webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
25 Chs

Interlude 03 : Jembatan dimana Mereka Berada - 02

Untuk yang kedua kalinya, mereka menodongkan senjata mereka kepada satu sama lain. Perbedaannya adalah, keduanya sudah berada di kondisi lelah dengan mana yang tersisa sedikit dan Hp yang sudah banyak berkurang.

Tapi—

"Wah wah, sungguh pertarungan yang sengit."

Mendengar suara tersebut, Sindy dan Cyra langsung tertegun. Saat mereka sadari, terdapat sebuah lingkaran sihir berwarna merah yang sudah menyelimuti setengah dari jembatan dan perlahan mendekati kaki mereka berdua.

"Boleh aku bergabung?"

Mereka langsung melompat menjauhi lingkaran sihir itu. Mereka tak tahu punya siapa atau apa efek yang akan tercipta bila mereka menyentuh lingkaran itu, namun insting mereka mengatakan untuk menghindari lingkaran itu bagaimanapun caranya.

"Siapa di sana?" Tanya Sindy sambil menodongkan pistol keduanya ke arah sumber suara.

"Oi oi, tak perlu kaku begitu. Aku hanyalah Prometheus yang bersahabat."

Orang yang menyebut dirinya Prometheus itu dengan santainya berjalan mendekati Sindy dan Cyra dengna lingkaran sihir berwarna merah itu mengikuti tiap langkahnya.

Melihat penampilan Prometheus, Cyra sontak mengabaikan Sindy begitu saja dan menodongkan panahnya ke arah Prometheus.

"Siapa kau? Kelasmu itu apa?" Tanya Cyra.

"Apa maksudmu? Dilihat dari armor yang dipakainya, jelas-jelas dia itu Knight, bukan?" Tegur Sindy.

Sindy tidak berbohong. Prometheus memakai full armor dari pelindung dada hingga sepatu dan sebuah jubah dengan tudung sebagai aksesoris. Ditambah lagi, pedang pendek di tangan kanannya membuat Sindy yakin seribu persen kalau kelas itu adalah kelas Knight. Karena berbeda dengan Sword Master yang bisa menggunakan long sword maupun short sword, Knight hanya bisa menggunakan short sword.

"Tidak, aku tidak yakin itu. Karena, sebelumnya aku sudah bertemu dengan seseorang yang memiliki kelas itu." Balasnya.

Sindy tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Karena mustahil pihak Bum Corp. bisa melakukan kesalahan seperti ini. Pasti ada, ada sesuatu yang ganjil.

Cyra juga merasakan hal yang sama. Karena dua kelas yang sama ini sudah terjadi sebelumnya. Kejadian ini membuat Cyra yakin kalau apa yang terjadi sebelumnya bukanlah kebetulan.

"Tidak, ini tidak mungkin sebuah kebetulan. Ini terlalu rapih untuk bisa disebut sebuah kebetulan." Gumam Cyra.

"Apa maksudmu...?" Tanya Sindy yang kebingungan atas gumaman Cyra.

"Sebelumnya aku juga sudah mengalami hal seperti ini. Situasi dimana aku bertemu dua orang dengan kelas yang sama."

"Apa katamu?!" Sindy langsung mengedarkan pandangannya ke Prometheus. Lelaki itu terus memperhatikan mereka seakan menunggu hingga percakapan antara mereka berdua selesai.

"Kelihatannya Safezone mulai menyempit kembali. Apa kalian sudah selesai?" Tanyanya sambil mendongkak memperhatikan lingkaran safezone.

"Kalau kalian sudah selesai...

Maka aku akan mulai menyerang!" Tanpa menunggu jawaban dari kedua lawannya, Prometheus menarik lingkaran sihirnya sambil berlari ke arah Sindy dan Cyra seperti serigala liar. Lingkaran sihir yang diserap tubuhnya melata bagai ular dan meresap pada tangan kirinya dan berubah menjadi sebuah perisai.

Sindy menembakkan beberapa peluru ke arahnya, tapi Prometheus dengan mudahnya menepisnya dan berlindung dari peluru lain yang akan datang dengan menggunakan perisanya.

Disaat yang sama Cyra melompati Prometheus dan menembakkan sebuah panah ke titik butanya. Cyra yakin kalau serangannya seratus persen akan berhasil mengenainya, namun Prometheus berhasil menghindar dengan cara mundur satu langkah dari lokasinya semula.

"Ck—! Open the Seal : Triple Wind—"

Disaat Cyra hendak menarik ketiga anak panah untuk ditembakkan, dia mendapat pemberitahuan kalau mana yang dia miliki tak cukup untuk mengeluarkan skill miliknya.

"Padahal tadi mana-ku masih tersisa cukup banyak....

Apa aku salah lihat?"

Cyra yakin sekali kalau mana yang dimilikinya cukup untuk mengerahkan setidaknya satu atau dua Triple Wind Arrow.

Selagi Cyra teralihkan, Prometheus mendaratkan tendangan tepat di perutnya hingga membuat Cyra terpental menabrak pagar jembatan.

Prometheus berlari mendekati Cyra yang terkapar lemas dengan tangan kanannya yang menggenggam erat pedangnya. Menyadari itu, Cyra bergegas bangkit lalu melompat menghindari ayunan pedang Prometheus.

"Open the Seal : Fire Bending – Bind." Prometheus melemparkan perisainya tepat di bawah lompatan Cyra. Perisai itu berubah menjadi sebuah lingkaran sihir dan mulai bercahaya. Saat cahayanya meredup, Cyra langsung terhisap ke bawah—terhisap oleh lingkaran sihir itu bagai ditarik oleh sebuah energi gravitasi yang sangat kuat.

Sementara Cyra berusaha bangkit dari tarikan energi Bind, Prometheus sudah muncul di hadapannya dengan pedangnya yang sudah berada di posisi siap menyerang. Pertama ia memukul perut Cyra dengan gagang pedangnya lalu mengayunkan pedangnya sekuat tenaga.

Tak berhenti disitu, Prometheus memberikan serangan yang begitu keras dengan menggunakkan permukaan perisai ke duanya. Serangan tersebut begitu kuat sampai membuat Cyra terlepas dari skill Bind. Tubuhnya terlempar lepas di udara hingga berputar selama dua kali sampai akhirnya mendarat keras di permukaan jembatan. Selama itu busurnya terlepas dari genggamannya dan terjatuh lumayan jauh dari dirinya.

Saat Cyra mengangkat wajahnya, hal pertama yang dilihat bola matanya adalah ujung pedang milik Prometheus. Sontak, dia menendang pedang itu dan melompat menangkap busurnya dan menembakkan dua panah. Lagi-lagi, panah itu tak berhasil mengenai Prometheus yang berlindung dibalik perisainya.

Pertarungan itu terus berlanjut dengan Cyra yang terus menerus menyerang Prometheus namun gagal sementara serangan Prometheus selalu berhasil menyerngnya. Sungguh pertarungan yang berat sebelah.

"Apa yang terjadi....?" Tanya Sindy kepada dirinya sendiri.

Karena jarak antara dirinya dengan pertarungan Cyra dan Prometheus lumayan jauh, dia tak bisa mendengar percakapan yang terjadi antara mereka berdua. Namun melihat Prometheus dengan mudahnya mengalahkan Cyra terasa seperti melihat sepatu bot yang menginjak semut.

Cyra sama sekali tak berdaya di hadapan Prometheus. Seakan Prometheus adalah musuh alami dirinya. Kegesitan, serangan dan triknya tak berguna dihadapan Prometheus. Dia benar-benar dilumpuhkan.

Saat melihat itu, Sindy merasa ragu. Dia ragu kalau dia bisa melawan Prometheus. Dia bahkan bisa membayangkan sosok dirinya saat melihat Cyra yang sedang bertarung melawan Prometheus.

Saat dia sadari tangannya mulai gemetar dan pandangannya tak bisa fokus.

Di pikirannya hanya ada satu pertanyaan;

Apakah bisa dirinya mengalahkan sepatu but sebesar itu?

Tidak.

Jawabannya sudah jelas. Persentasinya untuk bisa menang melawan Prometheus lebih rendah dari lima puluh persen.

Pilihan yang logis untuk saat-saat seperti ini adalah pergi meninggalkan tempat ini lalu mencari peserta lain untuk dilawan. Seperti apa yang diucapkan saat presentasi pembuka turnamen. Bila diakhir turnamen terdapat lebih dari satu peserta, maka pemenangnya akan ditentukan dari skor yang mereka punya, yaitu jumlah lawan yang dikalahkan.

Bila mengambil pilihan itu, yang harus Sindy lakukan hanyalah mengalahkan peserta lain untuk mendapatkan poin sebanyak-banyaknya lalu bertahan hingga turnamen selesai.

Namun melihat total peserta yang tersisa, hampir mustahil untuk melakukan itu semua. Apalagi Sindy yakin kalau setidaknya Prometheus telah mengalahkan satu atau dua peserta lainnya.

Apa yang sebaiknya Sindy lakukan?

Sindy tak bisa berpikir lagi. Apapun ide yang muncul di kepalanya hanya akan berakhir pada jalan buntu.

"Apa tidak ada jalan lain....—"

Aaahh, aku kalah!

Maaf, ternyata aku sendiri takkan sanggup mengalahkan mereka sekaligus.

Kata-kata yang mengalir di pikirannya itu langsung membawa perasaan nostalgis. Dirinya langsung ingat saat-saat itu, saat dimana anak itu dengan mudahnya memalsukan kekalahannya.

Sebuah kebohongan yang lembut nan baik. Begitu lembut hingga dapat membuat seorang anak perempuan tersenyum karena menyadari kebaikan dibalik kebohongan itu.

Ingatan hangat itu langsung menghapus semua ketegangan dan kerisauan di pikirannya seakan membawa angin baru yang sejuk.

"Kata-kata itu..." Perlahan, Sindy tersenyum lembut.

Kalau diingat-ingat, kata-kata itu mungkin alasan mengapa Sindy terus mengikuti pertandingan game seperti ini. Untuk mendengar kata-kata itu lagi—untuk mendengar suara itu lagi—untuk bisa bertemu dengan dirinya lagi lah alasan bagi Sindy untuk terus melangkah maju di turnamen ini.

Sejak dulu hal itu tidak pernah berubah.

"Sepertinya aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang..."

Kebohongan lembut itu mungkin hanya sebuah serpihan ingatan miliknya. Namun kebohongan itu bukanlah kebohongan bila Sindy mengubahnya menjadi kenyataan.

Kalau Sindy tak bisa mengalahkan Prometheus sendirian, maka dia hanya perlu mengalahkannya bersama dengan orang lain.

Sindy menarik napas dalam-dalam lalu memperhatikan tiap detik pertarungan yang terjadi antara Prometheus dan Cyra.

"Tenang, perhatikan dan telaah lah alasan mengapa Cyra bisa kalah dengan mudah.

Pertama, hal yang paling menggangguku adalah saat dimana Cyra berhenti untuk mengeluarkan skill Triple Wind Arrow-nya. Kenapa dia melakukan itu? Apakah ada sesuatu yang menyebabkannya berhenti?" Sindy bermonolog.

Hal lain yang menarik perhatian Sindy adalah kenyataan kalau Cyra sama sekali tak mengerahkan satupun Skill sejak melawan Prometheus.

"Apakah terjadi sesuatu pada mananya—" Saat Sindy melirik mana-bar miliknya, dia menyadari kalau mananya perlahan-lahan semakin berkurang. Meskipun dia tidak melakukan apapun, mananya semakin berkuran tiap detik.

Hal itu mengingatkannya pada satu hal, satu hal penting yang terjadi disaat Prometheus pertama kali menghampiri dirinya dan Cyra.

"Begitu rupanya...!"

Sindy berlari memasuki pertarungan lalu menembakkan seluruh peluru yang dimilikinya kepada Prometheus. Dua peluru miliknya berhasil melukai Prometheus sementara yang lainnya berhasil dihindarinya.

Prometheus dan Cyra terhenti sesaat setelah melihat Sindy yang berjalan mendekati mereka. Serangan sederhana yang sebelumnya dilakukan oleh Sindy berhasil menarik perhatian mereka berdua.

"Skill itu—skill pertama yang kau gunakan saat menghampiri kami berdua. Lingkaran sihir itulah yang menyebabkan mana kami berdua terus teruras, bukan? Kami mungkin tak melihat saat-saat dimana skill itu menyentuh kaki kami berdua, namun kau bisa saja memundurkan skill itu setelah menyentuh kaki kami dan membuat kami mengira kalau skill itu tak menyentuh kami. Apa dugaanku salah?"

Sindy menodongkan pistolnya ke Prometheus dan mencoba menanyakannya secara langsung. Meskipun kedoknya sudah terungkap, Prometheus masih nampak begitu santai.

Namun diamnya Prometheus bisa dianggap sebagai jawaban "ya". Dia tidak membantah maupun mengelak.

Itu artinya apa yang Sindy ucapkan ada benarnya.

"Jadi alasan mengapa mana-ku terus berkurang adalah...." Cyra menyondongkan tubuhnya ke depan dengan penuh semangat setelah mendengar penjelasan Sindy.

"Ya, itu semua efek dari skill miliknya. Meskipun aku tak tahu sampai berapa lama skill itu akan bertahan. Yang harus kulakukan untuk melawan efek skill ini adalah dengan mengisi ulang mana-ku selagi melawanmu." Selagi menjelaskan, Sindy meminum sebuah mana potion hingga kapasitas mana-nya penuh kembali.

"Wah, wah. Prok, prok, prok. Terima kasih tuan detektif atas deduksinya. Dugaan mu itu tepat sekali." Balas Prometheus dengan tepukan tangan dan tiap kata yang penuh dengan sarkasme.

"Terus kenapa? Apakah mengetahui itu akan membantu kalian untuk menang melawanku?" Sambungnya.

"Entahlah, apa kau ingin mengetesnya?" Sindy membalas perkataan Prometheus dengan dingin lalu mengangkat kedua pistolnya.

"Open The Seal : Storm Bullet!" Dengan cepatnya Sindy menembakkan Storm Bullet. Prometheus yang berusaha menahan serangan itu dengan perisainya gagal karena perisainya rusak akibat tak sanggup menahan skill milik Sindy.

Saat itu, untuk pertama kalinya serangan telak berhasil mengenai Prometheus.

Masih terhuyung-huyung, Prometheus berlari mengambil perisai yang sebelumnya ia ubah menjadi skill Bind.

"Takkan kubiarkan!" Cyra bergegas menembakkan panah-panahnya ke arah Prometheus. Beberapa panahnya berhasil ditepis dengan pedang Prometheus, namun sisanya menancap di kaki dan punggungnya.

Meskipun terjatuh, Prometheus berhasil menangkap perisai utamanya dan menepis serangan-serangan yang diluncurkan Cyra dan Sindy. Dia menyarungkan kembali pedangnya lalu mengambil perisai lain dari inventory-nya.

"Open the Seal : Fire Bending – Tridant!"

Perisai di tangan kanannya langsung mengubah bentuknya menjadi seperti lelehan besi berwarna merah membara yang panas. Tak lama, lelehan besi itu mengambil wujud seperti tombak garpu trisula yang panjang dengan tiga mata tombak yang lancip, tajam dan panas membara.

Bahkan permukaan tombaknya nampak seperti lelehan magma segar yang baru saja keluar dari perut bumi.

Prometheus melemparkan tombak itu ke arah Cyra . Karena Cyra yang jauh lebih gesit, dia berhasil menghindari tombak itu dengan mudah.

Namun awan badai sudah menunggu di belakangnya.

Selagi Cyra sibuk menghindari trisula pemberian Prometheus, sosok Prometheus sendiri sudah memprediksi arah dimana Cyra menghindar dan menunggu kedatangannya.

"Sial—!!" Cyra menengok lalu mengambil satu panah lalu langsung menembakkannya ke arah Prometheus.

Prometheus mengubah perisai utamanya menjadi trisula lalu mengayunkannya ke arah Cyra.

Trisula tersebut berhasil menggores pundak kiri Cyra sebelum Cyra sempat mengantisipasi serangannya.

Menahan rasa sakit dari goresan itu, Cyra menembakkan sebuah panah ke arah Prometheus. Panah itupun berhasil membolongi pundak kiri Prometheus yang menggenggam trisula yang digunakan untuk melukainya.

Namun, Prometheus mengabaikan luka itu dan tidak membalas serangan Cyra. Yang dia lakukan adalah mengangkat tangan kanannya selurus dengan pundaknya lalu mengepalkan telapak tangannya seakan menangkap sesuatu.

Tingkah laku Prometheus yang ganjil itu tidak dipedulikan oleh Cyra. Dikarenakan, bila dia menembakkan Triple Wind Arrow tepat di wajah Prometheus, maka pertarungan ini akan langsung selesai.

Dengan gesit Cyra mengambil tiga anak panah dari Quiver-nya, menaruhnya di busur lalu menariknya sekuat tenaga.

"Open the Seal : Triple Wind Arro—"

"Cyra, di belakangmu!" Sindy menembakkan beberapa peluru kepada tangan kanan Prometheus, membuat tangannya langsung terpental mengikuti arah berjalannya peluru.

Cyra menengok ke belakang mengikuti peringatan Sindy. Benar saja, trisula yang beberapa menit yang lalu dihindari olehnya ternyata berbelok ke arahnya mengikuti aba-aba yang diberikan tangan kanan Prometheus.

Berkat peringatan dari Sindy, Cyra berhasil menghindari trisula itu dengan mundur melompatinya dan mendarat tepat di sebelah Sindy.

Bila saja Sindy tidak memperingati Cyra, pasti saat ini dia sudah berubah menjadi sebuah donat.

Trisula yang sebelumnya melesat ke arah Cyra berhasil ditangkap oleh Prometheus. Meskipun tangan kananya terluka, arah serangan dari trisula tersebut tidaklah berubah.

Setelah menangkap trisula miliknya, dia berjalan menghampiri pagar jembatan lalu bersandar di atasnya. Kedua trisulanya dia taruh di sebelahnya sementara dirinya mencabut panah di pundak kirinya lalu meminum beberapa ramuan penyembuh.

Dia nampak tak terganggu dengan apa yang baru saja terjadi. Sekaan dia sudah menduga kalau Sindy akan memberitahu Cyra akan bahaya yang mendekatinya.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku... Tapi kenapa?" Tanya Cyra.

Bagaimanapun juga, mereka adalah musuh. Tak ada alasan bagi mereka untuk menolong satu sama lain.

"Jawabannya mudah, saat ini sangat mustahil bagiku maupun kau untuk menang melawannya satu lawan satu. Meskipun kita bisa mengisi ulang mana kita, itu saja tidak akan cukup. Yang kita butuhkan saat ini adalah kerja sama tim." Balas Sindy sambil mengisi ulang amunisi pistolnya.

"Itu mungkin benar, tapi menurutku berandalkan kerja sama tim saja takkan cukup untuk mengalahkannya. Kita butuh rencana."

Sindy tersenyum optimis lalu membalas;

"Kalau rencana, aku punya satu...."

Sementara Sindy dan Cyra merencanakan sesuatu, Prometheus hanya duduk santai di atas jembatan sambil memandang langit biru yang mulai bercampur dengan cahaya keemasan.

Di langit tersebut terbentang sebuah batas berwarna ungu yang melingkar melingkari dirinya. Batas bernama Safe Zone itulah yang membuat peserta bisa bertemu dengan peserta lainnya. Dan saat ini, batas itu sedang mengecil perlahan demi perlahan.

"Waktunya semakin menyempit..." Gumamnya yang lalu menyenandungkan lagu Ode To Joy karangan Beethoven. Dia mengingat tiap alunan dari lagu itu, iramanya dan iringan alat musiknya. Alunan biola yang halus dan indah terbayang jelas di luar kepalanya.

Saat dia sadari dia sudah mengangkat kedua tangannya lalu mengayunkannya seperti seorang maestro.

Sebuah panggung megah membentang luas di dunia dimana matanya tertutup. Tirai merah yang lebar, aroma kayu yang semerbak dan cahaya lampu sorot yang dengan kontrasnya menerangi ruangan bisa dia rasakan.

Semua itu terus berlanjut hingga gesekan akhir biola yang menutup pentas.

"Apa kalian sudah selesai?" Tanya Prometheus saat membuka kedua matanya.

Sindy dan Cyra yang sebelumnya sibuk mengatur rencana mereka langsung terpancing oleh kata-kata Prometheus.

"Bagaimana...? Apa kau bisa melakukannya?" Tanya Sindy.

"Ya... meskipun rencana ini sedikit ceroboh, tapi aku tak keberatan bila itu bisa mengalahkannya." Balas Cyra penuh percaya diri.

"Kalau kalian sudah selesai, maka aku akan memulainya!" Tanpa menunggu jawaban dari Sindy maupun Cyra, Prometheus langsung melemparkan sebuah trisula ke arah mereka berdua.

Akibatnya, mereka terpencar ke dua arah yang berlawanan demi menghindari terisula tersebut. Melihat trisulanya yang meleset, Prometheus langsung mengangkat tangan kanannya setinggi bahunya lalu mengepalkannya untuk menarik kembali trisula yang dia lempar.

"Sekarang!" Perintah Sindy yang lalu mulai menembaki Prometheus. Begitu pula Cyra, mereka berdua terus menghujani Prometheus dengan serangan tiada henti.

Tiada ampun dan tiada waktu untuk bernapas, serangan itu terus-menerus menghujani Prometheus yang baru saja menangkap trisulanya.

Meskipun terkena beberapa serangan, tak butuh waktu lama bagi Prometheus untuk mengendalikan situasi dengan cara menepis tiap serangan yang diberikan padanya.

Dengan ayunan kedua trisulanya, dia terus bertahan. Tiap ayunan dan tiap gerakan tidak ada yang sia-sia—semua ayunan berhasil menepis tiap serangan dari Sindy dan Cyra.

Ctik—

Suara pelatuk yang menembakkan amunisi kosong berbunyi. Mau tidak mau, Sindy harus segera mengisi ulang pelurunya atau serangan mereka akan terhenti.

"Cukup, aku sudah bosan!"

Setelah melihat kesempatan untuk menyerang, Prometheus berbelok ke arah Sindy lalu melemparkan trisula di tangan kirinya. Dua detik kemudian, dia menepis panah Cyra lalu berputar seratus delapan puluh derajat untuk melemparkan trisula di tangan kanannya.

Kedua trisula dilemparkan di waktu yang hampir bersamaan namun di kedua arah yang berlawanan.

Tentu saja, Cyra maupun Sindy dapat menghindari serangan itu dengan mudah.

Mereka bahkan bertanya-tanya mengapa Prometheus mau repot-repot melakukan serangan yang tidak ada artinya ini.

Sesaat setelah selesai mengisi ulang amunisinya, Sindy berniat untuk langsung melanjutkan serangannya—Namun, kuda-kuda yang diambil Prometheus membuatnya menahan dirinya.

"Transport!"

Dalam sekejap mata, kilatan api menjilat permukaan kayu jembatan. Jilatan yang berasal dari lingkaran sihir yang tercipta di sekitar kaki Prometheus itu langsung mengubahnya menjadi arang panas.

Saat Sindy mengedipkan kedua matanya, sosok Prometheus sudah berada di hadapannya dengan menggenggam trisula yang sebelumnya dia lempar ke arahnya.

Seakan Prometheus berpindah tempat ke lokasi di mana trisulanya berada.

"Gawat—!!"

Ketika Sindy mengarahkan pistolnya ke Prometheus, Prometheus langsung menepisnya dengan tangan kirinya lalu mengayunkan trisula di tangan kanannya. Dia jatuhkan ayunan penuh dari serong kiri bawah ke kanan atasnya yang langsung merobek sekaligus menghanguskan perut hingga pundak Sindy.

Tak berhenti sampai disitu, Prometheus menusuk pundak Sindy lalu mengayunkannya hingga membuat tusukan itu terlepas dan melempar Sindy jatuh dari jembatan.

"Sisin!" Teriak Cyra penuh khawatir.

"Teleport!"

Tak menyisakan waktu bagi Cyra untuk menarik panah di busurnya, Prometheus langsung berpindah tempat ke trisula yang dia lemparkan kearah Cyra.

"Apa—"

Cyra membeku penuh kebingungan.

Padahal belum berseling lima detik sejak dia mengeluarkan skill Teleport-nya, namun dia sudah bisa melakukannya lagi seakan sama sekali tak ada jeda cooldown.

"Tch—!"

Tak ada waktu untuk berpikir.

Cyra langsung menembakkan panahnya ke arah Prometheus, jarak antara mereka berdua sangatlah dekat, Cyra yakin bahwa kecil kemungkinan Prometheus sanggup menghindari panahnya.

Namun takdir berkata lain.

Prometheus langsung mencodongkan bagian atas tubuhnya ke belakang bak tokoh-tokoh di film Hollywood. Condongan tubuhnya hampir membuatnya mencapai posisi kayang. Akibatnya panah yang ditembakkan Cyra hanya bisa menyentuh helaian rambutnya tanpa bisa melukainya.

Setelah itu, Prometheus berusaha menyerangnya dengan ayunan trisulanya namun berhasil diatasi oleh Cyra dengan menendang tangannya.

Pertarungan antara keduanya terus berlanjut dengan Cyra yang terus menerus menembaki Prometheus. Namun jumlah panah yang berhasil mengenainya dapat dihitung dengan jari.

Seiring berjalannya pertarungan, tekanan yang diberikan oleh Prometheus secara tak langsung membuat Cyra terus mundur hingga akhirnya mereka bergerak ke tengah jembatan.

Selama itu banyak panah yang terbuang sia-sia. Panah-panah itu berserakan di sekujur jembatan bak jamur. Seperti sebuah taman bunga, kau bisa memetik tangkainya kapapun kau mau. Bedanya, bunga di sini bukanlah "bunga" melainkan "panah."

Di satu titik pertarungan mereka, Prometheus berhasil menggores tangan Cyra saat Cyra hendak menarik panahnya dan membuat panah yang digenggamnya terlepas. Memanfaatkan momen itu, Prometheus langsung menodongkan ujung trisulanya tepat ke tenggorokan Cyra untuk menghentikan gerakannya.

"Kurasa aku terlalu berharap tinggi padamu. Apa kau memang seceroboh itu sampai membuang-buang panahmu dengan percuma?" Tanya Prometheus yang mengedarkan pandangannya ke seluruh jembatan yang dipenuhi oleh anak panah.

Cyra tersenyum kecut.

Senyuman itu bukan dikarenakan dirinya yang sedang putus asa, namun dikarenakan dirinya yang merasa sedih mendengar betapa ironisnya kata-kata yang keluar dari dalam mulut Prometheus.

"Seharusnya aku yang berkata begitu. Apa kau memang seceroboh itu sampai tak menyadari-'nya'?"

Cyra dengan lantangnya bertanya balik kepada Prometheus. Senyuman kecut di wajahnya berubah menjadi sebuah senyuman rubah yang penuh tipu daya.

Seakan Cyra sudah menunggu momen-momen ini sejak awal pertarungan.

"Sial, jangan-jangan—" Sekali lagi, Prometheus dengan agresifnya mengedarkan pandangannya ke seluruh jembatan.

Menyadari Prometheus yang lengah, Cyra langsung menendang trisula yang diarahkan ke tenggorokannya lalu melompat setinggi yang ia bisa.

"Open the Seal : Triple Wind Arrow!"

Tiga panah—di tiga lokasi yang berbeda langsung mengeluarkan hembusan angin yang menyayat apapun di sekitarnya.

Hembusan angin yang keluar dari ketiga anak panah itu langsung memotong panah, merusak jembatan dan memenuhinya dengan sayatan. Lokasi dimana ketiga panah itu berada begitu stategis hingga sampai ke titik dimana tidak ada yang bisa menghindarinya bila terus berada di atas jembatan.

Dengan kata lain, area dimana ketiga panah itu aktif adalah seluruh permukaan jembatan.

"Kh...—!" Prometheus berusaha berlindung dibalik kedua tangannya dari hembusan angin. Meskipun begitu, hembusan itu berhasil memenuhi tubuhnya dengan luka sayatan.

Bila terus begini, Prometheus hanya akan menjadi samsak hidup.

"Sial.... Hanya ada satu pilihan ya..." Prometheus memandang kedua trisulanya selama sesaat, lalu berbalik menghadap sungai.

Satu-satunya pilihan baginya untuk menghindari krisis ini adalah dengan melompat turun dari jembatan.

Sambil menahan rasa sakit akibat sayatan yang terus tercipta di punggungnya, Prometheus berlari menuju pagar jembatan lalu melompatinya.

Sesaat setelah dia melompat, perhatiannya langsung menangkap gerak-gerik Cyra. Dikarenakan kelas yang dimiliki Cyra adalah Archer, dia mampu melompat begitu tinggi, karena itulah butuh waktu lebih lama baginya untuk mendarat dibanding kelas biasa.

Cyra yang masih terbebas di udara mengambil sebuah panah yang lalu diikatkan dengan sebuah tali yang terikat langsung dengan tubuhnya. Panjang tali itu tidak begitu panjang, juga tak begitu pendek.

Setelah selesai mengikatkan tali di panahnya, Cyra langsung menembakkan panah itu ke sisi samping jembatan.

Saat itulah, Prometheus sadar atas rencana mereka. Namun saat dia sadar, semuanya sudah terlambat.

Sindy yang menggantung di samping jembatan setelah menangkap pagar disaat dirinya terpental akibat serangan Prometheus langsung mengarahkan pistolnya ke sungai.

Pistol langsung dipenuhi aliran listrik yang kemudian terkumpul di dalam peluru.

"Open the Seal : Storm Bullet!"

Sindy menarik pelatuk, peluru-peluru dilontarkan dari dalam rongga pistol. Melesat lurus memasuki aliran sungai yang deras—peluru-peluru itu langsung mengalirkan aliran listriknya ke seluruh area sungai.

Tak butuh waktu lebih dari dua detik hingga aliran listrik itu mengaliri seluruh area sungai.

Sindy menyadari satu hal; disaat Triple Wind Arrow diaktifkan, Prometheus tidak menggunakkan skill teleport-nya seperti apa yang dia lakukan sebelumnya. Padahal dengan skill itu dia bisa dengan mudah menghindari serangan Cyra tanpa harus repot-repot melompat ke sungai. Namun dia tak melakukannya.

Hal ini membuat Sindy jatuh pada satu kesimpulan, yaitu skill itu hanya bisa dilakukan sekali pada tiap trisula yang dia genggam.

Selain itu, Prometheus juga tak bisa memanggil lebih dari dua trisula. Sindy yakin kalau masing-masing trisula yang dia pakai pasti menguras banyak mana-nya, karena itulah mustahil baginya untuk memakai lebih meskipun menyerap mana pemain-pemain lain di sekitarnya.

Dan semua itu mencapai pada titik ini. Titik dimana Prometheus takkan bisa menghindari serangan yang datang padanya, Skak Mat.

Saat ujung kakinya menyentuh sungai, aliran listrik yang mendiami sungai langsung mengalir naik hingga ujung rambutnya. Ujung kuku kaki hingga ujung rambutnya dialiri listrik, tubuhnya membeku tak berdaya mengeluarkan aroma seperti daging sapi yang dipanggang.

Kulitnya penuh luka bakar, dan rambutnya kusut seperti habis dibakar. Prometheus pun terjatuh lemas di sungai setelah aliran listrik yang mengalirinya mereda.

Setelah situasi mereda, Sindy melepaskan genggamannya dari pagar jembatan untuk melompat turun ke sungai. Demi memastikan kekalahan Prometheus, mau tak mau dia harus menghampiri tubuh Prometheus yang terbaring di seberang sungai.

"Sepertinya sudah berakhir...." Ujar Sindy melihat tubuh Prometheus yang terbaring lemas.

Jarak antara mereka berdua hanya dipisahkan oleh sebuah jembatan. Untuk menghapirinya, Sindy harus berjalan melalui lorong yang ada di bawah jembatan.

Mengikuti derasnya arus air sungai, Sindy mendorong kakinya perlahan mendekati tubuh yang lemas itu. Memasuki lorong di bawah jembatan, suara riak air dan langkah kakinya menggema semakin kencang.

Sindy bahkan hampir tak bisa mendengar suara gesekan dedaunan yang ditiup angin karena begitu kencangnya suara yang dipantulkan di lorong bawah jembatan.

Meskipun begitu, Sindy tak bisa melemahkan pengawasannya. Meski Prometheus terbaring lemah, dia belum dikalahkan sepenuhnya.

Setidaknya masih ada sekitar beberapa persen lagi Hp-bar yang dia miliki. Sindy harus segera menghabisinya sebelum dia bangkit kembali.

Disaat Sindy hendak mengangkat pistolnya dan menarik jarinya mendorong pelatuk, Prometheus tertawa. Tawanya begitu kencang dan liar sampai-sampai tenggorokannya terasa sakit dan membuatnya nyaris tercekik.

"Ya, ini sudah berakhir." Dengan segala tenaga yang tersisa, Prometheus berusaha bangkit kembali.

Dor.

Sindy menembak tangannya hingga membuat Prometheus kembali tersungkap ke dalam sungai.

"Selanjutnya aku pastikan akan melubangi kepalamu." Ancam Sindy.

Prometheus kembali tertawa.

"Apa kalian masih belum menyadarinya?

Apa kalian benar-benar berpikir kalau aku tak mempredikisi ini semua?" Tanya Prometheus.

"Apa maksudmu—"

"Di mana kedua trisula—Dimana kedua perisaimu?"

Tanya Cyra yang langsung memotong pertanyaan Sindy.

Berkat posisi Cyra yang berada tepat di atas Prometheus, dia bisa melihat lebih jelas kondisinya. Pada awalnya Cyra tak menyadarinya, namun karena Prometheus berkata seperti itu, Cyra langsung sadar akan keganjilan ini.

Kedua perisai yang merupakan senjata milik Prometheus, menghilang.

Kedua tangan Prometheus tak dipersenjatai apapun. Baik perisai maupun trisulanya menghilang, lenyap begitu saja.

"Apa—?" Dengan sigap Sindy langsung mengangkat pistolnya dan membidik kepala Prometheus.

Setelah Sindy perhatikan, Cyra benar. Kedua tangan Prometheus tak menyentuh apapun, kosong tak dipersenjatai.

Tidak mungkin senjatanya masuk kembali ke dalam inventory-nya setelah Prometheus terkena serangan kejutan listrik tadi. Kalau memang begitu hal yang sama akan terjadi tiap kali pemain lainnya terkena efek stun. Tapi tidak, bukan begitu cara kerja penyimpanan senjata.

Seharusnya kedua senjatanya—trisulanya tetap berada di genggamannya atau jatuh di sekitarnya, namun kali ini kedua senjata itu menghilang.

Prometheus tertawa sekali lagi.

"Ternyata pepatah memang benar.

Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak." Ujar Prometheus yang perlahan bangkit sambil mengangkat kedua tangannya yang kosong.

"Gajah—?"

Disaat Cyra hendak bertanya, kedua matanya menangkap sesuatu.

Sebuah perisai, menancap tepat di sebelahnya bagai jamur yang tumbuh di cela bebatuan.

Tak lama kemudian perisai itu bercahaya, terbakar bagai arang di tungku perapian. Arang yang membara itu lalu meleleh bagai logam lalu menyatu dengan permukaan kayu yang ditancapinya.

"Oh tidak—!"

Dengan gesitnya Cyra berusaha melepas tali yang mengikat perutnya. Namun sudah terlambat, cahaya berpancar dari dalam permukaan kayu. Cahaya berwarna merah itu lalu berubah menjadi sebuah lingkaran sihir yang ukurannya lebih besar dari ukuran tubuh Cyra.

Lingkaran sihir itupun langsung menarik tubuhnya bak pusat gravitasi. Tubuhnya, Kedua tangan dan kakinya serta kepalanya tak bisa terlepas dari lingkaran sihir itu, mau seberapa kuatpun dia menariknya.

Bahkan tali yang mengikatnya ikut menempel bersama tubuhnya.

"Skill ini... Bind...?!" Ujar Cyra yang masih berusaha menarik tangannya.

"Cyra, ada apa?" Tanya Sindy.

Dikarenakan dirinya yang masih berada di lorong bawah jembatan, Sindy tak bisa melihat kondisi Cyra. Namun dia bisa mendengar dengan jelas suara benda yang dengan kasarnya bertubrukan.

Seakan benda itu ditarik secara paksa hingga menabrak sebuah objek.

Menyadari sesuatu yang tak beres, Sindy langsung kembali membidik kepala Prometheus lalu menembaknya.

Tetapi tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan hingga menyebabkan hampir semua tembakannya meleset. Disaat kaki kirinya ditarik, rasanya seperti ada sesuatu—sebuah energi yang sangat kuat hingga membuat kakinya tak bisa diangkat kembali.

"Apa yang...." Sindy terus berusaha menarik kakinya, namun tak bisa.

Tak lama kemudian, dia menyadari sebuah cahaya berwarna merah yang berasal dari tempat dimana kakinya berpijak. Cahaya berwarna merah yang berasal dari dasar sungai itu mulai mendidihkan air di sekitarnya sebelum akhirnya berubah menjadi sebuah lingkaran sihir yang besarnya hampir menutupi seluruh lorong jembatan.

"Ga—"

Sebelum Sindy selesai dengan kata-katanya, lingkaran sihir itu langsung menarik tubuhnya ke dalam sungai. Tarikannya begitu kuat hingga membuatnya tersungkup ke dalam sungai.

Saat itu, dia bisa merasakan aliran sungai membasahi sekujur tubuhnya dan memasuki telinga serta mulutnya. Napasnya juga terasa sesak dikarenakan rongga hidungnya yang dimasuki air.

Sindy berusaha mengangkat kembali tubuhnya, namun tak berhasil. Tiap usaha yang dia lakukan selalu berbuah gagal. Hasil terbaik yang bisa dia lakukan hanya menggerakkan kepalanya hingga menghadap ke depan untuk melihat sosok Prometheus.

Di hadapannya, Prometheus menurunkan kedua tangannya dengan lembut. Sosok yang penuh dengan luka bakar itu terlihat begitu percaya diri. Sejak awal dia tak punya apapun untuk dikhawatirkan, semuanya berjalan sesuai apa yang dia harapkan.

Dia sudah menduga kalau mereka akan mencoba mengalahkannya dengan menyetrumnya di sungai, namun dia juga sudah menduga kalau itu takkan cukup untuk menghabisinya sehingga memberinya cukup waktu untuk menangkap mereka.

Dengan senyuman lebar di wajahnya, sosok Prometheus berjalan menghampiri Sindy. Kedua kakinya yang basah mendorong melawan arus sungai yang deras. Suara riak air semakin kencang tiap kali dia mendorong kakinya melawan arus.

Saat sosoknya sudah berdiri di hadapan Sindy, Prometheus berlutut lalu menatap Sindy yang bertelungkup tak berdaya di dasar sungai yang cetek ini.

"Pertarungan ini dimenangkan olehku, Tuan Detektif."

△▼△▼△▼△

Beberapa menit telah berlalu sejak Sindy dan Cyra terperangkap oleh skill Bind. Meskipun begitu, hasil yang mereka dapatkan tiap kali mereka berusaha melepaskan diri tetaplah sama, yaitu kegagalan.

Langit biru mulai pudar, cahayanya bercampur dengan cahaya keemasan mentari yang cerah nan indah. Burung-burung yang berterbangan di langit dengan bebas menembus awan kekuningan yang membentang luas.

Padahal saat turnamen ini dimulai kondisi waktu terasa seperti masih pagi hari, namun sekarang sebaliknya—yaitu sore hari.

Sementara itu, Sindy masih terperangkap di dasar sungai dan Cyra masih menempel di dinding jembatan. Satu-satunya hal yang berubah adalah kondisi Prometheus yang sudah sepenuhnya pulih kembali.

Berkat Healing Potion, luka bakar yang memenuhi sekujur tubuhnya sudah lenyap tanpa sisa. Kulitnya kembali mulus dan bersih seperti setelah melakukan perawatan kulit yang mewah dan mahal.

Prometheus bersandar di tembok lorong bawah jembatan sambil membuka inventory nya. Dirinya begitu santai dan tak sedikitpun memberi kewaspadaan atas Sindy maupun Cyra.

"Kurasa ini cukup." Dia memilih sebuah perisai lalu memakainya di tangan kanannya dan menutup inventory nya. Setelah itu dia berniat berjalan keluar dari dalam lorong bawah jembatan, namun tatapan ular yang menusuknya dari dasar sungai menarik perhatiannya.

"Ada apa? Apa kau ingin mengatakan sesuatu?" Tanya Prometheus kepada Sindy.

Pertanyaan. Lebih tepatnya itulah kata-kata yang seharusnya keluar dari dalam mulut Prometheus.

Bila harus bertanya, Sindy punya satu pertanyaan yang sudah dia pikirkan sejak sepuluh menit yang lalu. Sebuah pertanyaan yang terus berputar-putar di dalam otaknya seperti angin taifun dan siap untuk membuat kepalanya meledak kapan saja.

"Kenapa kau tidak menghabisi kami berdua?" Tanya Sindy.

"Menghabisi...?" Prometheus tertawa.

"Tidak, tidak, tidak, kenapa pula aku harus menghabisi kalian berdua? Kalian, adalah alatku.

Seperti yang kalian ketahui, seiring berjalannya waktu, safe zone akan semakin mengecil. Dan arah dimana safe zone itu mengecil adalah lokasi dimana kebanyakan pemain atau peserta berada." Sambung Prometheus.

Sindy tersentak. Dia langsung menyadari apa maksud Prometheus sesaat setelah Prometheus mengomel mengenai safe zone.

"Jadi maksudmu—"

"Tepat sekali Detektif cantikku. Kalian adalah cacing dan safe zone adalah kail pancingnya sementara aku, adalah sang nelayan." Ujar Prometheus memotong kesimpulan Sindy.

Cacing, kail pancing dan nelayan. Dengan skill yang dimiliki Prometheus, hal seperti ini dapat dilakukannya dengan mudah. Dengan begini, Prometheus tak perlu berkeliling untuk mencari mangsa lainnya melainkan mangsa lah yang akan datang kepadanya seperti ikan yang melahap cacing di kail pancing.

Dengan total peserta yang ada saat ini—yaitu lima peserta, safe zone sudah dijamin akan datang ke arahnya. Yang harus dia lakukan hanyalan menunggu hingga peserta lainnya datang padanya.

"Speak of the devil...." Gumam Prometheus.

Seakan menyadari sesuatu, Prometheus mendongkakkan kepalanya lalu berjalan keluar dari lorong jembatan. Dia menengok ke sana kemari, mengedarkan pandangannya seakan mencari sesuatu sampai akhirnya terhenti menatap sebuah pohon yang berada di arah utara sungai.

"Bukankah sebaiknya kau keluar saja dari persembunyianmu?" Tanya Prometheus kepada pohon tersebut.

Menuruti permintaan Prometheus, sosok dibalik pohon itu berjalan keluar. Dia tak mengeluh maupun membalas perkataannya, dia hanya menurut berjalan keluar dengan tenang.

Bayangan pepohonan mulai pudar oleh cahaya mentari keemasan yang menyinarinya. Rambut cokelatnya yang dikuncir ponytail berubah menjadi keemasan akibat cahaya mentari, begitu pula armor nya yang berwarna hitam.

Tatapannya fokus menatap Prometheus, dia bahkan tak terkejut melihat kondisi Cyra seakan dia sudah mengetahui situasi yang ada.

Cyra langsung mengenalinya saat dia melihat ujung sepatunya disaat sosok itu keluar dari dalam hutan.

Bagaimana mungkin dia bisa melupakan sosoknya?

Apalagi dengan armor nya yang berwarna serba hitam itu dan kain yang menjalar keluar dari pelindung badannya. Ditambah lagi, poni di rambutnya yang menutupi mata kirinya, sungguh penampilan yang khas.

"Z, Zaki...? Kenapa kau bisa ada di sini?" Tegur Cyra kepada Zaki.

"Yaah, maaf. Aku tak sengaja melihat pertarungan kalian." Balas Zaki dengan senyuman kecut yang ramah.

"Oh, ternyata kalian mengenal satu sama lain." Ujar Prometheus yang melirik Cyra dan Zaki.

"Tu, tunggu! Zaki? Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Sindy.

Karena posisinya yang berada di lorong jembatan, dia sama sekali tak bisa melihat sosok Zaki yang Cyra dan Prometheus bicarakan. Hal itulah yang membuatnya ragu kalau Zaki yang mereka panggil adalah Zaki yang sama dengan yang dia pikirkan.

Namun, bila Zaki yang mereka bicarakan adalah Zaki yang Sindy kenal—yaitu temannya, dia mungkin bisa mengajaknya bekerja sama untuk mengalahkan Prometheus.

Hal lainnya yang membuat Sindy ragu kalau Zaki itu adalah temannya adalah; Zaki, Zakaria Maulana memasuki turnamen ini bersama dengan sahabatnya, Dimo Ramadhan. Sindy yakin sekali dia melihat mereka melakukan add friend sebelum turnamen dimulai agar bisa bertarung bersama.

Maka dari itu Sindy merasa ganjil bila saat ini Zaki tidak sedang bersama Dimo.

Tidak mungkin Dimo sudah dikalahkan. Sindy yakin dengan kerja sama dua orang, Dimo dan Zaki bisa dengan mudah menjaga satu sama lain hingga kemungkinannya kecil Dimo bisa dikalahkan dengan mudah.

Yang Sindy ketahui saat ini adalah, sisa pemain yang ada adalah lima orang yaitu Cyra, Prometheus, Zaki, dirinya dan seorang pemain yang tidak diketahui. Bila pemain itu adalah Dimo, maka akan ada kemungkinan untuk membalik meja. Prometheus takkan mungkin bisa menang bila mereka berempat bekerja sama.

Tapi, di mana Dimo saat ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan di pikiran Sindy. Namun, tak ada yang bisa dilakukan olehnya untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.

△▼△▼△▼△

Ini adalah bagian dari arc 1 yang paling gw tunggu-tunggu. Disini kita diperkenalkan pada Prometheus, seorang peserta lainnya yang memiliki kekuatan yang overpower. Dia berhasil mengalahkan Cyra dan Sindy dengan mudah, tapi agar batas safe zone berpusat padanya, dia membiarkan mereka hidup. Seperti apa yang Sindy duga, ini semua agar peserta-peserta lainnya tak mempunyai pilihan lain selain mendatangi jembatan itu.

Chapter berikutnya kita akan kembali mengikuti Dimo dan mencari tahu mengapa dirinya terpisah dengan Zaki.

Dan,

Terima kasih sudah mau membaca. Apabila kalian suka dengan novel ini, pastikan masukkan cerita ini ke dalam library kalian untuk bisa terus mengikuti chapter terbarunya :)

Dan bila berbaik hati, power stone bakal gw appreciate banget. See ya later

IzulIzurucreators' thoughts