webnovel

Part 1

Aku mengerang frustasi pada jalanan di depanku. Telapak tanganku mencengkeram kuat setir dalam genggamanku hingga kuku jari-jariku memutih. Seharusnya kakiku bisa menginjak pedal gas Honda HRV yang aku kendarai dengan lebih dalam, namun nyatanya kondisi jalanan di depan moncong mobilku seperti mengejekku habis-habisan.

Aku mengarahkan mobilku ke Kawasan Mega Kuningan dimana hari ini aku membuat janji untuk bertemu dengan Tuan Jeff, seorang notaris, pukul dua siang di kantor mereka. Aku sudah terlambat tiga puluh menit dari waktu pertemuan kami gara-gara Elis Zwetta dan pacar berondongnya,seorang pria muda yang kutaksir berusia tak lebih dari setengah usia Elis.

Elis Zwetta adalah janda cantik berusia lima puluh tahun, seorang pebisnis yang memiliki beberapa butik mewah yang menjadi langganan kalangan sosialita Jakarta.

Sebagai seorang marketing bank, Elis adalah debitur potensialku. Elis berencana ingin meminjam banyak uang untuk merenovasi salah satu butiknya yang akan dikelola oleh pacarnya tersebut. Awalnya kami bertemu di butik mereka di Kebayoran Baru. Namun aku tak kuasa menolak permintaan calon pundi-pundi bonus akhir tahunku saat ia dan pacarnya menyeretku untuk melihat butik baru mereka yang ada di Lebak Bulus. Dengan berat hati aku terpaksa mengikuti kemauan mereka.

Alhasil, aku sekarang harus berjuang menaklukkan kemacetan Jakarta yang mengepung mobilku. Meski aku sudah menghubungi Tuan Jeff dan meminta maaf mengenai keterlambatanku, tetap saja aku merutuk diriku sendiri.

Shit.

Aku terlambat hampir satu setengah jam lamanya saat roda mobil Honda HRV milikku menggilas pelan lantai basement gedung di mana kantor Jeff Widiarto and Partners menempati salah satu lantainya.

Aku belum pernah bertatap muka dengan Tuan Jeff sebelumnya. Aku tak bisa menebak kejutan apa yang akan diberikan oleh Tuan Jeff sore ini. Waktu itu hanya salah seorang staffnya saja yang menghubungiku dan memintaku untuk datang ke kantornya sehubungan dengan sebuah wasiat yang dibuat oleh Amelia untukku.

Sebuah wasiat dari Amelia?

Aku tergeleng tak habis mengerti, untuk apa Amelia membuat sebuah wasiat untukku? Amelia pasti tahu persis, aku tak pernah meminta uang sepeserpun atau imbalan apapun atas permintaannya untuk menjaga Arjuna, putra pertamanya yang waktu itu masih di dalam perutnya.

Amelia.

Amelia Sayang.

Dengan Amelia memenuhi kepalaku, aku memutar kunci untuk mematikan mesin Honda HRV-ku lantas menyambar shopper bag kulit yang ada di samping kursiku. Buru-buru aku mengayunkan tubuhku keluar mobil. Meluruskan rok pensil yang membungkus pinggulku hingga lutut, mataku segera mencari pintu lift yang akan membawaku ke lantai 15.

Ingatan tentang Amelia selalu membuat hatiku serasa diremas. Amelia, sahabat tersayangku yang cantik dan cerdas, kesayangan guru-guru di sekolah kami dulu.

Amelia yang sempurna, tidak ada cela.

Kecuali jantungnya yang terlalu lemah untuk janinnya..

Dan keras kepalanya..

Flasback

"Berjanjilah padaku, Eva. Kalau terjadi sesuatu padaku, aku mohon. Juna harus lahir dengan selamat dan kamu harus menjaganya_____." Amelia menggenggam tanganku kuat-kuat, bola matanya menatapku teguh dan sarat permohonan. Malam itu kami duduk berdua di depan layar televisi LED berukuran sangat besar di rumah mewah suaminya di Kemang, tepatnya satu minggu sebelum Amelia menjalani operasi caesar, yang pada akhirnya membuat sahabat terbaikku terkapar tak sadarkan diri selama 4 bulan lamanya.

Aku menahan gundukan isak di dadaku. Semenjak kehamilannya yang kian membesar, sudah kesekian kalinya Amelia mengucapkan permintaan yang sama dan selalu membuatku ingin menangis.

"Jangan katakan itu, Amelia. Kamu pasti sehat dan selamat. Proses persalinanmu lancar. Jantungmu akan baik-baik saja, tidak ada yang terjadi seperti yang kamu khawatirkan." Kepalaku tergeleng sembari mengerjapkan kelopak mataku beberapa kali, mengusir hawa panas yang mulai mengumpul di sudut mataku.

Ya Tuhan. Mengapa rasanya seperti kami hendak berpisah?

"_____ dan kamu harus menganggap Juna seperti anakmu sendiri." Bola mata Amelia kian kukuh memandangku.

Aku menunduk, tak mampu menatap mata Amelia. Kali ini air mata benar-benar sudah meluncur di kedua pipiku.

Sebenarnya sejak pertama aku mendengar permintaan Amelia, ada sedikit kekhawatiran yang menyelinap dalam hatiku. Kalau nantinya aku menjaga anak Amelia, bagaimana dengan Max, suaminya? Apakah pria tersebut mengizinkanku?

"Katakan padaku, Eva. Aku harus mendengarnya." Tuntut Amelia karena aku tak kunjung menjawab ucapannya.

"Ya, Amelia. Kamu bisa pegang ucapanku, tapi kamu juga harus berjanji padaku. Jangan menyerah. Demi Max dan tentu saja Arjuna Kamu pasti senang, bukan? Sebentar lagi kamu akan melihat Juna."

Amelia tak menjawab, ia hanya memberiku tatapan teduh namun aku merasa ia tengah berada di tempat yang begitu jauh.

Tatapan itu pula yang Amelia berikan padaku sesaat sebelum para perawat mendorong tubuhnya memasuki lorong menuju ruang operasi.

Aku tak pernah menduga itulah terakhir kalinya kami saling memandang penuh sayang.

Setelah Arjuna, anak yang ia nanti-nantikan berhasil dikeluarkan dengan sehat dan selamat, tetapi Amelia sendiri tak pernah membuka matanya sejak keluar dari ruang operasi.

Amelia.

Hatiku kembali terasa nyeri.

Flasback Off

Bunyi ping merenggut kesadaranku kembali hingga menyentuh bumi. Pintu alumunium di depanku terbuka. Aku bergegas menjejakkan kakiku di lantai 15. Sebuah petunjuk yang mudah terbaca mengarahkanku ke kantor Tuan Jeff. Kakiku kembali bergegas mengikuti arahnya.

Kantor yang aku tuju tidaklah terlalu luas, tetapi tampak efisien dan elegan. Dominasi warna krem dan kayu coklat tua begitu kental ketika tanganku mendorong pintu masuk yang terbuat dari kaca bertuliskan warna emas, Jeff Widiarto and Partners.

Seorang wanita muda dan berwajah cantik menyambutku dari balik meja resepsionisnya yang terbuat dari kayu dan berornamen mewah. Tulisan Jeff Widiarto and Partners yang tersemat anggun di atas dinding di belakang wanita cantik ini kembali menyapa mataku.

"Selamat sore. Saya Evangeline Genaya ingin bertemu dengan Tuan Jeff, saya sudah membuat janji sebelumnya." Aku menyatakan tujuanku dengan ringkas. Aku sudah terlambat satu setengah jam, bagiku itu hal memalukan!

"Baik. Silakan duduk, Nona Eva. Akan saya informasikan kedatangan anda kepada Tuan Jeff." Tangannya menyilakanku duduk di seperangkat sofa yang terlihat nyaman tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengangguk dan menunggu di situ.

Tidak sampai dua menit kemudian, resepsionis cantik ini sudah memintaku untuk mengikutinya.

"Tuan Jeff sudah menunggu anda, Nona Eva. Silakan."

Aku mengangguk, bangkit dari kursiku. Kakiku mengekor langkahnya menembus tempat kerja mereka.

Kami berdua melewati lorong dengan beberapa pintu kayu tertutup rapat dan berhenti di depan pintu kayu berwarna coklat gelap. Jemari wanita tersebut mengetuk permukaan kayunya sekilas lantas mendorongnya pelan.

"Selamat sore, Tuan Jeff. Nona Eva sudah tiba." Ia menoleh padaku dan memberi isyarat untukku masuk.

"Terima kasih." Aku mengangguk lantas mengayunkan tubuhku memasuki ruangan yang terasa lebih dingin daripada suhu di luar tadi. Kedua alas sepatuku langsung tenggelam di atas karpet tile bermotif kotak-kotak yang menutupi ruangan. Pertama yang menjadi perhatianku adalah buku. Di mana-mana. Sangat banyak dan berbanjar rapi di dalam rak.

"Nona Evangeline. Selamat datang. Saya Jeff Widiarto, notaris yang ditunjuk oleh teman anda, Nyonya Amelia." Tuan Jeff berdiri dari kursinya. Tangannya terulur untuk menyambut kedatanganku.

"Saya Evangeline Genaya, Tuan Jeff. Senang berkenalan dengan anda." Aku membalas genggaman Tuan Jeff yang hangat.

Mataku melihat satu set meja kayu tebal berbentuk oval dengan sofa panjang berwarna krem yang tampak bersahabat. Tangan Tuan Jeff mempersilakanku duduk di sana.

Aku meminta air mineral saat resepsionis cantik tadi bertanya padaku minuman apa yang aku inginkan sebelum menempatkan tubuhku di atas sofa. Tuan Jeff duduk di atas single sofa yang terletak di kepala meja.

"Sebelumnya saya turut berduka atas kematian sahabat anda, Nona Eva. Saya yakin anda pasti merasakan kehilangan yang teramat dalam." Wajah Tuan Jeff menunjukkan keprihatinan padaku. Dari balik kaca matanya, kedua bola mata kecilnya bersorot cerdas dan tajam.

Aku menunduk, memandang jari-jariku yang saling berkaitan di atas pangkuan. Mulutku bergeming sesaat karena wanita resepsionis tadi masuk dan meletakkan segelas air mineral di atas meja di depanku.

"Anda benar, Tuan Jeff." Balasku sesudah wanita tadi berlalu meninggalkan kami berdua lagi. "Saya sudah kehilangan satu-satunya sahabat terbaik saya. Saya mempunyai banyak teman, tapi hanya Amelia yang paling mengetahui dan memahami saya." Aku merasakan pandanganku sedikit mengabur.

Air mata sialan ini terancam jatuh dan meluncur di pipi. Aku mengumpat dalam hati, aku benci tampak lemah di depan orang lain.

"Maafkan saya, Nona Eva. Saya seperti mengingatkan kesakitan anda dengan datang ke tempat ini."

Aku menengadah dan menemukan kedua bola mata Tuan Jeff memandangku tulus.

"Tidak masalah, Tuan Jeff. Saya bisa memahami kalau ini adalah bagian dari pekerjaan anda. Dan mengenai surat wasiat itu____," aku menelan ludah, suaraku seolah tersekat di kerongkongan. "____ saya tidak mengerti mengapa Amelia meninggalkan surat wasiat pada saya. Saya menolong Amelia tulus dari lubuk hati seorang sahabat, saya tidak mengharapkan apapun. Amelia pasti tahu itu."

"Saya mengerti, Nona Eva. Mungkin maksud sahabat anda tidak seperti itu. Sebaiknya kita segera memulai prosesnya. Anda bisa menunggu sebentar, sementara saya mengambil berkasnya?"

Aku mengangguk patuh. "Tentu. Silakan, Tuan Jeff."

Hanya beberapa menit Tuan Jeff meninggalkanku, sekarang ia sudah kembali dengan membawa map berwarna coklat serta sebuah brankas portabel.

"Silakan anda baca dengan saksama, Nona Eva. Anda bisa menandatangani di sebelah ini." Tuan Jeff menyodorkan beberapa berkas, membacanya dengan cepat dan bisa segera memahaminya. Terakhir aku memberikan tanda tanganku.

"Dan ini.. yang harus anda terima." Dari dalam brankas tadi, Tuan Jeff mengeluarkan sebuah amplop dan langsung memberikannya kepadaku.

Amplop putih, tipis dan berukuran tidak terlalu besar. Namaku ditulis tangan dengan lengkap dan bertinta hitam di atas permukaannya. Aku langsung bisa mengenalinya.

"Tulisan Amelia." Bisikku, lebih pada diriku sendiri. Kenangan akan Amelia kembali menyerbu diriku. Dadaku seketika sesak, gumpalan isak segera terbentuk di sana dan bersiap naik ke atas kerongkonganku.

Tidak. Aku tidak boleh menangis.

"Memang sahabat anda yang menulisnya sendiri untuk anda. Sesuai apa yang ia nyatakan pada saat menyerahkannya pada saya."

"Boleh saya buka dan baca sekarang?" Aku menengadah untuk memandang Tuan Jeff. Mataku memang tidak berair tapi ujung hidungku pasti sudah memerah akibat isakku yang tertahan.

"Tentu saja, Nona Eva. Memang seharusnya anda baca, karena itu sudah menjadi hak anda."

Aku mengangguk. Sedikit gemetar menahan gelombang emosi kesedihan yang meluap di dada, jari-jariku merobek amplopnya pelan dan sangat hati-hati.

Degup jantungku menguat saat aku membuka lipatan surat Amelia, meluruskannya. Isinya tidak terlalu panjang. Aku mengeret oksigen sebentar masuk ke dalam paru-paruku, memejam mata lantas membukanya dengan cepat. Aku mulai meresapi isinya perlahan-lahan.

Aku merasakan hawa dingin mulai menggelenyar di sekujur punggungku. Entah dari penyejuk udara di dalam ruangan ini atau apakah dari isi surat Amelia.

Anehnya, telapak tanganku berkeringat sekarang.

Belum ada satu menit aku sudah selesai membacanya. Tidak percaya dengan mataku sendiri. Aku mengulanginya sekali lagi.

Terselip sebuah harapan nan kecil, aku sudah salah mencerna isinya.

Sayang, setiap kata yang Amelia tulis tidak berubah.

Oh, Tuhan..

Aku mengangkat wajahku, yang kuyakin sudah seputih kertas yang ada dalam genggaman tanganku. Bola mataku memandang horor ke arah Tuan Jeff.

"Tidak. Tidak mungkin. Amelia.. dia pasti sudah gila." Aku menggeleng kuat. Suaraku keluar bergelombang.

Tuan Jeff segera mencari sesuatu dari dalam brankas. Ternyata sebuah kertas, kemudian ia membacanya sebentar.

"Sahabat anda, Nyonya Amelia dalam keadaan sehat, sadar dan tidak dalam kondisi tertekan oleh siapapun dan dari pihak manapun, Nona Eva. Ia menyerahkan sendiri surat ini kepada kami, menandatanganinya di hadapan beberapa saksi." Tuan Jeff kembali melipat rapi jemarinya di atas pangkuannya. "Silakan diminum, Nona Eva. Anda terlihat begitu shock saat ini."

"Terima kasih. Sepertinya saya memang sangat membutuhkannya." Tanganku segera menyambar gelas air mineral di depanku, tanpa malu-malu menandaskan isinya segera.

Aku memejamkan mataku sebelum nafasku terhembus bersama kalimatku.

"Ini permohonan paling tidak masuk akal sepanjang saya bersahabat dengan Amelia, Tuan." Aku masih memandang shock di kedua mata Tuan Jeff. "Apakah Amelia memberitahu anda apa isinya?"

Tuan Jeff menggeleng tegas.

"Saya bisa meminta anda ikut membacanya?" Aku membutuhkan saran profesional dari seseorang seperti Tuan Jeff.

"Sepanjang anda izinkan saya untuk membacanya." Ia mengangguk sopan. Seperti kebanyakan teman-teman kantorku yang berhubungan dengan hukum, mereka selalu terstruktur dan tak pernah keluar rel. Kurasa Tuan Jeff juga seseorang yang sangat terorganisasi.

"Tentu saja saya izinkan. Saya membutuhkan saran anda, karena saya.. tidak mungkin menuruti permintaan Amelia." Aku menyerahkan selembar surat tersebut kepada Tuan Jeff yang langsung membacanya dengan saksama. "Tuhan, lelucon apa yang sedang Amelia lemparkan padaku?"

"Sahabat anda tidak sedang melucu, Nona Eva. Sepanjang tulisan tangannya, Nyonya Amelia melakukannya dengan penuh penekanan. Artinya dia sangat serius dan yakin sekali dengan isi tulisan ini yang sayangnya kita tidak tahu apa alasan dalam kepalanya saat itu." Menatap surat Amelia di tangannya, Tuan Jeff menelengkan kepala seolah berusaha menembus isi pikiran Amelia lewat tulisan tangannya.

"Saya tidak bisa, Tuan Jeff. Kalau Amelia meminta saya ikut menjaga Arjuna, mungkin mengunjungi, mengajaknya jalan-jalan, bermain, sepanjang mantan suaminya tidak keberatan, saya masih sanggup. Bahkan kalau sekarangpun Amelia meminta saya mengangkat Arjuna menjadi anak saya, akan saya lakukan segera. Tapi menikah dengan Max? Ya Tuhan. Tak pernah ada setitikpun terlintas dalam benak saya."

Tuan Jeff melipat lagi kedua tangannya, mata cerdasnya menatapku lembut dan bijak.

"Saran saya, sebaiknya anda mencari tahu apa sebenarnya yang menjadi rencana sahabat anda, Nona Eva. Mungkin anda bisa bertanya kepada orang-orang terdekatnya, atau bisa saja bertanya langsung kepada mantan suaminya. Saya yakin, sahabat anda sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar menjodohkan anda dengan mantan suaminya. Hanya itu yang bisa saya berikan kepada anda, Nona Eva."

Aku hanya bisa mengangguk dan pikiranku mendadak menjadi kosong di sepanjang perjalanan dari kantor Tuan Jeff ke apartemenku.

Sesekali mataku melirik shopper bag di mana surat Amelia tersimpan di dalamnya. Tanpa kusadari senyum kecut sudah menyembul dari bibirku.

Amelia, kamu sudah memberiku sebuah bom waktu!

Chương tiếp theo