudah tidak merasa perih lagi.

"Terima kasih." sahut Cathy.

"Kak, jangan menggigiti bibir lagi. Tidak baik untuk kesehatan."

"Juga tidak baik untuk kecantikan."

Semuanya tersenyum mendengar kalimat dari Lina.

"Apa sih yang kau bicarakan? Kak Cathy selalu cantik." protes Lizzy.

Tidak tahan mendengar pujian itu, Cathy menyela mereka.

"Bagiku, kalianlah yang selalu cantik" sahutnya sambil menangkup pipi Lizzy dengan kedua tangannya mengakibatkan mulut adik bungsung maju kedepan.

Melihat ekspresi lucu tersebut, ketiga saudarinya tertawa terbahak-bahak.

-

Seorang ayah membawa anak perempuannya berjalan-jalan di sebuah taman keluarga. Disana mereka melihat sebuah fenomena di langit yang belum pernah dilihat si anak sebelumnya.

"Papa, apa itu?"

"Itu adalah pelangi."

"Pelangi? Kenapa punya banyak warna?"

"Coba kamu hitung ada berapa warna disana?"

"Satu..dua..tiga..lima..enam..tujuh.." terhenti, "..sepuluh."

Sang ayah tertawa dan menganjurkan si anak untuk mencoba menghitungnya kembali.

Kemudian adegan berikutnya adalah si anak berhadapan dengan seorang pria yang perwakannya jauh lebih besar dan menakutkan. Pria tersebut dalam keadaan marah dan emosi... mengacungkan sebelah tangannya bergerak ke bawah menuju tepat kearah wajahnya.

TIDAK!!

Cathy langsung terbangun dengan nafas yang tergesa-gesa. Sebelah tangannya menyentuh dahinya yang mengeluarkan keringat dingin sementara tangannya yang lain menyentuh dadanya yang terasa sesak.

Cathy memejamkan matanya berusaha menenangkan dirinya yang ternyata gagal.

Setelah memastikan ketiga adik-adiknya masih tertidur lelap, Cathy berjalan pelan keluar dari kamarnya.

Tanpa menghentikan langkahnya sekalipun, Cathy berjalan keluar melalui pintu belakang menuju ke taman pekarangan yang terletak di belakang rumahnya.

Saat dia berjalan, tangan kanannya terus memegangi dadanya, sementara tangan lain menutupi mulutnya... mencegah isakannya mengeluarkan suara. Sementara itu, air mata telah mengalir tanpa henti dari matanya.

Cathy tidak memperdulikan kakinya akan kotor atau sakit saat keluar rumah tanpa beralaskan sandal.

Hari masih gelap dan matahari belum menunjukkan tanda-tanda akan terbit. Jadi sudah dipastikan, semua penghuni yang tinggal di rumahnya masih tertidur lelap. Karena itu dia bisa berjalan bebas tanpa takut dilihat siapapun.

Setelah dia berjalan cukup jauh, dia bersembunyi dibalik sebuah pohon besar dan berjongkok disana. Saat itulah dia membuka mulutnya dan menangis sekeras-kerasnya sambil memukul dadanya yang terasa sakit.

下一章