Aku segera berlari merangsek diantara belukar terdekat. Aku rapatkan tubuhku hingga terlindungi sepenuhnya dibalik semak dan pohon. Nafasku memburu. Aku ketakutan. Aku khawatir upayaku gagal.
Sial! Itu adalah salah satu anak buah Daniel. Kenapa ada disini?
Rencanaku bisa kacau jika dia menemukanku.
"Ini sesuai pesanan Meniir." ucap sebuah suara beraksen Jawa.
"Bagus!" jawab anak buah Daniel. "Aku suka yang seperti ini. Nanti kalo aku sudah bosan, kamu carikan yang lain lagi!" perintahnya
"Beres Meniir." sahut suara yang berbeda.
Aku penasaran perdagangan macam apa yang mereka lakukan.
Aku melongokkan kepalaku dengan hati-hati.
Aku melihat ada sesosok tubuh diatas gerobak kayu.
Itu tubuh wanita.
Tidak bergerak.
Apakah dia sudah mati?
Apa yang mereka lakukan kepadanya?
Ya Tuhan! Kenapa ada jaman seperti ini?
Tapi di era modern pun, yang sudah tidak ada lagi penjajahan, traficking tetap tidak mampu dihilangkan dari muka bumi ini. Orang jahat tetap ada dari jaman ke jaman.
Apa aku perlu menolong wanita itu?
Tidak!
Aku berusaha memperingatkan diriku sendiri tentang urusanku yang lebih darurat.
Aku menanti cukup lama hingga suara mereka benar-benar sudah jauh. Aku harus lebih berhati-hati. Aku berjalan mengendap-endap sambil terus memperhatikan sekitar.
Hari sudah hampir sore.
Ini sudah diluar estimasi waktu yang kubuat.
Tapi apapun, aku harus mencapai tujuanku.
Setelah beberapa lama aku dapat menemukan rumah pemilik kuda itu. Dia tersenyum melihatku.
"Noni!" serunya senang saat melihatku memasuki halaman rumahnya.
Walaupun aku sudah berganti baju, tetap saja kumal, karena kugunakan untuk bersembunyi tadi.
"Saya pikir Noni lupa."
Aku tersenyum kepadanya
"Apa semua sudah siap?" tanyaku kepadanya.
"Sudah, Noni. Bekal dan buah yang Noni pesan, sudah saya gantung di punggung kuda Noni."
"Baiklah, pak. Saya harus segera berangkat. Terimakasih."
Lekaki tua itu mengantarkan aku ke kandang kuda dan menyerahkan kuda itu kepadaku. Aku segera menaikinya. Dan setelah sedikit berasa-basi, segera memacunya keluar dari tempat itu. Aku terus membawa kuda itu hingga batas kota. Tak lagi ada rumah-rumah penduduk. Hari sudah petang saat aku mencapai tepi hutan. Aku masih belum berhenti hingga kulihat pondok kecil itu.
Gelap dan suram.
Tapi masih seperti saat pertama aku datang. Pondok itu masih sama.
Tanganku gemetar saat mulai melangkah menaiki tangga bambu pondok itu.
Aku masih mengingat jelas kejadian di tempat ini. Ada perasaan hangat mengaliri tubuhku.
Aku akan menunggunya.
Setelah menaruh bekalku kedalam pondok. Aku menyalakan lilin dan menaruhnya diatas meja kayu.
Aku melihat sekeliling. Pondok itu masih terawat dengan baik. Artinya Aryo masih sering mengunjungi tempat ini.
Lalu aku kembali melangkah keluar. Aku duduk di tangga pondok sambil bersandar di tiang.
Air sungai berkilauan memantulkan cahaya bulan. Semuanya sunyi. Tenang.
Aku menyukai kesunyian ini. Aku menyukai suasana ini.
Hanya bunyi gemericik air dan binatang malam yang menyelimutiku. Sound of nature. Dulu saat kegiatan outdoor, hal-hal inilah yang kusukai.
Apakah Aryo akan bersedia datang?
Bagaimana jika dia menolaknya?
Bagaimana jika pesan itu tidak sampai kepadanya?
Harusnya dia ada disini saat ini. Tapi aku tidak melihat itu.
Aku menunggunya.
Aku mulai merasa lelah dan mengantuk. Akhirnya aku putuskan untuk masuk kedalam pondok dan merebahkan tubuhku diatas balai-balai bambu.
Keras dan tidak nyaman. Tapi ini adalah yang terbaik saat ini. Untunglah aku dulu sering melakukan kegiatan outdoor bersama teman-teman kuliah. Balai-balai ini masih lebih baik daripada pengalamanku saat mendaki di Würzjoch, di daerah wisata Puez-Geisler Nature Park, Italia tiga tahun yang lalu. Kami benar-benar tanpa persiapan. Kami bermalam di atas gunung hanya dengan satu kantung tidur yang dipakai bergantian oleh empat orang.
Tanpa terasa akhirnya aku benar-benar tertidur. Aku terbangun saat sinar matahari mengenai mataku karena jendela yang kubiarkan terbuka semalaman.
Masih sepi.
Belum ada tanda-tanda dia akan datang.
Apakah dia begitu marah?
Hari terus berangsur. Bekalku sudah mulai habis saat malam menjelang. Dan aku merasa tubuhku sangat mudah lelah. Setelah seharian bermain di sungai, aku benar-benar lelah. Aku kembali tertidur.
Entah berapa aku tertidur, hingga aku terbangun karena bermimpi Aryo mengelus wajahku.
Tunggu dulu!
Ada seseorang bersamaku. Dia berdiri memunggungiku. Sedang mengaduk isi buntelan yang kubawa.
Siapa itu?