Adalah hampir tak dapat dipercaya bila di puncak Gunung Gede yang semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang hari yang panas terik itu terdengar suara lengkingan tawa manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti dengan suara yang membentak yang kadang-kadang dibarengi oleh suara gelak membahak lain!
Jelas bahwa ada dua manusia di puncak Gunung Gede saat itu! Dan keduanya kelihatan tengah bertempur dengan segala kehebatan yang ada. Bertempur sambil tertawa-tawa!
Siapakah mereka ini?! Yang berbadan tinggi langsing dan mengenakan pakaian serta kain hitam adalah seorang nenek-nenek berkulit sangat hitam berkeringat-kerinyut. Kulit yang hitam berkerinyut ini tak lebih hanya merupakan kulit tipis pembalut tulang saja! Mukanya cekung dan kecekungan ini merambas ke matanya sehingga matanya ini kelihatan demikian menyeramkan. Berlainan dengan kulit serta pakaiannya yang serba hitam itu maka rambut di kepalanya serta alis matanya berwarna sangat putih.
Dan rambut yang putih itu tumbuh sangat jarang di atas batok kepalanya yang hampir membotak licin berkilat. Namun lucunya pada kepala yang berambut jarang ini, nenek-nenek itu memakai lima tusuk kundai. Dan anehnya kelima tusuk itu tidaklah tersisip disela-sela rambut yang putih karena memang tidak mungkin untuk menyisip di rambut yang jarang itu. Kelima tusuk kundai itu menancap langsung ke kulit kepala nenek-nenek itu!
Siapakah nenek-nenek ini? Dia-lah yang bernama Eyang Sinto Gendeng, seorang perempuan sakti yang telah mengundurkan diri sejak dua puluh tahun yang lalu dari dunia persilatan. Selama malang melintang dalam dunia persilatan itu, sepuluh tahun terakhir Sinto Gendeng telah merajai dunia persilatan di daerah Barat Jawa bahkan sampai-sampai ke Jawa Tengah.
Selama itu pula dia telah menyapu dan membasmi habis segala manusia jahat. Terhadap manusia-manusia jahat, hanya ada satu kesimpulan bagi Sinto Gendeng untuk dilakukan yaitu membunuhnya! Tidak heran kalau namanya menjadi harum.
Nama asli dari perempuan ini adalah Sinto Weni. Namun karena sikap dan tingkah lakunya yang lucu serta aneh-aneh bahkan seringkali seperti orang yang kurang ingatan maka lambat laun dunia persilatan meng-anugerahkan nama baru padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau Sinto Gila!
Siapa pula orang kedua yang berada di puncak Gunung Gede itu dan yang saat itu bertempur menghadapi Sinto Gendeng? Dia seorang pemuda belia remaja yang baru memasuki usia tujuh belas tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya gagah dan kulitnya bersih kuning, hampir seperti kulit perempuan. Rambutnya gondrong sebahu dan agak acak-acakan sehingga tampangnya yang keren itu seperti paras kanak-kanak.
Sebenarnya kedua orang itu sama sekali bukan tengah bertempur karena pemuda tujuh belas tahun tersebut adalah murid Eyang Sinto Gendeng sendiri. Bagaimana sikap tingkah laku gurunya, demikian pula sikap sang murid. Tertawa-tawa dan menjerit-jerit serta cengar cengir!
Meski keduanya tengah melatih ilmu kepandaian, namun setiap jurus-jurus serta serangan-serangan yang mereka lancarkan adalah benar-benar serangan yang berbahaya sehingga bila tidak hati-hati dapat mencelakai diri!
Debu dan pasir beterbangan. Daun-daun pohon berguguran, semak belukar tersapu kian kemari oleh angin pukulan dan gerakan tubuh kedua orang itu yang laksana bayang-bayang! Di tangan kanan Sinto Gendeng ada sebatnag ranting kering sedang muridnya memegang sebilah keris bereluk tujuh.
"Ayo Wiro! Serang aku dengan jurus 'orang gila mengebut lalat'! Serang cepat, kalau tidak aku kentuti kau punya muka!"
Wiro Saksana sang murid tertawa membahak dan menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Tiba-tiba suara tawa membahak itu menjadi keras dan menggetarkan tanah, menggugurkan daun-daun pepohonan!
"Ciaaat....!!"
Bentakan setinggi jagat keluar dari mulut Wiro Saksana. Tubuhnya lenyap. Keris yang di tangan kanannya menyapu kian kemari dalam kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata. Inilah yang disebut jurus 'Orang Gila Mengebut Lalat'. Dan memang gerakan menyapu-nyapu dengan keris itu meskipun luar biasa cepatnya, namun kelihatan seperti tak teratur tak menentu. Tubuh Wiro Saksana doyong sana doyong sini. Namun serangan itu telah mengurung si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng!
Tapi si perempuan tua masih juga mengikik-ngikik. Masih juga petatang petiting sambil memainkan ranting kering yang di tangannya. Jika saja yang dihadapi oleh Wiro Saksana saat itu bukannya gurunya sendiri, bukan seorang sakti macam Sinto Gendeng, tapi seorang lain pastilah tubuhnya akan terkutung-kutung atau sekurang-kurangnya terbabat, tercincang oleh mata keris yang menyapu-nyapu laksana badai itu!
Sinto Gendeng mengikik. "Geblek kau Wiro! Masih kurang cepat, masih kurang cepat!" kata Sinto Gendeng.
Sang murid memaki dalam hati.
"Eeeee.... kau memaki ya?!" hardik Sinto Gendeng. "Lihat ranting!" teriak perempuan tua itu. Tubuh Sinto Gendeng berkelebat. Tangan kanannya yang memegang ranting bergerak.
"Awas ketek kananmu, Wiro...!" (ketek=ketiak).
Meskipun sudah diperingatkan, meskipun sudah mengelak dengan kecepatan yang luar biasa. Namun tetap saja ujung ranting itu lebih cepat datangnya ke ketiak kanan Wiro Saksana.
"Breeett!!...!"
Baju putih Wiro Saksana robek besar di bagian ketiak sebelah kanan. "Buset....! Untung cuma ketekku!" seru pemuda itu. Dengan kertakkan geraham dia menerjang ke muka. "Eyang," katanya, "terima jurus 'Kunyuk Melempar Buah' ku ini!" (kunyuk = monyet).
"Ah hanya jurus geblek begitu siapa yang takut?!" menyahuti sang guru.
Wiro Saksana meninjukan tangan kanannya ke muka. Pada saat tangannya perpentang lurus maka jari-jari tangannya membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana batu besar melesat ke arah tenggorokan Eyang Sinto Gendeng!
Nenek-nenek itu tertawa cekikikan. Dia meludah. Meski Cuma ludah dan disemburkan secara acuh tak acuh tapi karena diisi dengan tenaga dalam, ludah itu berbahaya sekali bagi pembuluh-pembuluh kulit dan mata.
Wiro Saksana berkelit ke samping. Sambil berkelit dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah perbawa dorongan pukulan tangan kosongnya tadi yaitu 'Kunyuk Melempar Buah' yang agak menyendat sedikit akibat dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng.
Melihat serangan lawan masih terus mengganas ke batang tenggorokannya, kembali Sinto Gendeng tertawa. Memang manusia satu ini aneh sekali sifatnya. Bahkan setiap jurus-jurus ilmu yang diciptakannya diberinya dengan nama-nama aneh dan lucu. Tak salah kalau banyak orang-orang dalam dunia persilatan menukar namanya menjadi Sinto Gendeng!
Suara tertawa nenek-nenek itu lenyap, berganti dengan satu lengkingan nyaring yang menusuk gendang-gendang telinga. Tubuhnya kelihatan jungkir balik dan melesat seperti terbang ke sebuah cabang pohon jambu klutuk! Sekaligus Sinto Gendeng telah mengelakkan gumpalan angin keras 'Kunyuk Melempar Buah'. Angin keras ini menghajar batang pohon di seberang sana dan batang pohon itu patah lalu tumbang ke tanah!
Terdengar lagi suara tawa mengikik. Gemas sekali Wiro Saksana memandang ke atas. Di lihatnya gurunya duduk enak-enakan di cabang pohon jambu klutuk sambil menggerogoti buah jambu itu!
"Gendeng betul....!" gerutu Wiro kesal karena serangannya hanya mengenai pohon.
"Memang namaku Sinto Gendeng!" kata sang guru pula. Kemudian tanyanya, "Kau mau jambu, Wiro?!"
Dan sebelum Wiro Saksana sempat menyahuti maka gurunya telah menyemburkan biji-biji jambu klutuk itu ke arahnya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk menyerang hampir ke seluruh jalan darah di tubuh Wiro Saksana!
"Ah, cuma bijinya siapa yang sudi!," jawab Wiro Saksana.
Dia menghembus ke udara dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk itu berguguran ke tanah bahkan tujuh butir di antaranya berbalik menyerang Sinto Gendeng. Tapi dengan goyangkan sedikit saja kaki kanannya, maka nenek-nenek sakti itu membuat ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan!
"Kalau tak sudi biji jambu, terimalah ranting kering ini!" kata Sinto Gendeng. Dan ranting kering yang di tangan kirinya di lemparkannya ke bawah, mendesing laksana anak panah mengarah batok kepala muridnya!
Memang Sinto Gendeng benar-benar seorang perempuan tua yang aneh. Dalam melatih muridnya setiap serangan yang dilancarkannya benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau sekurang-kurangnya bisa menimbulkan celaka hebat bila sang murid tidak berhati-hati. Setiap jurus ilmu silat yang diciptakannya pun aneh-aneh namanya.
Melihat serangan ranting kering ini Wiro ganda tertawa. Sekali dia gerakkan tangan kanan yang memegang keris maka ranting kering itu belah dua tepat dipertengahannya dan jatuh ke tanah.
"Sebaiknya turun saja dari pohon eyang" kata Wiro Saksana. "Kalau tidak...."
"Kalau tidak kenapa?" memotong Eyang Sinto Gendeng.
"Sambut keris ini, Eyang....! Sambut dengan jidatmu biar konyol!" Habis berkata begitu Wiro Saksana tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk tujuh yang di tangan kanannya. Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan karena cepatnya.
Namun empat detik kemudian terdengarlah suara cekikikan Eyang Sinto Gendeng. Dan ketika Wiro mendongak ke atas dilihatnya keris yang dilemparkannya tadi berada dalam jepitan telunjuk dan jari tengah kanan gurunya. Wiro Saksana menggerendeng.
Tiba-tiba. "Ini balasan kehormatan untuk keris bututmu, Wiro!" Sinto Gendeng cabut dua tusuk kundainya dari batok kepalanya yang berambut putih dan jarang itu. Dibarengi dengan angin lemparan yang bukan olah-olah dahsyatnya maka menyambarlah dua tusuk kundai itu ke arah Wiro Saksana. Yang satu menyerang kepala, yang lain menyerang perut!
Wiro Saksana yang tahu kehebatan tusuk kundai itu tak mau memapaki senjata tersebut dengan mengandalkan lambaian tangan yang mengandung tenaga dalam. Didahului dengan bentakan nyaring maka pemuda ini menjejek bumi dan melintangkan badannya ke udara. Tusuk-tusuk kundai itu lewat di kiri kanannya, terus amblas ke dalam tanah!
Eyang Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. "Bagus... bagus kau tidak menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam! Tak satu tenaga dalam yang bagaimana hebatnya pun yang sanggup memapaki tusuk kundai itu Wiro! Eeee... aku haus! Hik... ambilkan air buatku Wiro! Cepat!"
"Kalau haus jilat saja air keringat!" kata murid yang lucu dan seperti kurang ingatan pula macam gurunya. Dan dasar Eyang Sinto Gendeng manusia aneh, dia sama sekali tidak marah mendengar gurau yang keliwatan dari muridnya itu, melainkan tertawa mengakak.
Tiba-tiba tawanya lenyap. "Air, Wiro! Lekas!" bentak perempuan itu. Sang murid berlalu juga dari tempat itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil. Di bagian belakang pondok ini ada sebuha gentong berisi air putih dingin. Wiro mengambilnya segayung.
Ketika dia melangkah kembali ke tempat tadi untuk memberikan air itu kepada gurunya maka didengarnya suara Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Suaranya sama sekali tidak merdu. Namun kata-kata yang terjalin dalam nyanyian itu membuat Wiro Saksana menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales....
Artinya: (Tujuh belas tahun telah berlalu.
Puncak Gunung Gede masih tetap seperti dulu,
Langit masih tetap biru,
Bulan dan matahari masih berpandangan jauh dan rindu.
Tujuh belas tahun membuat si tua tambah tua,
Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi pemuda gagah,
Tujuh belas tahun masa perjanjian,
Tujuh belas tahun ujung perpisahan,
Tujuh belas tahun saat pembalasan).