Dika, lelaki biasa yang entah dari mana, sangat pandai sekali dalam bertarung. Tatapan mata yang tajam dan dingin serta wajah yang tampan membuat para wanita terpesona dengannya.
Dibalik sosoknya yang dingin dan tajam dia memiliki janji untuk pergi ke salah satu universitas terbaik di Indonesia. Dia mengucapkan janji itu pada sebuah foto.
Akhirnya dia memutuskan untuk mendaftar ke sekolah mewah. Di sekolah tersebut, tak disangka dia bertemu dengan seorang guru bahasa inggris, yang ternyata kakek dari guru tersebut berhubungan dengan masa lalunya.
Perlahan, semua masa lalunya maupun tujuannya terungkap satu persatu.
Altair Noah Ortiz. Dia tidak akan menyangka hidupnya akan serumit ini. Menjadi orang yang lemah bukanlah keinginannya. Dia harus menahan rasa pedih sebagai aib keluarganya. Bahkan ketika terjadi [Kebangkitan] dia sama sekali tidak mengalaminya.
Akan tetapi ketika dunia berubah menjadi medan perang, semua berubah. [System] seolah mempermainkannya dan memberikannya [Elemen] yang tidak ada dimiliki oleh [Player] lain. [Kebangkitan] nya dia usahakan untuk disimpannya, namun setelah pertarungan dengan [False Kelas B], rencananya kandas. [Kebangkitan] nya menjadi bahan perbincangan negaranya bahkan sampai ke luar negeri. Namun itu bukan sebagai keberkatannya, melainkan permulaan dari sesuatu yang lebih berbahaya dari ini.
Altair Noah Ortiz. Pria dingin yang maniak membunuh harus melindungi bumi dari [False] yang menggila dan bencana yang lebih besar dari itu.
"Siapa?"
Kota Banssang sebagai medan perang Para Hunter dengan [False]. Kemunculan [Tower] dan [Portal] mengacaukan semuanya yang ada di sana.
"Altair Noah Ortiz. [Monarch] dari semua [Kegelapan] akan mencabut nyawamu."
Vyn nama remaja yang baru saja kehilangan orang tua beserta seluruh warga desanya karena wabah penyakit mematikan. Wabah itu ternyata dari penyihir jahat, Vyn hendak balas dendam namun penyihir itu sudah mati. Karena ia sudah tak punya tujuan hidup bersama orang tuanya maka ia pun pergi ke kastil milik penyihir bernama Mely.
Kisah Vyn pun di mulai
PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat
meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju
Singapura.
Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di
tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di
kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera
untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar.
”Silakan,” kataku.
”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah
berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah
mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya.
Senyumnya lebih baik.
Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji
pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah
berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu-
an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini