webnovel

03. Pura-pura Adalah Senjata Terbaik

Sosok anak kecil yang tengah duduk sendirian pada kursi kayu memanjang di taman. Ia terlihat murung, menundukkan kepalanya namun masih ada kemauan dalam dirinya. Tanpa disadari, seorang anak perempuan duduk di ayunan samping kirinya.

Sosok anak kecil laki-laki itu menoleh ke samping kirinya. Senyuman kecil ditunjukkan padanya, ia tidak mengerti maksud dari anak perempuan itu. Tiba-tiba, dia menunjukkan sesuatu di lembaran catatan kecil.

Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun membuat anak kecil itu memutar otaknya. Apa yang kau lakukan sendirian di sini? Hanya dengan pertanyaan seperti itu. Perasaan kesepian yang baru saja ia ketahui, apakah memang seperti itu?

   "Bicaralah, kenapa kau memakai catatan untuk komunikasi?"

Anak laki-laki itu bertanya. Anak perempuan yang ada di sampingnya menggelengkan kepala. Jawaban kecil tercantum pada lembaran kertas yang tipis.

   "Kamu ... "

Karena anak itu tidak ingin menyakiti perasaan seseorang yang baru ia jumpa. Ia terdiam kembali dan mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. Senyuman kecil mereka berdua tunjukkan, apakah mereka sudah menjadi teman?

Gadis kecil itu menuliskan namanya di lembaran kertas tipis. Ia tunjukkan namanya kepada anak laki-laki yang tengah menunggu. Apa yang dipikirkan oleh anak kecil itu, dia kesusahan mengeja nama si gadis.

   "Asuhara ... Kifu? Mmm ... Kifune?"

Ketika anak laki-laki itu mencoba mengeja namanya sampai selesai. Senyuman bahagia ia tunjukkan kepada si anak laki-laki. Tanpa disadarinya, pertemuan kecil itu membuat perasaan senang menyelimuti mereka berdua.

Gadis kecil itu menanyakan nama anak laki-laki yang ada di sampingnya. Sebelumnya ia tunjukkan pertanyaan itu dari lembaran kertas catatan kecil. Menghela napas, entah apa yang dia lakukan.

   "Namaku ... "

*Gubrak

Aku terbangun setelah melihat sebuah mimpi. Pipiku terasa dingin, begitu pula dengan tubuhku. Kasur ini terasa dingin, bahkan terasa keras tidak ada empuknya sama sekali.

Ruangan yang gelap ini telah kusadari suatu hal. Terjatuh di atas kasur yang empuk, mendarat di permukaan lantai kayu dengan permukaannya yang terasa dingin. Setiap anggota tubuhku merasakan rasa dingin yang menusuk pada kulit.

   "Mengembalikan bolpoin kepada pemiliknya sudah. Menghajar anak sastra tidak jadi. Pencopet yang kuberi uang malah mengembalikan lagi uangku. Dan mimpi itu ... Asuhara Kifune ... "

* * * * *

Suara bel sekolah pertanda istirahat jam pertama berdentang. Membereskan alat tulisku yang ada di atas bangku. Ketika melihat kolong meja yang terdapat ponsel pintar, aku teringat dengan beberapa bahan yang kuambil tadi pagi dan disimpan di kolong.

   "Kifune, kau mau makan siang?"

Tanyaku seraya menoleh ke samping kanan. Kifune menanggapi pertanyaanku dengan anggukan kepala. Ia memberiku catatan kecil miliknya, membaca tulisan yang ia gores pada lembaran kertas.

Ia menanyakan hal yang sama padaku. Apakah kau ingin makan sekarang? Itulah pertanyaan yang ia lontarkan padaku. Aku menganggukkan kepala, lagipula uang yang kuberikan kepada pencopet beberapa waktu lalu telah mengembalikan uangku kembali.

Aku senang ketika uang yang kuberi kepada pencopet itu digunakan untuk hal baik. Tetapi, dia memenangkan lotre dengan uang milikku. Karena itu juga, dia menemuiku di toko ketika aku menghantam wajahnya.

Sekarang, uangku dua kali lipat dari sebelumnya. Namun ini membuatku bingung, uang sebanyak ini mau digunakan untuk apa?

Ketika aku menoleh lagi ke samping kanan. Kifune tengah menikmati bekal yang ia bawa. Waktu istirahat masih lama, lebih baik lanjut tidur lagi meskipun beberapa menit kugunakan.

Aku menyadari suatu hal yang ganjil di kelas ini. Suasana yang tadinya cukup ramai, tiba-tiba saja hening dan terasa sunyi. Beberapa langkah kaki cukup berat terdengar, seseorang memegang pundakku.

   "Ikut kami."

Suara berat dari siswa kelas dua. Senior dengan penampilan berandal, membuatku memutar otak melakukan analisis deduksi pada situasi yang tidak wajar ini. Kusadari, sepertinya para Senior ini membenciku karena suatu hal.

Mau bagaimana lagi, aku tidak ingin terjadi perkelahian di kelasku. Kifune terbingungkan dengan situasi yang dilihat olehnya. Sepertinya dia menganggap tiga Senior laki-laki itu adalah temanku.

Segera merenggut bahan-bahan yang ada di kolong meja. Memasukkannya ke dalam dua saku yang ada di celanaku. Aku menyerah, tiga orang itu menarikku dan sepertinya diriku ini akan dibawa ke suatu tempat yang cukup menyeramkan.

* * * * *

Seperti yang sudah kuduga. Aku dibawa ke belakang gedung sekolah yang baru. Menganalisa struktur bangunan gedung baru, disertai mengingat-ingat setiap kelas dan ruangan kosong yang ada di gedung sekolah ini.

Kini, posisiku terpojokkan dan berdiri dengan sandarannya yang berupa pohon berukuran cukup besar. Tiga Senior berpenampilan berandal, membuatku mengerti dengan semua kondisi yang aku alami sekarang ini.

Langsung saja, Senior yang memiliki gaya rambut gondrong memukulku tepat di perut. Kutahan dengan menahan pukulannya dengan tangan kanan. Senior yang memiliki gaya rambut cepak, menendangku dari samping kanan sehingga aku terjatuh dengan tumpuan kaki yang tidak stabil.

Mereka bertiga langsung menyerangku bertubi-tubi. Pukulan dan tendangan, mereka lakukan sampai puas meskipun posisiku meringkuk seraya menghindari serangan yang menuju daerah vital. Serangan lemah menuju tangan, kaki, dan tubuh lainnya aku biarkan.

Ketika aku berniat untuk menghajar mereka habis-habisan. Sosok perempuan berambut hitam sedikit cokelat cukup gelap, muncul dari jendela yang terbuka. Sudah kumengerti, tempat ini merupakan belakang kelas Kazari yang ada di lantai dua.

Pandangan sayunya mengarah padaku. Rambut hitam sedikit cokelat berantakan itu diombang-ambing oleh angin sejuk. Niatku untuk melakukan serangan balasan, langsung pupus ketika Kazari melihat sosokku yang sedang dipukuli.

Aku menggelengkan kepala ketika dia berniat untuk memanggilku. Jangan, itu hanya akan memperburuk keadaanku. Ada kemungkinan bahwa salah satu dari tiga orang ini menyukai Kazari.

Kemungkinan yang lain adalah karena masalah lain. Entah itu ada hubungannya denganku, entah mereka jengkel dengan kehadiranku. Entah ada yang memerintah mereka bertiga untuk menghajarku.

Setiap hal yang aku lakukan. Konsekuensinya akan ditanggung olehku. Aku menghirup napas dalam-dalam, mengolah setiap kalimat seraya mengingat-ingat momen pertemuanku dengan Kazari.

   "Aku tidak menyesali apa yang pernah kulakukan! Yang kusesali hanyalah apa yang tidak pernah kulakukan!"

Suaraku yang amat nyaring tersampaikan kepadanya. Itu adalah kata-kata yang aku ucapkan ketika pertemuan kami yang pertama. Karena dia menyukai sastra, aku mengutip kata-kata itu dari sebuah sastra klasik.

Kata-kata itu berupa janjiku padanya. Sialan, aku cukup malu ketika mengatakannya. Kutipan dari novel karya Atsushi Nakajima, dia adalah penulis sastra klasik Jepang setelah meninggalkan karya tulisnya yang berjudul The Moon Over The Mountain.

Maksudku meneriakkan kata-kata itu hanya untuk mengingatkan bahwa aku baik-baik saja dan percaya padaku. Tidak perlu ditolong, lagipula Kazari sudah tahu dengan kegiatanku selama ini. Maka dari itu, dia memandangku dengan sayu setelah cukup lama dipukuli dan masih saja.

Dengan sengaja aku berguling-guling untuk mengelabui mereka. Perlahan-lahan bangkit dengan menunjukkan bahwa tubuh ini sudah tidak kuat lagi. Aku membuat sebuah kejutan, memuntahkan darah dari mulutku cukup banyak.

Tiga orang yang menindasku berhenti memukuli setelah melihat darah yang aku muntahkan. Kondisi yang kuperlihatkan kepada mereka bertiga, sosok yang terlihat lemah dan tidak berdaya lagi.

   "Kita pergi."

Suruh pria berambut gondrong kepada dua orang yang bersamanya. Mereka pergi meninggalkanku, yah ... rencana pura-pura lemah berhasil tanpa ada kegagalan. Pandanganku ke atas, menunjukkan senyumanku yang penuh cairan berwarna merah.

Serangan yang aku terima tidak terasa sakit lagi. Lagipula, menghindari setiap serangan yang mengarah ke daerah vital disertai pura-pura lemah adalah rencana yang bagus. Karena itu, mereka bertiga tidak akan menggangguku lagi.

Entah bagaimana jika aku menghajar mereka habis-habisan. Masalah yang lain akan kembali muncul, karena itulah aku mengurangi tingkat permasalahan yang akan muncul nantinya.

   "Uhh asam, buah plum dan daun semanggi ini berguna juga."

Ada alasan kenapa kebiasaanku tidur-tiduran di pelajaran kimia itu efektif. Salah satunya adalah pelajaran pada kegunaan setiap zat alami yang terkandung di tumbuhan. Aku menggunakan bahan-bahan yang ada di kolong meja untuk membuat cairan berwarna merah seperti darah.

Yang aku masukkan ke dalam mulutku adalah beberapa bahan alami. Daun perilla merah jika dicampur dengan cuka, maka akan berubah warna menjadi hitam gelap. Dengan kata lain, jika dikunyah bersamaan dengan daun asam kecil seperti daun semanggi atau buah plum yang mengandung asam oksalat.

Bahan-bahan yang sudah aku kunyah. Maka akan berubah menjadi cairan yang berwarna merah. Ilmu ini aku dapatkan di mata pelajaran biologi dan kimia.

   "Untuk sekarang ... "

Aku segera pergi meninggalkan tempat ini. Menuju wastafel yang ada di dekat sini, membersihkan cairan berwarna merah di wajahku. Setelah itu kembali ke kelas, para murid di kelasku heran karena mereka mengira bahwa aku akan ditindas.

Tapi memang kenyataannya seperti itu. Namun dengan analisa dan situasi yang sudah diprediksi. Semua itu akan pupus dan menjadi pembicaraan omong kosong belaka.

Ketika duduk dengan posisi tidur-tiduran di atas bangku. Ponsel pintar milikku yang disimpan di kolong bangku bergetar menerima pesan masuk. Terdapat sebuah pesan dari Ibuku dan Kazari.

Kau baik-baik saja? Ada apa dengan darah yang kau muntahkan begitu banyak? Akan aku balas perbuatan mereka bertiga.

Itulah isi pesan dari Kazari. Aku membalas pesannya berupa pencegahan, lagipula tiga Senior itu sudah aku bereskan dengan cara aman tanpa melibatkan orang lain.

Dan pesan dari Ibuku merupakan permintaan kecil. Sudah kuduga, mungkin aku harus melaksanakannya?

To Be Continue ....

下一章