Suara derap kuda itu berhenti tepat di depan pondok itu. Aku terduduk diatas ranjangku. Menunggu mendengar suara yang kuharapkan.
"Nek!" seru suara itu.
Itu bukan suara Aryo.
"Tunggu!" balas nenek dari dalam.
Aku mendengar suara pintu yang dibuka dengan tergesa.
"Kau sendirian?" tanya nenek
"Iya."
"Apa kau yakin bisa membawanya?" tanya nenek. "Woto!" seru nenek di beberapa saat kemudian. "Bantu Ragil."
Kemudian kudengar suara derik engsel dan benda keras yang saling bergesekan.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan keluar kamar.
Mereka bergerak dalam kegelapan. Hanya cahaya langit malam yang memberikan secercah sinarnya sehingga aku dapat melihat ketiga orang tersebut sedang menarik-narik buntelan besar.
Apa itu?
"Apa yang kalian lakukan?" tanyaku.
Ketiga orang itu berhenti bergerak dan saling pandang. Mereka sepertinya ragu-ragu untuk menjawab pertanyaanku.
"Ini bukan urusan, Noni." jawab nenek ketus.
Aku hanya menelan ludah. Si nenek ini benar-benar tidak menyukaiku. Dia selalu bersikap buruk kepadaku.
"Ayo, cepat!" serunya kepada kedua pemuda didepannya.
Keduanya segera mengabaikanku dan kembali menyeret barang itu keluar rumah.
"Saya akan pasang dulu gerobaknya." kata nenek.
"Biar aku saja, Nek." kata Suwoto menawarkan diri.
Suwoto segera bergegas keluar dari pondok itu. Aku mendekati nenek dan pemuda yang sedang menarik buntelan yang kelihatannya sangat berat.
"Apa ini?" tanyaku lagi.
"Ini...."
"Noni tidak perlu tahu!" sela nenek sebelum pemuda itu menjawabku.
Aku merasa sangat kesal. Tetapi aku tetap saja pada akhirnya membantu mengangkat buntelan iku hingga keluar pondok. Ini semacam karung pasir atau semacam itu. Aku tidak dapat memastikan apa isinya
Nenek tidak berusaha menyingkirkan tanganku saat aku membantunya. Buntelan itu cukup berat.
"Apakah kau tahu dimana Aryo?" tanyaku pada pemuda itu.
"Iya, Noni...."
Jawaban singkat itu membuatku bersemangat.
"Aku akan ikut denganmu." kataku.
"Tidak bisa!" sergah nenek tiba-tiba. "Kau hanya akan menyulitkan dia dan membahayakannya!"
Sialan!
"Nek!" protesku "Bukan kau yang berhak mengaturku!"
Aku ingin bertemu Aryo.
"Tapi Noni...." protes pemuda itu. "Rute yang saya lalui agak sulit." jelasnya.
Aku mengangguk.
"Itu tidak masalah bagiku."
Hari masih gelap saat saya dan nenek terus berdebat soal keikutsertaanku ke tempat Aryo. Nenek benar-benar melarangku dengan alasan keamanan Aryo bukan karena keselamatanku.
Setelah berdebat panjang, nenek akhirnya menyerah dan bersikap masa bodoh dengan keputusanku.
Aku segera melompat diatas gerobak begitu buntelan-buntelan itu telah masuk semua kedalam bak gerobak.
"Hei!" seru nenek marah. "Kau harus berhati-hati dengan barang itu! Atau kau bisa mati!"
Dia tampak sangat marah melihatku yang dengan santai menumpangkan kakiku diatas buntelan-buntelan itu.
Apa sih isinya?
"Noni, tolong ikutlah kembali bersama saya." bujuk Suwoto. "Saya khawatir Raden akan sangat marah kepada saya."
"Wanita ini memang menyulitkan." gerutu nenek.
"Nek, saya berangkat dulu." kata Ragil berpamitan.
Belum sampai beberapa langkah kami mendengar suara derap kuda mendekat kearah kami.
"Margaret!"
Aryo?
"Aryo? Kaukah itu?!" seruku sambil segera melompat dari tempatku duduk.
"Ndoro?!" seru ketiga orang itu bersamaan.
Aryo segera turun dari atas kudanya.
Aku berlari kearahnya dan menghambur ke pelukannya.
Aryo mendorongku dengan kasar.
"Bukankah aku memintamu untuk menunggu?!"
Aryo bertanya kepadaku dengan nada marah. Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya.
"Aku...."
Aku terkejut. Aryo marah kepadaku.
"Apa kau tahu aku sangat kebingungan mencarimu?!" selanya dengan nada kasar.
Aku hanya ingin melihatnya baik-baik saja.
"Vergeef me." ucapku pelan
Kepalaku tertunduk. Aryo tidak pernah membentakku seperti ini. Hatiku sakit. Mataku terasa panas menahan air mataku agar tidak tumpah.
Kenapa dia harus semarah ini hanya karena aku ingin menemuinya? Dia bahkan memarahiku dihadapan banyak orang.
Kubalikkan badanku dan melangkah menjauhinya.
Aryo segera meraih lenganku dan membawaku dalam pelukannya.
Aku terisak ketika sekali lagi merasakan lembutnya pelukannya.
"Maafkan aku." katanya lirih.
Berulang kali dia katakan "maaf" melihatku terus terisak didalam pelukannya.
Tanpa melepas rengkuhannya di pundakku, Aryo berjalan mendekati kedua pemuda itu.
Dia melihat kearah Ragil dan berkata, "Kau duluan. Tunggu aku di perbatasan. Aku akan segera menyusul." katanya "Dan kau juga bergabunglah disana." perintahnya kepada Suwoto.
"Siap Raden." jawab keduanya.
Tak lama kemudian kedua orang itu segera berlalu.
Sinar bulan memerangi wajahnya yang tampak letih.
Jemarinya yang dingin menggenggam jemariku dan membawaku ke arah nenek.
"Nenek, aku minta maaf."
"Apa salahmu, hingga setiap bertemu denganku kau selalu meminta maaf?" sahut nenek itu dengan lugas.
"Itu..." kata Aryo ragu-ragu, ".. Saya tetap akan terus meminta maaf kepada nenek."
Salah apa Aryo kepada nenek itu?
"Sudahlah masuklah dulu." ujar nenek kepadanya. Nada suaranya lembut, tidak seperti ketika berbicara kepadaku. "Raden sudah pasti sudah menempuh perjalanan yang sulit hingga sampai sini."
Nenek mengatakannya sambil melirik kepadaku. Kata-kata "sulit" bisa jadi diartikan bahwa aku sudah menyebabkan kesulitan buat Aryo.
Aryo merengkuh pundakku dan menciumi puncak kepalaku, sambil kita berjalan menuju pondok nenek itu.
"Syukurlah aku bisa menemukanmu." bisiknya di telingaku, "Aku sangat khawatir mereka sudah membawamu."
Mereka? Siapa?
Nenek menyalakan penerangan untuk kami.
"Raden baik-baik sajakah?" tanya nenek dengan nada khawatir.
"Aku baik-baik saja, Nek."
"Apa Raden ingin meminum sesuatu yang hangat?" tanya nenek dengan nada penuh kasih sayang.
Dia memperlakukan Aryo sangat baik dan penuh hormat.
"Tidak perlu, Nek. Nenek istirahat saja."
"Iya, Den. Ini masih larut malam. Sebaiknya Raden juga beristirahat."
Aryo duduk bersamaku di ranjang sempit itu.
"Sepertinya ranjang ini terlalu kecil untuk kita berdua." kataku kepadanya.
Aryo membelai pipiku.
"Kamu beristirahatlah. Aku akan menjagamu." katanya dengan suara lembut.
Sinar rembulan yang masuk melalui sela jendela, menerangi wajahnya yang tampan. Dia memang tampak lelah. Tapi tidak mengurangi ketampanannya.
"Tidak.. Kau lebih membutuhkan istirahat daripada aku." kataku bersikeras.
Aryo memandangi wajahku lalu mencium bibirku.
Bibirnya bergetar.
"Aku sangat takut terjadi sesuatu kepadamu." katanya "Aku takut tidak lagi bisa melihatmu."
Kututup mulutnya dengan bibirku. Dia membalas ciumanku dengan lebih dalam. Tangannya yang dingin bergerak menyusup dibalik pakaianku.
"Aryo?" bisikku.
"Hmmm.."
"Siapa nenek itu?" tanyaku dengan suara serak, saat tangan Aryo bergerak menyusuri dadaku. Aku mengerang saat jemarinya terus bermain disana.
"Dia kerabatku." jawab Aryo singkat seakan tidak ingin aktivitasnya terganggu dengan pertanyaan-pertanyaanku.
"Aryo... Apa isi karung-karung itu?... Ssshhh.."
Aryo mengabaikanku. Aryo terus melanjutkan lagi ciumannya di sepanjang leherku. Meninggalkan jejaknya disana. Aku mengerang saat ciumannya terus turun hingga dadaku.
Tunggu!
Aryo belum pernah seperti ini. Biasanya akulah yang agresif dan dia hanya mengikuti permainanku.
Jika ini duniaku maka aku akan berpikir bahwa dia baru saja membaca majalah playboy atau melihat tutorial sex. Dan jika dia bukan Aryo-ku, pasti aku akan berpikir bahwa dia baru belajar dari tempat pelacuran. Tapi Aryo-ku tidak akan pernah melakukan itu.
Lalu apa?
Kenapa pria lugu ini sekarang berubah seperti ini? Dia seakan tahu betul bagaimana bermain dengan wanita.
"Aryo..." panggilku dengan suara bergetar karena Aryo terus merangsangku.
Pakaianku ditanggalkannya dengan kasar.
"Ya?" jawabnya
"Kau darimana?" tanyaku.
"Dari berperang." jawabnya ringan.
"Kenapa.. Ahh..."
Jemarinya menyusuri setiap jengkal tubuhku. Bermain-main disetiap area sensitifku.
Dia tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Belajar darimana dia?
"Aryo.. Apa benar ini kau?"
Akhirnya berhasil update setelah berhari-hari terhambat.. ???
Thanks sudah menanti...happy reading ?