webnovel

Kenyataan

"Hei, kami pulang dulu yah," kata lelaki bermata sipit di balik kacamata. "Ada urusan yang perlu diurus."

"Ok. Nanti kita atur waktu ketemuan."

"Aman, Vin!"

Laki-laki tersebut menuruni tangga diikuti seorang perempuan mungil rambut panjang yang menunduk malu kala pamit kepadaku. Aku membalas menunduk. Istrinya amat muda. Kalau tidak dikenalkan tadi pun aku kira masih anak gadis. Mereka tipikal sepasang pengantin muda impian banyak orang.

Teman lamaku itu menghampiri sebuah mobil mewah berwarna putih pekat. Mereknya aku tak tahu menahu. Bukan mobil sejuta umat tentunya karena sering terlihat dikendarai oleh orang kalangan atas. Dia membukakan pintu samping agar istrinya masuk sebelum dia berjalan memutar membuka pintu baginya sendiri di kemudi setir. Sungguh laki-laki beruntung.

Aku tengah bersandar pada pagar ketika dia membunyikan klakson melintar pergi dari hadapanku. Tentu kubalas mengangkat tangan sambil tersenyum. Sungguh amat terbalik dari kondisi hatiku. Galau, bimbang, dan sedih bukan main. Kutarik keluar sebuah kotak alumunium bergambar cokelat bulat dari sakuku lalu kukocok sebentar sampai lima butir cokelat merayap keluar dari lubang kecil di ujungnya. Langsung saja kumasukkan ke mulut dan kukecap perlahan.

"Permen cokelat?"

Aku hanya memandang ke arah parkiran tanpa menoleh. "Kau sudah kembali, Van?"

"Sudah dari tadi sebenarnya," jawab abangku, bersandar pada pagar di sampingku. "Aku dengar percakapan kalian."

"Dan?"

"Kalau kau makan permen cokelat berarti kau stress atau lagi sedih."

"Benarkah?"

"Benar kalau lebih dari satu butir." Abangku terkekeh. "Kau pikir aku tidak tahu sifatmu, Vin?"

Hanya helaan napas yang mampu kulakukan. Kuakui, memang rasanya hati ini sedang pedih.

"Dunia ngak adil yah, Van," aku membuka percakapan. "Di saat kita harus bekerja keras mencari sesuap nasi, dia tinggal mendapat semuanya tanpa perlu bersusah payah."

"Diakah laki-laki yang pernah kau bicarakan itu?"

"Ya. Sehabis tamat sekolah, dia dibiayai penuh kuliah ke luar negeri dan ngak kerja sama sekali. Pas tamat kuliah tinggal balik ke negara kita untuk melanjutkan usaha ayahnya…"

"Juga dapat mobil, rumah, istri cantik, dan semuanya sudah disediakan bukan?"

Aku mengangguk. Begini rasanya iri hati walaupun yang bersangkutan ngak buat salah padaku. Lama-lama bisa berkembang ke mana-mana perasaan ini. Aku mesti hati-hati walau ngak bisa menyangkal apa yang kurasakan.

"Dunia memang ngak adil."

Abangku ikut bersedih. Dia tahu bagaimana rasa perjuanganku karena kami berdua anak kembar yang dilahirkan bersama dan hidup tanpa ayah sehingga perlu bekerja keras untuk sekedar menyambung hidup. Kondisi sekarang sudah lebih baik, tapi melihat mereka yang mendapat tiket jalur emas membuat perjuangan kami itu hal kecil. Kami dan dia hidup di dua dunia yang berbeda.

"Yang bisa kita lakukan hanya menerima kenyataan."

"Kau benar." Aku menegakkan badan. "Dan melakukan yang kita bisa."

"Karena memang tidak ada jalan lain lagi, Vin. Daripada mati kelaparan."

"Juga tetap bersyukur akan segala sesuatu."

Kali ini abangku mengangguk. Dia terdiam seribu bahasa di samping diriku yang juga diam memandang lapangan parkir dengan wajah lesu. Merenungi nasib sambil dibelai angin sepoi-sepoi.

Kenyataan hidup memang pahit. Lakukanlah yang kita bisa.

下一章