webnovel

BAB 17 KELUARGA ARYO

Aku akhirnya bisa menjelaskan kepada Aryo kejadian hari itu. Aryo hanya diam menatapku.

"Jika ada sesuatu terjadi padamu, aku tidak akan memaafkan diriku."

Pelayan itu juga sudah memberitahu kejadiannya dengan baik. Jadi Aryo tahu betul seperti apa situasiku saat itu. Tapi aku tidak bisa menyampaikan bahwa Tuan de Bollan berusaha memperkosaku. Aku khawatir Aryo akan kalap.

"Jadi, kamu tidak tahu siapa yang menolongmu?" tanyanya kemudian.

Aku hanya menggelengkan kepalaku.

"Lalu bagaimana suamimu harus berterimakasih?"

"Entahlah... " jawabku sambil meletakkan kepalaku dipangkuannya. "Suatu saat kita bisa kesana." kataku lebih lanjut.

"Yah tentu saja."

Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya tentang Tuan de Bollan. Aku masih merasa takut bertemu dengannya. Aku ragu bahwa dia sudah menyerah. Terutama karena aku sudah melukainya. Membayangkan dia menyentuhku, mencoba mendekatkan bibirnya ke bibirku, membuatku tiba-tiba mual.

Aku segera bangun dan menutupi mulutku, menahan mual.

"Kau kenapa?" tanya Aryo panik.

"Emm...."

Kira-kira bagaimana reaksinya jika kuceritakan apa yang kubayangkan?

"Kau yakin tidak apa-apa?"

Aku meyakinkan Aryo bahwa aku baik-baik saja.

Aryo memperlakukanku begitu baik. Aku terkadang khawatir dengan pandangan yang lain. Ibundanya masih belum menyukaiku. Dan Aryo juga masih kukuh tidak bersedia mendatangi kamar istrinya yang lain.

Sebenarnya aku senang sekali Aryo hanya menyukaiku. Bahkan aku tidak bisa mebayangkan betapa cemburu dan sakit hatinya aku, jika dia juga mengingini istri-istrinya yang lain.

Pagi itu Aryo berangkat ke Demak untuk sebuah urusan. Dia mengatakan akan kembali dalam beberapa hari. Dia hanya menyampaikan ada urusan penting yang harus diselesaikan. Dan aku tidak bertanya lebih jauh.

Mashitah berdiri bersamaku di gerbang, mengantar Aryo pergi. Dia mencium tangan Aryo. Dan aku, aku memeluknya dan mencium bibirnya. Aryo segera menarik wajahnya mundur, kemudian berbisik kepadaku, "Kau hanya boleh lakukan ini saat di kamar, bukan disini."

Semua orang memandangku dengan pandangan aneh, bahkan sebagian pelayan menutupi matanya.

Apa yang salah. Bukankah biasa pasangan melakukannya? Aku terbiasa melihat pasangan kencan yang mengumbar kemesraan mereka di tempat umum. Dan itu tidak masalah. Apalagi ini adalah suamiku, lalu kenapa?

Aryo mengusap puncak kepalaku sebelum berbalik dan pergi. Orang di sekelilingku masih semacam tertegun melihatku.

Kemudian Mashitah berjalan menghampiriku.

"Aku kira kau seorang yang dewasa, ternyata kau begitu kekanak-kanakan. Bagaimana seorang Aryo yang begitu bermartabat bisa jadi tidak tahu malu?!" dia mencibirku.

Wah, aku sudah punya satu lagi musuh. Aku segera menyingkir dari hadapan Mashitah. Dia melihatku dengan pandangan sinis.

"Kau benar-benar tidak tahu sopan santun! " serunya marah.

Aku berhenti dan berbalik menghadapnya.

"Apa maumu?" tanyaku menantangnya.

Gadis delapan belas tahun ini bahkan lebih sok mengatur daripada ibu Aryo.

"Kau..!!" dia menahan marahnya begitu melihat ibu memasuki pendopo.

"Apa Aryo sudah berangkat?" tanyanya kepada kami.

"Inggih ibu." jawab Mashitah dengan nada halus.

Wah... berbeda sekali dengan nadanya saat berbicara denganku.

Dia tipikal orang-orang yang memasang topeng di wajahnya. Orang-orang seperti ini menurutku sangat memuakkan.

"Adik, mari kita siapkan sarapan bersama." katanya kepadaku. Nada bicaranya benar-benar halus, seakan berbicara dengan kekasihnya. Aku benar-benar terkejut dibuatnya.

Aku mengikutinya tanpa bicara. Aku hanya tidak ingin tampak semakin buruk dihadapan ibu Aryo. Walaupun sekarang sikapnya sudah lebih baik, tapi dia masih tidak ramah kepadaku.

Mashitah ini seperti bunglon. Sikapnya mudah berubah-ubah dan tidak tulus. Pantas saja Aryo tidak menyukainya.

Nastiti merupakan gadis polos. Tapi dia terlalu penakut. Bahkan dia juga takut kepada Mashitah. Walaupun dalam silsilah keluarga ini, dia adalah istri pertama Aryo, tetapi kelihatannya Mashitah lebih dominan. Mashitah sepertinya berasal dari keluarga yang lebih tinggi tingkatannya.

Nastiti bersikap baik kepadaku. Tapi terkadang saat bersama Mashitah, dia akan bersikap tidak peduli terhadapku.

Pelayan rumah ini, semua memperlakukanku dengan sangat baik. Mereka tampak tertarik denganku yang memiliki penampilan berbeda.

Sudah dua hari berlalu semenjak kepergian Aryo. Rumah ini jadi terasa membosankan tanpa Aryo. Ibu masih melarangku untuk keluar rumah. Semua kebutuhanku telah disiapkan oleh para pelayan.

Tiba-tiba aku teringat Dhayu. Entah bagaimana kabarnya. Aku merindukan Dhayu. Dia adalah sahabat pertamaku di dunia ini. Aku telah berjanji untuk menjemputnya suatu saat.

Awalnya sore itu adalah seperti sore yang lain. Aku bermain di taman belakang dengan ditemani beberapa pelayan. Akhir-akhir ini aku merasa kurang sehat. Terkadang aku kedinginan tanpa sebab, atau badanku terasa lemas. Padahal aku merasa tidak ada yang salah dengan diriku. Aku pikir, aku terlalu merindukan Aryo.

Tiba-tiba suasana rumah menjadi gaduh. Ada yang datang. Pelayan lari tergopoh-gopoh menemuiku.

"Noni... noni sebaiknya segera keluar. Mereka mencari Noni." ujar seorang pelayan dengan tergesa-gesa. "Ndara Den Ayu marah sekali."

Aku segera membenahi rambut dan bajuku, lalu berjalan cepat kearah pendopo depan.

Situasi apa ini?

Banyak sekali prajurit baik inlanders maupun kumpeni. Dan banyak orang di pendopo.

"Margaret! Kau ikut aku!"

下一章