Tak pernah terbayangkan di benak Hesa, dia akan menghabiskan malamnya dengan seorang lelaki yang kenal dekat saja enggak. Dari duluuu, awal masuk kuliah, Hesa sudah mengetahui keberadaan Wijaya. Okay, siapa yang nggak kenal si Antaresa yang kemana-mana naik mobil kuda jingkrak? Atau kalau tidak, siapa yang tak kenal maba Teknik yang berangkat ospek dengan rambut mentereng dan heboh sampai Dekan turun tangan karena rambut coklat-pirangnya dikira hasil cat? Intinya, Hesa tahu jika Haris Wijaya Antaresa, maba super sugeh (kaya raya) dari jurusan Teknik Arsitektur itu ada.
Namun ya sebatas itu saja. Mereka tak pernah benar-benar saling berbicara, setidaknya sampai sebulan yang lalu. Itu pun habis Hesa mendapatkan barang sogokan agar dia mau bicara, mereka tak lagi jumpa atau bercengkrama.
Nah, makanya Hesa bingung sekali kini … ini orang kenapa dari tadi di depannya dan kagak pergi-pergi sih? Teknik Arsitektur nggak bersebelahan dengan Elektro lho padahal. Jauh bahkan. Kenapa manusia ini …
"Muka lu kayak nyuruh gua pergi, Hes."
Nah kan? Mana makin kasual aja dia memanggil Hesa ya?
"Mm, yo iyo se (Mm, emang sih)."
Dari setengah jam yang lalu, Hesa masih pada satu suara, menyuruh si setengah bule ini segera angkat kaki dari sini. Meski dia tak memandang Wijaya kini dan nada bicaranya malas, dia masih kukuh menyelipkan indikasi keberadaan Wijaya tak diinginkan. Padahal si coklat itu dari tadi cuma bercerita tentang kuliner, kemudian B's Olimpiade yang baru saja selesai atau tentang acara gabungan teatrikal dengan universitas keguruan tetangga yang akan diselenggarakan minggu depan. Tidak sama sekali menyinggung Hesa, cuma bagi Hesa … level begini sudah berisik. Kalau bisa ingin dia plester tuh mulut.
"Dingin bet elah lu itu," berdecak, Wijaya mengatakan ini. Dia melengos dan membuang muka.
Hesa mendengus mendengar rajukan si ketua EM itu. Masih dengan malas dan menyangga dagunya dengan satu tangan, dia membalas kalimat itu, "Koen rame ae, cok. Ndang o ngomong intine terus ngalih o. Ben aku yo iso moleh (kamu berisik, bro. Cepetan bilang tujuanmu apa terus pergi. Biar aku bisa pulang)." Jemari si hitam berhenti mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Dia melirik ke arah Wijaya sambil menunjuk ponsel. "Btw project ini kelar baru bulan depan."
Wijaya membelalak di sini. Mukanya menegang sesaat sebelum senyum lebar perlahan merekah di wajahnya. "Ha haha," dia tertawa kecil, mimiknya gamblang sekali tunjukkan rasa 'excited' yang bergejolak di dada, tangannya di atas meja gazebo bergetar. "HAHAHA!" dan DAR! dia tertawa terbahak. Kencang sekali.
Hesa hanya memutar mata melihat hal ini. Namun dia kembali melakukan apa yang tengah ia lakukan. Dia terbiasa berkonsentrasi di keramaian dan memiliki 'auto cancellation noise' di benaknya. Yak, dia bisa tak acuhkan orang di depannya ini kalau dia mau.
Hanya saja, tiba-tiba si coklat itu melemparkan kartu debit ke atas meja. Hesa berhenti mengetik di detik itu juga. Dia bahkan membawa tubuhnya untuk berdiri tegak.
Dua insan ini saling bersitatap sejenak. "Jadi, sudah basa-basinya?" tanya Hesa beberapa saat kemudian sambil meraih kartu debit dan menukarnya dengan kartu nama.
"Bisa kita mulai berbisnis?" tanyanya seraya menangkupkan dua tangan di depan dagu dan memandang lurus ke arah sang Antaresa.
***
Andre Bima Suhendra memainkan pulpennya sambil memandangi soal rumit di buku cetak yang ia hadapi. Dia tengah duduk di belakang meja besar di lobby utama gedung laboratorium teknik elektro. Matanya fokus ke arah buku dan kertas corat-coret buram di sisi, tapi otak Andre melayang.
Dia tidak tahu kapan, tapi saat jam di lab berdentang 9 kali, dia dan gerombolan adik kelas itu terkejut terheran-heran karena tiba-tiba Hesa menghilang. Andre langsung tepok jidat melihat hal ini.
"Lah, terus piye asistensine awake dewe (Lah, terus gimana dong asistensi kita)?" satu diantara anak-anak yang mengobrol sama Andre bergerak gusar. Dia memandangi rekan-rekannya penuh makna. "Njaluk sepura nang mas Hesa yok rek. Sungkan aku he (minta maaf ke mas Hesa yuk gaes. Aku sungkan)," perempuan itu berkata lagi, kini sambil menarik lengan satu teman lelakinya. Dari gerak-gerik, Andre menduga mereka pacaran.
Andre tertawa kecil melihat hal ini, akhirnya dia menenangkan mereka dan meminta mereka untuk tidak panik. Dia pun menjelaskan jika Hesa tak mungkin marah, rekannya itu hanya tak suka membuang waktu untuk hal percuma—nungguin orang yang tak sadar ditungguin misalnya, itu percuma—jadi yah … dia menghilang pasti untuk melakukan hal bermanfaat untuk dirinya. "Tapi jaga-jaga minta maaf aja sih, sekalian tanya dia luang lagi kapan," Andre mengakhiri kalimatnya dengan saran ini.
Setelah selesai dengan adik tingkat, Andre mencari dimana Hesa. Dia tahu temannya tak akan pergi jauh-jauh karena dompet, tas dan kunci motornya masih ada di ruang asisten. Iya, sebelum keluar dari lab, Andre ngecek dulu di ruang asisten tadi. Dan dari informasi ini, Andre menebak laki-laki yang selalu bersama dengannya sejak kecil itu pasti kalau nggak beli kopi yang ngudud, atau dua-duanya.
Dan itu artinya, kalau tidak di kantin Fakultas—yang merupakan kantin terdekat—ya Hesa berada di gazebo.
Berbekal pemahaman ini, Andre keluar dari gedung. Yang dia kunjungi pertama tentu kantin. Ibu penjual di kantin memberi tahunya jika Hesa beli kopi doang, tidak tinggal. Tebakan Andre, berarti Hesa di gazebo. Buru-buru dia memeriksa gazebo demi gazebo yang biasanya Hesa tongkrongin.
Yang terakhir dia cek adalah gazebo tusuk sate yang terletak diantara ujung dua gedung laboratorium jurusan berbeda. Baru juga dia melangkah 10 langkah, dia mendengar suara Hesa sedang bercengkrama dengan orang lain.
Awalnya dia sudah ambil ancang untuk mendekat dan nimbrung, hanya saja … begitu mendengar suara lawan bicara Hesa, Andre langsung mematung. Dia familiar dengan suara orang ini, sangat. Tidak seperti Hesa yang hidup seperti di goa, pemilik rema hitam mentah ini mengikuti perkembangan gosip di media sosial dan di lingkungan universitasnya. Dan orang yang sedang berbicara dengan Hesa adalah …
Orang nomor 1 Universitas B, sang elit Predator—manusia yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Termasuk kehormatan seseorang.
Sudah jadi rahasia umum jika semua orang 'cakep' di universitas ini, baik lelaki maupun perempuan, sudah pernah dijajal oleh seorang Haris Wijaya Antaresa.
Bayangan yang tidak-tidak meresap di benak Andre. Tanya 'kenapa orang itu mendekati Hesa? Tak hanya sekali, dua kali bahkan? Kenapa mereka bertemu diam-diam di tempat rimbun begitu? Apa yang diinginkan orang itu dari Hesa? Apa?' beterbangan di benak Andre. Dia bingung, panik. Harus apa dia untuk menyelamatkan Hesa? Harus dengan apa?
Tanpa Andre sadari, dia berjalan mondar-mandir di jalanan setapak yang memisahkan gedung laboratorium dengan gazebo. Dia menggigiti ujung ibu jarinya. Namun gerakannya berhenti ketika mendengar gelak tawa membahana dari arah gazebo. Dia langsung menoleh ke sumber suara dan seketika mukanya dipenuhi ketakutan.
Dia bisa merasakannya … tawa Wijaya … suratkan sesuatu yang mengerikan.
Menelan ludahnya sendiri, Andre membawa dirinya mengendap-endap mendekati Hesa dan WIjaya. Tak lupa dia menajamkan seluruh indra. Tempat Hesa dan Wijaya itu remang-remang memang, tapi bukan berarti dia tak bisa melihat apa pun yang tengah dua orang itu kerjakan. Andre memasang perhatian lebih di sini.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat Wijaya melemparkan kartu yang ia yakini adalah kartu debit ke depan Hesa. Ketakutan mencekik Andre, dia bahkan tak sadar sampai diam di tempat dan menggigit bibirnya sendiri kuat. Napasnya tertahan sedang fokusnya, lurus ke arah Hesa.
Dunia terasa runtuh ketika Andre melihat raut kalem Hesa melembut dan ia mengambil kartu Wijaya. Andre tak mendengar apa yang mereka bicarakan memang, tapi dia bisa membayangkan kemana percakapan itu berjalan.
Haris Wijaya Antaresa digadang-gadang sebagai orang terkaya di Universitas B. Dia jenius dari arsitektur yang mampu melakukan apa pun, menaklukkan apa pun. Dan dia sering memainkan uang untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Terbata, Andre menggumamkan pemikiran terburuknya, "J-jangan-jangan … Wijaya dan Hesa mau …" clup! Andre meneruskan ucapannya dengan tangan. Dia membuat lubang dengan tangan kiri—ibu jari dan telunjuk membentuk lingkaran—yang ditusuk telunjuk tangan kanan.
Seketika Andre memucat.
Namun karena dia tak berani mengkonfirmasi pikirannya sendiri, Andre memilih mengamati dua manusia ini dari jauh, dari lobby utama gedung laboratorium teknik elektro misalnya.
[]
————
pojok QnA
Q: kok banyak karakter baru kak?
A: iya, biar ceritanya makin melar (jadi ratusan chapter dari awal cuma 50 chap doang rencananya) dan tidak berplot-hole, harus menghadirkan banyak tokoh yang membawa peranan penting di kehidupan masing-masing
Q: Sean sama Hesa kok nggak ketemu-ketemu sih kak? Bosen ...
A: Sabar kak. Bertahanlah denganku TwT aku juga berjuang keras membawa kisah hidup mereka biar bisa bersatu di satu titik.