Pernah kalian mendengar anak SMA bilang begini, 'kapan sih aku lulus? Aku mau cepet-cepet kuliah biar nggak banyak tugas~'? Pernah dengar? Sama. Sampai bosen kalimat itu selalu menghampiri anak-anak bangku sekolah akhir yang sudah mau naik jenjang. Hesa pernah mendengar kalimat itu juga, sering malah. Dan yang dulu bikin Hesa judek dengan kalimat tersebut, kini sedang menangis bombay sambil merengek, "Heeees, aku nggak pahaaaam. Sumpah nggak paham. Pinjem tugasmu ae po'o, ben cepet (Pinjam tugasmu aja dong, biar cepat)," sambil menghadapi lembaran-lembaran penuh corat-coret.
Siapa kalian bertanya? Andre lah. Siapa lagi?
Hesa yang sedang asistensi dengan beberapa mahasiswa di ruang lab utama hanya mendengus mendengar kerewelan Andre. Tak menggubris, dia membubuhkan tanda tangan dan memberikan buku itu pada adik tingkat di depannya. "Ok, sudah. Belajar lagi ya dek buat post-test," katanya kalem.
Di Universitas B tepatnya di jurusan Teknik Elektronika tempat Hesa menimba ilmu, yang memberikan asistensi pengujian adalah mahasiswa situ juga. Mereka tentu bukan orang sembarangan karena untuk menjadi aslab, harus mengikuti serangkaian tes dan wawancara.
Tugas seorang asisten selain menjadi pembimbing, pengajar dan penguji saat praktikum juga adalah pemeriksa laporan. Nah, Hesa sedang melakukan pemeriksaan sambil berikan ujian tanya jawab kecil-kecilan. Ketika praktikan selesai diuji, Hesa membubuhkan tanda tangan sebagai simbol 'approval' praktikan mengikuti post test.
Waktu asistensi ini terserah asisten. Kalau Hesa, dia membuka asistensi hanya malam hari, tepatnya setelah jam kuliah terakhir selesai sampai jam 12 malam. Itu pun kalau dia lagi senggang. Makanyaaa, yang mengantri untuk asistensi dengan Hesa saat ini … banyak. Pol. Mana Hesa maunya asistensi satu lawan satu.
Jadi itu memaksa satu selesai, yang lain datang, begitu terus sampai …
"Graaaaa! Aku sudah tak tahan!!" yak, sampai si Andre ribut sendiri di ruang asisten dan keluar dari sana.
"Eh? Ada mas Andre lagi."
Kasak-kusuk terdengar. Hesa mencoba tidak terpengaruh, dia melayani dengan profesional adik kelas yang ada di hadapannya kendati beberapa praktikan yang nganggur memilih bergosip.
"Mas Andre aslab bengkel elka pisan ta? (Mas Andre aslab bengkel elka juga kah?)"
"Ora ho. Arek e mek cedek mbek mas Hesa. (Enggak hei. Dia cuma deket sama mas Hesa)."
"Temen ta? Lha tek iso mlebu ruang asisten i— (Seriusan? Lah kok dia bisa masuk ke ruang asisten i—) "
Namun segerombol mahasiswa yang sedang bercakap itu segera menutup mulutnya ketika melihat seseorang tiba-tiba berdiri di hadapan mereka. Orang ini berbalut sweater tebal dan mengenakan celana gombrong besar. Penampilannya seperti lagi di kutub, tapi kelompok yang terdiri dari 5 orang ini tahu siapa dia.
"Eh mas Andre. Kenapa di situ mas? Hehe" Satu dari mereka mencoba memecah kecanggungan, perempuan berambut sebahu ini tersenyum maniiis sekali. Harapannya, Andre bisa lumer atau diabetes melihat kemanisannya dan lupa untuk emosi. Hanya saja, Andre seperti tak peduli. DIa tetap memandang mereka penuh kekesalan dan menunjukkan muka tak suka. Berikutnya geraman meluncur dari bibirnya yang setengah terkatup, "Nek ngrasani wong mbok yo ojo nganti wong e krungu rek. Rak sopan. (Kalau ngrasani orang tuh jangan sampai orangnya denger gitu lho. Nggak sopan)."
Namun sudah, gitu saja. Yang terjadi berikutnya adalah Andre dan gerombolan itu saling lempar ejekan, emosi secuil sebelum bercanda riang gembira. Intinya mereka justru berakhir ngobrol dan saking serunya ngobrol, sampai mereka tak tahu jika waktu bergulir begitu cepat.
Lalu Hesa, pergi meninggalkan mereka, entah kemana.
***
Gedung khusus laboratorium jurusan Hesa dikelilingi taman yang cantik. Di sana banyak gazebo yang berdiri kokoh di bawah pohon rindang. Salah satu gazebo, terutama yang paling dikerumuni pohon rindang tapi mencolok karena menghadap langsung ke jalan besar, memiliki asbak melingkari bangunan. Yep, jurusan membuatnya praktis untuk orang-orang demen merokok, seperti Hesa.
Di situlah Hesa saat ini, ngudud sambil scroll-scroll hp dan mengopi. Hahah, perpaduan yang sangat ciamik. Dia menikmati kesendiriannya ini. Hawa kota Em dingin, karena rimbun dan minim penerangan—lampu taman ada, tapi mereka berdiri di tempat random dan di sekitar Hesa mereka tak terlalu dekat—tempat ini jangan didatangi orang kalau malam. Yep, benar, untuk melepas lelah, di sinilah tempat favorit Hesa.
"Mm? Kok nggak jalan ya?" Hesa bergumam, dia mencoba sekali lagi untuk run codingan yang dia bikin, tetapi tetap tak jalan. Mengambil kopinya, Hesa menenggak cairan hitam itu sambil sekali lagi, scrolling layar. Matanya fokus ke arah deret perpaduan huruf angka dan simbol, memeriksa apa ada yang dia luputkan.
Sedang fokus begini, tiba-tiba seseorang menepuk bahu Hesa. Tahu-tahu pula, satu-satunya sumber cahaya Hesa terhalang. Dan Hesa menyadari keberadaan seseorang, sedang mengamati ponselnya tanpa permisi dan kepala orang itu ada di atas kepalanya dengan badan yang … iyuh, nempel pol.
Andre? Bukan. Orang ini memiliki perawakan lebih ramping dari Andre tapi lebih berisi. Dan bahunya … lebih bidang.
"Mas. Ora sopan blas sampeyan kui (Mas. Kamu nggak sopan samsek)," Hesa mematikan layar ponselnya dengan jari. Dia melirik tajam si pendatang yang akhirnya, membawa tubuhnya menjauh. Dia tertawa kecil sebelum bertanya di tengah senyum miring tersungging, "Laptop dari gua mana? Kok pake hp bikin codingannya?"
Ah. Jangkrik lah ya. Hesa bertemu lagi dengan orang ini.
"Wow. Jijik banget ya ketemu gua?" orang itu tertawa lagi. Dia menikmati ekspresi-ekspresi kecil yang Hesa buat dan melontarkan itu dengan enteng. Mungkin kalau orang lain, akan mati gaya, kicep atau malu setengah mati atas keterusterangan ini; tapi Hesa … dia mengembalikan serangan itu dengan, "Iyo. Raimu nggateli. Ngaliho ndang (iya. Mukamu bikin pen nonjok. Pergi sana)."
Wijaya tergugu mendengar ucapan Hesa. Serius, dia langsung mengerjap dengan cepat lalu memasang tampang WTF terang-terangan. Hesa menaikkan dua alis melihat reaksi ini, ujung bibirnya agak tersungging ke atas. Heh, rupanya dia menikmati ekspresi shock seseorang atas balasan yang tak terprediksi.
"Ha." Bukannya marah, lelaki di depan Hesa perlahan merekahkan seringai dan detik berikutnya ia tertawa, "HAHAHA!". Keras sekali tawanya, sepertinya seru sekali dan lucu. Badan Wijaya tampak naik turun karena tertawa ini, bahkan dia sampai duduk untuk menahan efek lonjakan di dada.
Hesa mengerutkan kening mendengar tawa ini. Dia tak merasa ada yang lucu, serius. Namun dia tak berkomentar, alih-alih, dia menyalakan kembali ponselnya dan menggulir layar itu. Namun perhatiannya tak beraih dari Wijaya. Dia menunggu apa gerangan yang akan dilakukan sang Ketua EM Universitasnya selepas ini.
"Menarik. Lu menarik," pemilik wajah blasteran di sana menangkupkan jari-jari tangan kanannya di depan mulut, mata hitam itu menatap Hesa lekat, kilatannya bengis. Kerising tajam pun tampak dari balik jemari panjang. Aura yang terpancar dari sosok ini berubah, kebersahabatan yang semula menyelimuti, lenyap. Dominasi mengoar darinya.
Mungkin harapan Wijaya, Hesa akan terintimidasi dengan hal ini.
Namun tidak, pemuda itu tak tunjukkan sedikit pun tanda-tanda terintimidasi. Justru dia membalas tatapan ini dengan pandangan serupa. Dalam diam, mereka saling beradu pandang.
Sedetik, dua detik, .. enam detik, lima belas detik.
Dan di detik ke dua puluh lima, tawa pecah dari pemuda berambut coklat. "Pfft. Hahahaha!" dia bahkan sampai membungkuk dan memegangi perutnya. Hesa memejamkan mata melihat orang di depannya begini, tapi samar, senyum kecil merekah di wajahnya. Entah bagaimana, seperti Wijaya, dia terlihat menikmati interaksi mereka.
"Oh ya, lu ngapain di sini?" Wijaya yang sudah berhenti tertawa, akhirnya bertanya. Dia memandang Hesa dan penampilannya yang masih rapi dari atas ke bawah. Siulan meluncur dari bibirnya kemudian, "nungguin si doi mau kencan?"
Hesa menghela napas, dia menggerakkan jarinya yang memegang udut, menggoyang rokok di asbak yang mengelilingi gazebo sambil menjawab, "nggak. Lagi menikmati kehidupan aja sebelum negara api menyerang."
Wijaya hanya mengerjap mendengar pemaparan Hesa. "Hah?" dia bertanya, mukanya penuh dengan keheranan. Hesa menyesap dalam-dalam nikotin di tangan sebelum melepaskan asap ke udara. "Kamu negara apinya," komentarnya santai seraya melirik tajam. Samar, senyum mengejek terlukis di muka mahasiswa elektro itu.
Secara tersirat, Hesa ingin mengatakan, "sebelum kamu dateng aku lagi nikmatin hidup. Dasar kamu perusak kebahagiaan orang," begitu. Hebatnya, Wijaya bisa menangkap hal ini. Dia tersenyum lebar dan membalas, "terima kasih pujiannya," yang juga kental akan sarkas.
Sekali lagi, dua insan itu saling adu pandang.
Sumpah, di antara keduanya, tak ada yang mau mengalah.
————
Pojok KBBI:
- Kerising : seringai
guys, kedepannya setelah cerita baru ini mencapai 30k kata, tulisan lama saya akan saya hapus. Jika ingin membaca yang lama, bisa melipir ke facebook saya: seekor deel