"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Hermand. Ia dan Maria kali ini menemani Arya ke Ciwidey, ke rumah kakek. Hermand sedang bosan di rumah dan ingin menjelajah ke tempat lain.
Ia ingat bahwa seperti biasa Arya akan pergi ke Ciwidey selama akhir pekan dan bersih-bersih di rumah kakeknya, dan kali ini ia memutuskan untuk ikut dengan mereka. Dengan penuh semangat ia membawa baju ganti, beberapa buku, dan bola untuk bermain.
Saat Arya istirahat atau sudah menyelesaikan tugasnya, ia dapat bermain bersama Herman dan menjelajahi daerah pegunungan di sekitar rumah kakek yang luas.
Mereka naik kereta api menuju Ciwidey dan duduk di lantai gerbong sambil membaca atau mengobrol. Tepatnya hanya Hermand yang mengobrol bersama Arya. Maria tidak pernah melepaskan pandangannya dari buku yang ia bawa.
Namun, setelah setengah jam Hermand memperhatikan bahwa Arya sepertinya sedang banyak pikiran. Beberapa kali pertanyaannya menggantung di udara dan tidak dijawab oleh sahabatnya itu.
"Hmm?" Arya mengangkat wajahnya dan mengangkat sepasang alisnya keheranan. "Kau tadi tanya apa?"
Hermand terpaksa mengulangi pertanyaannya. "Kau sedang memikirkan apa? Dari tadi kulihat alismu berkerut terus. Kalau begini, kau bisa kelihatan cepat tua."
Arya mengerling ke arah Maria dan setelah memastikan Maria sibuk dengan bacaannya, ia lalu berbisik kepada Hermand.
"Ibuku... dia sudah menegaskan bahwa Maria akan dipingit begitu dia lulus HBS. Kau tahu sendiri dia pintar sekali, tahun ini ia akan langsung ikut ujian kelulusan bersama murid-murid di kelas lima..." Suaranya terdengar putus asa. "Aku sendiri masih kelas empat. Sekeras apa pun aku mengejarnya, aku tidak bisa lulus di tahun yang sama dengan Maria."
Hermand tercenung. Hal itu benar. Awal tahun ini Maria sudah pindah ke kelas akselerasi bersama sedikit anak genius yang bisa belajar bersama anak-anak kelas lima. Anak-anak yang dianggap pintar akan dimasukkan ke kelas khusus dan mereka bisa lulus dalam waktu lima tahun saja, setelah itu mereka dapat mengikuti ujian ke universitas.
Sementara anak-anak biasa akan belajar selama enam tahun dan kemudian, kalau mereka ingin, mereka bisa melanjutkan ke sekolah kejuruan untuk mendapatkan diploma, atau langsung bekerja. Hermand dan Arya masuk ke kelas biasa dan harus sekolah selama enam tahun karena kecerdasan mereka dianggap rata-rata, tidak seperti Maria walaupun gadis itu lebih muda.
Maria bahkan jauh lebih cerdas daripada anak-anak pintar lainnya di HBS Bandung dan ia bisa menyelesaikan pendidikan HBS-nya hanya dalam waktu tiga tahun saja. Hal itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah HBS.
Bagi orang lain, menjadi genius seperti Maria dan lulus sekolah menengah dengan cepat adalah suatu berkat, tetapi hal itu justru membuat Arya juga kuatir setengah mati. Kalau Maria cepat lulus, berarti ia juga akan cepat dipingit dan dinikahkan.
Dalam situasi seperti ini justru akan lebih baik jika Maria agak bodoh sedikit, pikirnya cemas.
"Hmm... kau tidak bisa menyuruh Maria untuk pura-pura sakit saat ujian atau menyuruhnya menyabotase ujiannya?" tanya Hermand.
Arya menggeleng.
"Aku tidak yakin Maria bisa mengerti. Ia terbiasa melakukan yang terbaik dalam setiap ujian. Memang dia begitu..." jawab Arya sedih.
Keduanya mencuri pandang melihat Maria yang masih sibuk dengan bukunya. Maria baru berusia 16 tahun. Di Periangan memang biasa bagi gadis-gadis untuk menikah muda, tetapi Hermand berasal dari Belanda dan ia tidak biasa melihat gadis remaja menikah dalam usia begitu muda. Apalagi gadis yang demikian unik seperti Maria ini.
Hermand juga mengetahui bahwa dengan kedudukan keluarga Haryakusumah, kemungkinan besar Maria akan dijodohkan dengan orang dari kalangan bangsawan yang sudah berumur, dari level wedana atau bahkan bupati untuk menjadi istri kedua atau ketiganya.
Ia ingat melihat kedatangan beberapa bupati dan wedana ke kantor Residen beberapa waktu yang lalu, dan mereka rata-rata sudah tua. Hermand tak tega membayangkan Maria akan dipaksa menikah dengan salah satu dari mereka...
Hermand kemudian menggamit tangan Arya dan berbisik. "Bagaimana kalau kalian kabur ke Belanda? Aku akan meminta Mama menolong kalian. Di sana kalian akan dapat bebas."
Arya tercenung mendengar tawaran Hermand. Itu adalah pilihan yang juga sering ia pikirkan. Kalau sampai keluarganya memaksa menikahkan Maria di usianya yang masih demikian muda, ia akan melarikan Maria.
Ia dapat mencari pekerjaan dan menghidupi mereka berdua. Sebelumnya ia sama sekali tidak berpikir untuk kabur ke Belanda karena ia tidak mengenal siapa-siapa di sana, tetapi kalau Nyonya Residen memang bersedia membantu... mungkin ia bisa mengumpulkan segenap keberaniannya dan membawa Maria kabur sejauh mungkin, hingga ke Eropa.
Ia cepat menghitung berapa uang tabungan yang dimilikinya, lalu berbagai cara untuk melarikan diri bersama Maria.
"Aku... ingin sekali," Arya mengaku. "Tetapi... aku juga tidak tega meninggalkan Ibu. Beliau tidak punya siapa-siapa lagi. Bagaimana bisa aku meninggalkan Ibu seorang diri?"
Arya sungguh terjepit dalam dilema. Ia sangat menyayangi ibunya. Ia juga menyayangi Maria. Takdir sangat kejam dengan memaksanya harus memilih.
Maaff... updatenya pendek. Nggak apa2 kan? Daripada ceritanya nggak maju ya?
Saya update lagi minggu depan.