"Nenek?!"
"Darimana saja kau?!" tukas wanita tua itu dengan nada keras "Bukankah aku bilang, jangan tinggalkan gubuk ini!" lanjutnya seraya memukul kepala Barna.
Tapi sejenak kemudian matanya terbelalak terkejut melihatku muncul dari belakang Barna.
"Nyi?!" sapaku yang juga terkejut.
"Kau?!"
Dia melihat ke Barna dengan pandangan bertanya-tanya, lalu kembali melihatku.
"Bagaimana kau bisa bersamanya?" tanyanya pada Barna sambil menarik baju Barna dan menyeretnya kedalam gubuk itu.
"Aduh... Aduh.. Nek..."
"Kenapa kau bersamanya?" geram Nyi rompah.
Aku mengikuti mereka masuk ke gubuk. Tapi Nyi Rompah segera menghardikku.
"Jangan masuk! Kau diluar saja!"
Wah, kejam sekali dia. Apa aku sebegitu buruk, hingga aku harus diperlakukan seperti ini?
Barna menatap nenek dan aku bergantian dengan pandangan bingung.
"Nek..dia.."
"Tutup mulutmu! Kau tidak tahu siapa dia!"
BRAK!!
Begitu saja pintu gubuk itu terbanting keras tepat didepan wajahku.
Aku menghela nafas dengan berat. Sepertinya aku harus melanjutkan perjalananku sendiri. Bahkan dia tidak mengijinkanku untuk beristirahat di gubuknya malam ini. Ingin rasanya aku mengumpat dengan keras kepadanya. Tapi lebih besar rasa sedih ketimbang marahku.
Aku melepas tali kekang kuda dari pohon dan bersiap untuk menaikinya. Tapi kemudian kulihat Barna berlarian ke arahku sambil memanggil namaku.
"Noni, tunggu!" serunya.
Dia mengatur nafasnya yang terengah-engah sebelum akhirnya bicara kepadaku.
"Bermalamlah disini. Nenek mengijinkanmu untuk masuk."
"Benarkah?" tanyaku ragu. "Aku tidak apa-apa." lanjutku dengan kesal.
Aku masih marasa marah dengan sikap wanita tua itu.
"Saya akan mengantar Noni ke tempat yang Noni inginkan." katanya "Terlalu berbahaya jika Noni melanjutkan perjalanan sendirian seperti ini."
"Aku...."
Ingin aku membantahnya dan tidak mempedulikan peringatannya. Tapi aku terlalu lelah. Rasanya ingin kutenggelamkan tubuhku di Samudra Atlantik, kalau bisa.
Pada akhirnya aku mengikuti langkah Barna untuk kembali ke gubuk itu.
Penerangan gubuk itu sangat minim. Aku tidak dapat melihat jelas ekspresi Nyi Rompah yang duduk bersila diatas tikar, saat aku melangkahkan kakiku kedalam gubuk.
"Nyi." sapaku.
Dia tidak membalas sapaanku. Aku merasa menyesal sudah menyapanya. Tapi bagaimanapun juga aku butuh tempat berlindung sementara. Ini sudah larut. Paling tidak sampai aku bisa bertemu kembali dengan Aryo.
"Duduklah." kata Barna mempersilahkan.
Dia datang membawa keranjang berisi buah-buahan.
"Kau bisa memakan ini. Dulu. Aku akan buatkan makanan untuk kita semua." lanjutnya.
"Tidak perlu!" potong Nyi Rompah.
Aku bisa merasakan tatapan ganjil Nyi Rompah yang ditujukan kepadaku.
"Aku tidak akan makan. Dan kau cukup makan ini saja! Jangan menyalakan api!"
"Tapi, Nek.."
"Aku bilang jangan nyalakan api. Wanita ini juga tidak butuh makan!" tukasnya.
Wah, nenek ini sungguh keterlaluan. Bahkan kata-katanya lebih buruk daripada penampilannya. Bukankah seharusnya dia merasa bersalah, telah membuatku terjebak disini? Malah dia justru bersikap seolah aku adalah sumber masalah.
Aku duduk agak jauh dihadapan Nyi Rompah. Aku enggan berdekatan dengannya.
"Disitu agak dingin. Kemarilah." ajak Barna agar aku menjauhi lubang di gubuk itu.
"Tidak masalah." sahutku. "Disini sudah cukup."
"Nek, apa nenek yakin, kita tidak boleh menyalakan api?"
"Iya." jawab Nyi Rompah dengan suara berat.
"Nenek biasanya suka wedang jahe..."
"Sudahlah! Jangan membantahku!" hardiknya. "Untung saja apinya tidak padam, selama kau tinggal!" geramnya marah. "Apa sebenarnya yang kau lakukan, hingga mengabaikan perintahku?!" sambil memukul lengan Barna
"Iya, Nek. Maaf."
Suara Barna mengecil, tampak merasa bersalah.
"Maaf, Noni." katanya sambil berbalik menghadapku. "Nanti saya akan carikan buah untuk makanan. Sepertinya nenek masih marah kepadaku."
"Tidak apa." sahutku pelan.
Kupandangi Nyi Rompah yang tampak menutup matanya sambil duduk bersila.
"Apa kau akan terus melihatku seperti itu?" tanyanya. "Apa kau masih heran kenapa kau bisa sampai disini? Kau bodoh!"
Ingin sekali kurobek mulutnya yang sangat mengerikan itu.
Dia malah mengataiku bodoh, setelah menjebakku di dunia ini.
Barna memandangi kami dengan wajah bingung.
"Maaf, Noni, nenek memang tidak menyukai bangsa kalian. Nenek ingin kalian segera pergi dari tanah air kami. Kalian memperlakukan kami semena-mena."
"Saya bisa mengerti." sahutku.
"Tidak. Noni tidak mengerti. Keluarganya hancur karena bangsa kalian. Dia dulu tidak seperti itu."
Aku memandang Nyi Rompah dengan pandangan tidak percaya. Aku hanya tahu dia sangat kasar dan menjengkelkan. Tapi ternyata dia punya cerita memilukan yang membuatnya membenci kaumku.
Pagi menjelang ketika aku menyadari seseorang sudah menyelimutiku. Mungkin itu adalah Barna. Saat aku membuka mata, tidak kulihat seorangpun di dalam gubuk itu.
Aku terduduk dan mengamati gubuk itu yang kini tampak terang. Cahaya matahari bebas masuk ke dinding-dinding gubuk yang banyak berlubang. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu.
Diujung terdapat sebuah ruangan yang tertutup. Mungkin itu semacam bilik kecil. Kelambu lusuh dengan warna yang sudah memudar menutupinya. Sesekali angin menerpa kelambu itu, sehingga aku bisa mengintip apa yang ada didalamnya, walau tidak terlalu jelas. Ada lilin, atau lampu atau apapun itu yang menyala didalam.
Aku berdiri untuk mencari kemana kedua orang itu. Aku tidak melihat mereka.
Aku berjalan pelahan menuju bilik itu seperti seorang maling yang kuatir ketahuan.
Ada abu yang berceceran di dekat nampan yang berisi bunga yang masih segar.
"Apa ini?"
Aku melihat sebuah piala yang berisi cairan berwarna gelap.
Apa ini darah?
"Apa yang kau lakukan disini?!"
Suara parau itu menyadarkanku. Aku sudah lancang memasuki area yang mungkin bersifat pribadi.
"Ma.. Maafkan saya, Nyi." sahutku terkejut.
Sial! Wanita ini melangkah seperti hantu. Aku benar-benar tidak menyadarinya bahwa dia sudah dibelakangku.
Aku segera melaluinya dan keluar dari bilik itu.
"Jika saja aku tidak merasa bersalah kepadamu, sudah kuminta Barna untuk mengulitimu!" tukasnya tanpa menoleh kepadaku.
Seharian Barna tak tampak di gubuk itu. Nyi Rompah terus mengawasiku, setelah aku kedapatan masuk ke bilik itu.
"Nyi, apa Nyi yakin tidak ada yang bisa kaulakukan?" tanyaku saat dia menyodoriku makanan yang aku belum pernah tahu. "Ini apa?"
Melihat bentuk dan warnanya aku tidak yakin berselera untuk memakannya. Tapi aku tidak punya pilihan. Walaupun rasanya sangat aneh, aku terpaksa memasukkannya ke mulutku.
"Kau bodoh!"
"Apa?!"
Wah, masih saja dia begitu kasar kepadaku.
"Bagaimana bisa kau begitu bodoh. Apa yang kau pikirkan ketika memutuskan hal itu?!" serunya sambil menunjuk ke perutku.
Aku menelan ludah.
Aku hamil. Lalu kenapa?
"Apa kau pikir kau bisa bersamanya?! Merawatnya?!"
Aku semakin bingung.
"Dan karenamu, orang hebat seperti Raden itu menjadi seputus asa itu! Wanita-wanita sepertimu seharusnya tidak pernah ada!"
Sepertinya kesabaranku sudah mencapai batasnya.
"Cukup! Kata-katamu sungguh mengerikan. Ini semua salahmu! Jika saja kau tidak membawaku kesini, tentu aku tidak akan seperti ini. Aku punya kehidupanku sendiri yang menyenangkan. Aku harus berpisah dengan keluarga dan teman-temanku."
Aku mengatur nafasku yang terengah. Aku terlalu marah. Kata-katanya sangat jahat.
"Keluarga?" cibirnya.
Apa yang dia ketahui?
"Apa kau yakin punya keluarga?" tanyanya sambil terkekeh.
"Tentu saja!" sahutku penuh emosi.
Wanita tua ini sangat menjengkelkan.
"Kau bahkan yatim piatu." katanya sambil tertawa terbahak.
Bagaimana dia tahu?
"Kenapa?" tanyanya padaku saat melihat wajahku terkejut. Dia kembali tertawa. "Kau bahkan seharusnya sudah lama mati."
Apa yang dia bicarakan? Aku benar-benar tidak memahaminya.
"Raden telah melakukan kesepakatan denganku. Aku tidak habis pikir, bagaimana kau sudah meracuni pikirannya." katanya.
Aku ingin menyumpal mulutnya yang sangat beracun itu. Tapi ada hal yang lebih penting. 'Kesepakatan?' Aryo telah membuat kesepakatan dengan wanita ini.
"Apa maksudmu? Kesepakatan apa?"