"Aku hanya ingin memberikan ini. Ulang tahunmu sudah lewat." Dinda memberikan bingkisan kecil hasil kerja kerasnya.
"Apa ini Dinda?" tanya tuan Arjun Saputra penasaran.
"Hanya hadiah kecil dariku."
"Makasih ya Dinda." tuan Arjun Saputra memeluk Dinda dan mengecup keningnya.
"Hari ini saja kamu tidak pergi tidak, apa tidak bisa?"
"Maafkan aku Dinda, ini sangat penting dan tidak bisa di tinggalkan."
"Tetapi kenapa Rendi tidak bisa ikut?"
"Dia harus mengurus pekerjaan ku yang lain. Maaf ya Dinda ini sudah terlambat."
"Tapi aku.."
Belum sempat menyelesaikan perkataannya, tuan Arjun Saputra sudah masuk kedalam mobilnya dan meluncur pergi dengan mobilnya.
"Andaikan kamu tau om Arjun, aku sangat merindukanmu." kata Dinda lirih.
Dinda berbalik dan memutuskan untuk kembali ke paviliunnya. Apa yang hendak dilakukannya? Bahkan rengekannya tidak bisa membuat suaminya itu berubah pikiran.
----
"Apa tidak apa kalau aku ikut denganmu ke kediamanmu? Aku takut nantinya istri-istrimu keberatan."
"Kenapa begitu? Itu rumahku. Dan mereka harus menuruti perintahku."
Ternyata tuan Arjun Saputra pergi menemui Dona yang saat ini menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di ibu kota. Tuan Arjun Saputra rela bolak-balik agar bisa memantau kondisi Dona dua minggu ini.
Kondisinya mulai membaik, dan Dona boleh melakukan perawatan dari rumah. Karena Dona sudah tidak memiliki siapapun lagi, tuan Arjun Saputra memutuskan untuk membawa Dona pulang ke kediamannya.
Dinda tengah berbaring di kamarnya dan bermalas-malasan karena bosan. Tidak kesibukan lain saat tuan Arjun Saputra tidak ada di sisinya.
"Dinda.." dengan terburu-buru Daniar datang ke hadapannya.
"Kamu ini kenapa? Kaya di kejar hantu saja Daniar."
"Sebaiknya kamu datang ke gedung utama sekarang."
"Ada apa sih memangnya Daniar?"
"Sudah ayo cepat Dinda."
Dinda penasaran dengan apa yang hendak Daniar beritahu, di tambah lagi penasarannya yang tidak karuan akhir-akhir ini.
Di gedung utama sudah banyak orang berkumpul, terlihat seorang wanita yang duduk di kursi roda dengan tuan Arjun Saputra yang terus tersenyum padanya.
Dinda melangkah ragu, itu pemandangan yang sangat ia benci yang ia lihat selama hidupnya. Pikirannya berkecamuk dengan dugaan-dugaan yang terus muncul di otaknya. Bukan hanya Dinda yang terkejut. Nike dan Nurul juga sama terkejutnya.
"Siapa dia, apa dia istri barumu?" tanya Nike..
"Dona.,"
Bella melangkah maju dengan wajah sinis nya.
"Bella jadi kamu istri Arjun?" Dona terkejut.
"Ya aku istri mudanya. Belum lama ini dia menikahiku."
"Oh.."
"Sudah.. Sudah.." tuan Arjun Saputra mencoba menenangkan Dona.
"Dia Dona, mulai sekarang dia akan tinggal di sini." kata tuan Arjun Saputra tanpa ragu.
Sorot matanya yang hangat pada wanita lain membuat Dinda cemburu. Dia memilih untuk bersembunyi dan tidak menampakkan diri di sana. Hanya menjadi pendengar, dan tidak peduli dengan apapun.
Tuan Arjun Saputra membawa Dona ke paviliunnya.
"Apa-apaan ini, kenapa tuan Arjun membawanya ke paviliunnya?" kata Nike kesal.
"Siapa sih sebenarnya wanita itu?" tanya Nurul bingung.
"Dia Dona, wanita yang sangat Arjun cintai. Arjun sangat tergila-gila padanya dulu. Tidak ku sangka, sampai sekarang perasaannya masih terlihat jelas." Bella menjawab semua kebingungan yang terjadi.
"Dona?" kata Dinda lirih.
----
Dinda berdiri di balkon, merenungi akan hal yang sedang terjadi di sekitarnya. Meraba dadanya yang sekarang terasa sesak. Dinda ingin menangis, tetapi entah mengapa tidak bisa dia lakukan.
"Oh ternyata dia hal penting yang di maksudnya? Ternyata pekerjaan penting itu adalah menemaninya. Hah apa ini ya allah? Baru saja aku merasakan cinta, tapi sekarang? Menyedihkan sekali percintaan ini. Sepertinya di sini hanya aku yang memiliki perasaan cinta?"
"Bahkan sekarang dia tidak memanggilku sayang lagi. Dia terus menyebut Dinda. Hahaha ini lucu sekali."
Dinda pergi ke dapur kediaman, jemarinya sudah sangat terlatih segera mengeluarkan bungkusan mie pedas yang ia bawa.
Suasana hatinya yang buruk membuat Dinda ingin menyantap kuah yang sangat pedas.
Bukan bau mie yang tercium, melainkan bau cabai yang di rebus. Kuahnya saja menjadi warna merah tanpa saos sambal.
"Kamu tidak boleh memakan itu Dinda." Daniar mencoba untuk melarang.
"Jangan coba kamu menghalangi ku, mood ku saat ini sedang tidak baik. Lebih baik kamu pergi saja."
"Tapi Dinda.."
"Ku bilang pergi ya pergi Daniar.."
Daniar memilih untuk mundur, raut wajah Dinda ketika sedang marah sungguh menakutkan.
Slurrrrp.. Slurrrrp.. Dalam hitungan beberapa menit saja mie pedas itu sudah habis ia telan. Lidah yang terbakar saja tidak ia rasakan.
"Aku tidak enak hati melihat istri-istrimu itu Arjun. Pasti mereka terkejut."
"Sudahlah Dona. Ini murni keputusanku."
"Seharusnya kamu tidak membawa aku ke sini." kata Dona dengan menundukkan kepalanya.
"Jangan kamu pikirkan hal yang tidak penting itu. Sekarang lebih baik kamu memikirkan kondisi mu itu agar lekas pulih kembali."
"Uhuk.. Uhuk.. Uhuk.."
"Tuh kan kamu batuk. Sebentar ku ambilkan minum untukmu." tuan Arjun Saputra menuangkan segelas air dan memberikannya pada Dona.
"Arjun.. Makasih ya karena kamu sudah peduli padaku."
"Tidak perlu kamu berterimakasih. Ini sudah menjadi tugasku untuk menjagamu."
"Ini bukan tugasmu Arjun." kata Dona dengan lembut.
"Menjaga seseorang yang kita cintai tentu itu adalah kewajiban bukan?"
Kedua mata Dona membola mendengar tuan Arjun yang tiba-tiba.
"Love? You.."
"Yes, it's been nine years Dona. I still love you very much."
Dona menangis, dia tentu tidak menyangka dengan hal itu semua. Bagaimana bisa? Sembilan tahun dan mereka bertemu dengan perasaan yang masih sama seperti dulu.
Dinda beringsut mundur, telinganya telah mendengar hal yang tidak ingin ia dengar.
Ya, diam-diam ia mendengar pembicaraan mereka berdua.
Dinda berlari kearah halaman belakang yang sepi dan menakutkan. Rasa takutnya kalah dengan rasa sakit hatinya.
"Brengsek!!" Dinda berteriak.
"Kamu laki-laki brengsek!! Menyesal aku jatuh cinta padamu Arjun!! Sialan kamu Arjun!!"
Dinda menangis, ini pertama kalinya menangis karena cinta. Selama ini ia terlalu polos dengan mengharapkan cinta yang hanya teruntuk baginya. Dia memang salah yang terlalu berharap.
"Kenapa kamu menangis?"
Ternyata David berada di kediaman, dia tidak sengaja melihat Dinda berlari dari area paviliun kakaknya.
"Siapa yang menangis?" Dinda segera menghapus air matanya dan mencoba menyunggingkan senyuman untuk David.
David tentu tahu apa yang tengah terjadi pada Dinda. Tetapi ia lebih memilih untuk tidak mengungkitnya.
"Tadi pagi aku sudah membelinya, ayo pergi." ajak David.
"Pergi kemana? Dan membeli apa?"
"Bukankah aku sudah berjanji padamu waktu itu. Aku akan datang dan akan mengajakmu memasak barbeque."
Dinda terdiam ingin menolak, dia sedang tidak berselera untuk mengunyah makanan.
"Aku membawa daging wagyu yang mahal." bisik David.
"Berdua saja?"
"Tentu saja, ini khusus untuk kita."
"Kalau begitu let's go." seketika ekspresi Dinda berubah.
David hanya bisa menahan tawanya dengan emosi labil wanita di hadapannya itu. Unik dan menggemaskan untuknya.