webnovel

Sleepy Bookmaster

Ketika umurnya beranjak sepuluh tahun, Bayu tiba-tiba mendapati dirinya mengidap narkolepsi. Hidupnya yang dipenuhi tawa pun berubah menjadi kelam. Rasa kantuk selalu manghantui dirinya, membuat masa kecilnya lebih sering ia habiskan di kamar untuk tidur dan membaca buku. Waktu berlalu, Bayu kini telah lulus kuliah di umurnya yang ke-22. Namun pada suatu hari Bayu tiba-tiba mewarisi artifak berupa perpustakaan yang tertanam di alam bawah sadarnya. Di dunia yang telah dipenuhi oleh mahluk-mahluk fantasi dan supranatural, Bayu sedikit bergairah untuk melakukan sesuatu dengan kekuatan barunya. "Mari buat dunia ini semakin kacau balau! Haaa... tapi kalau kupikir lagi, aku terlalu mengantuk, mendingan juga tidur."

hatentea · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
299 Chs

Virgin Killer (2)

Pada sebuah rumah yang terletak di ujung utara Kota Kembang, seorang lelaki kurus kering sedang jongkok tepat di depan televisi. Matanya tertuju tepat pada reporter wanita yang sedang melaporkan korban baru dari Virgin Killer. Melihat wanita itu di layar, lelaki itu tampak bergairah, nafasnya terdengar cepat dan berat, air liur keluar menetes dari mulutnya, matanya melotot tanpa berkedip. Jarak mata dengan wajah wanita di layar hanya tinggal lima senti.

"Hah.. Hah.. Hah.."

Kedua tanganya gemetar keras, mencoba membelai wajah wanita di layar. Ketika tiba-tiba wajah tiu berubah menjadi sebuah iklan sabun cuci, lelaki tersebut lalu marah, suara geretakan giginya terdengar keras ke seluruh ruangan. Kepala laki-laki itu ia benturkan terus ke lantai hingga berdarah.

"Lagi, lagi, lagi, lagi…LAGI!" teriaknya dengan suara yang nyaring.

***

Terletak pada sebuah taman kota di Kembang. Di satu bangku taman yang terbuat dari kayu, Bayu sedang duduk sambil menatapi proyeksi dari ponselnya, di sampingnya terdapat dua kantong penuh berisikan buku-buku fiksi yang baru saja ia beli. Pada layar proyeksi dari ponselnya, terdapat panggilan video dari seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibunya, Olivia Rivertale.

"Bay, sudah dapat kerja? Kalau belum, kenapa gak balik ke Sentral aja? Di Kembang lagi bahaya!" cemasnya.

Bayu memandangi wajah ibunya yang tampak cemas dan panik, lalu pandangannya berpalih ke layar besar tertempel di gedung kantor sebrang taman. Pada layar sedang diberitakan tentang korban baru dari Virgin Killer.

'Tsk! Virgin Killer sialan! Ini kedua kalinya dia membuat mama cemas,'

"Ma, tenang saja. Bayu sudah pernah bilang, kan? Kalau Virgin Killer itu targetnya cewek bukan cowok,"

"Hah?! Virgin Killer! Dia juga masih belum ketangkap?! Bayu segera pulang ke Sentral! Gila ini Kembang, bukan cuma Panji! Virgin Killer juga masih dibiarin keluyuran, mau jadi sarang pembunuh apa itu kota!"

'Hm? Panji?'

<Ah! Maaf tuan, saya lupa memberitahu kalau Nyonya Rivertale baru saja tahu tentang kasus Panji pagi ini>

'Jir! Aku lupa kalau mama buta teknologi!'

Bayu merasa kepalanya sedang ditusuk oleh paku berulang kali, ia memegangi kepalanya dengan tangan kanan.

"Bay! Kenapa? Kamu gak kenapa-kenapa, kan? Atau mulai ngantuk?!"

Melihat ibunya tambah cemas, Bayu mencoba menenangkan dirinya, lalu berpikir keras membuat suatu alasan bagi ibunya. Tidak lama, Bayu teringat akan mimpinya sewaktu ia kecil. Bayu menghela nafas panjang sebelum ia menjelaskan.

"Ma, tenang. Bayu di sini aman kok. Terus masalah kerjaan, Bayu memang belum dapat, tapi sekarang Bayu mau mewujudkan mimpi Bayu aja,"

"Mimpi?"

"Iya, Ma. Ingat, kan? Waktu Bayu kecil, Bayu pernah bilang kalau ingin membuat guild sendiri."

Ibunya yang berada di balik proyeksi terdiam sejenak.

"Jadi sekarang kamu mau buat guild? Emang bisa? kamu yakin?"

"Yakin, Ma! Bayu sudah punya rencana sendiri. Paling nanti Bayu mampir ke rumah waktu daftar guild di Sentral,"

"Tapi, Bay…"

"Tenang, Ma. Percaya sama Bayu."

Keduanya hanya saling bertatapan, mata mereka berdua seperti sedang meyakinkan satu sama lainnya. Bayu kemudian tersenyum lebar.

"Ma, sudah ya! Bayu lagi di luar apartemen nih, lebih baik pulang sebelum kambuh. Mama sehat selalu ya!"

"Iya, hati-hati Bay, kalau lihat orang pakai topeng panji langsung lari, oke?"

"…"

"Bay?"

"Oke Ma… siap laksanakan!"

Panggilan pun terhenti. Bayu bersandar pada bangku, pandangannya kosong mengarah ke langit.

<Tuan, sepertinya Nyonya Rivertale mengingatkan anda untuk lari dari anda sendiri>

"Aku tahu! Kau tak perlu mengingatkanku, ugh! Kepalaku sakit," Bayu memijit-mijit keningnya.

Bayu mencoba untuk mengistirahatkan kepalanya di sandaran bangku. Kali ini Bayu harus berpikir cara untuk membuat guild-nya sendiri, kalau tidak ibunya akan terus menelponya dengan wajah cemas. Lalu pandangannya tidaksengaja kembali melihat layar besar di sebrang taman. Pada layar, komandan polisi sedang memberikan keterangan tentang identitas korban yang ditemukan tadi pagi. Secara reflek pikiran Bayu membaca tulisan yang tertera pada layar.

'Ina Teagarden – Kembang – 21 Mei 2138'

<Tuan, satu buku baru saja terbentuk di perpustakaan>

'… aku tahu, aku baru saja membacanya,'

<Apa yang ingin tuan lakukan dengan buku ini?>

Bayu sejenak berpikir kalau ia tidak terlalu peduli, dan ingin memerintahkan Ayu untuk meletakkannya di rak. Namun…

'Ayu, coba cari tahu apakah korban melihat Virgin Killer di buku?'

<Baik tuan>

Bayu lalu membuka ponselnya, dia lalu mencari identitas korban-korban Virgin Killer di internet. Setelah dia menemukan semua identitas korban, Bayu kembali menyuruh Ayu untuk mencari tahu apakah korban mengenal si Virgin Killer.

Sekitar tiga puluh menit,

<Tuan, tidak ada yang mengenal si pelaku>

'Hm… apa dari mereka ada yang melihat pelaku?'

<Ada tuan>

'Beri tahu gambaran yang ditulis di buku'

<Tunggu sebentar... seorang laki-laki dengan perawakan kurus kering. Rambut hitam pendek acak-acakan seperti tidak pernah dikeramas. Bentuk wajah segitiga dagu runcing, pipi pipih, hidung mancung, mulut lebar dengan mata belo berwarna kuning terang, tidak memiliki alis, dan terakhir salah satu korban melihat kalau seluruh kuku pelaku memiliki panjang sekitar tiga senti>

"…Haa…"

Bayu hanya bisa mengehela nafas panjang setelah mendengarnya. Walaupun dia tahu tentang semua itu, apa yang bisa dia lakukan? Ini seperti mencari jarum dalam jerami. Bayu dengan keyakinan yang kukuh memutuskan untuk menyerah.

<Tuan>

"Hm,"

<Fara Blairheel sedang mengendap-endap di belakang tuan>

'Sekarang mau apalagi?'

Di belakang dirinya, Bayu tidak merasakan ada suatu kehadiran, namun karena Ayu sudah memberitahu maka benar kalau Fara ada di belakangnya, jawabannya hanya satu Fara memakai artifak. Dan Bayu tentu saja tahu tentang artifak yang dipakainya.

"Apa maumu kali ini?" Tanya Bayu dengan lemas. Namun hingga satu menit tidak ada sahutan dari arah belakangnya.

"Batu [Merah Delima] hanya artifak normal, efek menghilangnya paling hanya lima menit,"

Setelah Bayu berkata demikian, dari belakangnya tiba-tiba muncul sosok Fara. Mata perempuan itu bersinar melihat ke arah Bayu.

"Bagaimana kamu tahu? Saya tidak pernah memerlihatkannya loh,"

"Aku hanya tahu saja, jadi apa maumu kemari?"

"Cih, masih gak suka basa-basi kayak biasa," Fara lalu berjalan mengitari bangku, kemudian duduk di samping Bayu, dengan dua kantong buku di antara mereka. Fara melihat layar lebar di sebrang taman yang sedang memperlihatkan wawancara keluarga korban pembunuhan Virgin Killer. Dengan tatapan Fara yang tetap tertuju pada layar, Fara bertanya tanpa menoleh ke arah Bayu.

"Kamu tahu identitas Virgin Killer?"

"Tidak," singkat Bayu, lalu dia mengeluarkan satu buku dari kantong di sampingnya. Merobek segel plastik yang menyelubungi lalu mencium wangi kertas baru yang dikeluarkan oleh buku di tangannya. Setelah puas, Bayu mulai membuka halaman pengantar. Fara masih tetap tertuju pada layar, agak tertarik pada cerita yang sedang ditayangkan.

"Heee… saya pikir kamu tahu segalanya,"

"Aku bukan Tuhan, aku hanya tahu apa yang kutahu. Kenal pun tidak sama pembunuh itu,"

Keduanya lalu terdiam. Fara hanya melihat layar besar di depannya, dan Bayu yang sudah memulai bab pertama novel yang ia baca. Lalu Fara menghembuskan nafas panjang.

"Haa… jadi masih buntu,"

"…"

"…"

Keduanya kembali terdiam, hanya suara angin dan suara halaman kertas yang dibalik dapat terdengar di telinga keduanya. Fara lalu mengeluarkan ponselnya, dia membuka LIFE dan mulai melihat-lihat linimasanya sambil memberikan beberapa komentar kepada kerabatnya. Waktu tidak terasa, hingga langit sudah mulai berubah jingga. Bayu lalu menutup bukunya.

"Seorang laki-laki dengan perawakan kurus kering. Rambut hitam pendek acak-acakan seperti tidak pernah dikeramas. Bentuk wajah segitiga dagu runcing, pipi pipih, hidung mancung, mulut lebar dengan mata belo berwarna kuning, tidak memiliki alis, dan terakhir kuku-kuku pelaku memiliki panjang sekitar tiga senti berwarna hitam,"

Mata Fara membelalak tidak percaya mendengar Bayu yang tiba-tiba saja mendeskripsikan seorang individu.

"Itu…"

"Aku tidak mengenalnya, tapi setidaknya aku tahu gambaran si pembunuh. Sebaiknya kau beritahu polisi, dan membiarkan mereka mencarinya,"

Senyum Fara terlihat begitu lebar, bahkan gigi-gigi putihnya tampak bersinar di mata Bayu. Lalu Fara tertawa histeris sambil menggoncang-goncangkan tubuh Bayu.

"Kamu memang yang terbaik! HA HA HA!"

Fara memasukkan ponsel ke tas slendangnya, lalu memukul pelan lengan kiri Bayu sebelum akhirnya dia segera pergi ke arah kantor polisi. Bayu melihat siluet yang menjauh dari dirinya, suara langkah kaki cepat dan tawa histeris perempuan itu masih terdengar walau siluetnya hanya tinggal seukuran satu butir nasi.

<Dia tampak senang sekali>

"Hm, kuharap dia tidak gegabah dalam menangani kasus ini,"

Pandangan Bayu lalu melihat kembali ke layar lebar yang kali ini memberitakan pengunduran jadwal konser Vanessa Blumunt.