webnovel

PETUALANG MENCARI LELUHUR

Pemuda ini memandang Lela. Ia terkejut saat ditantang oleh Lela untuk menikahinya. Demi membuktikan bahwa kutukan yang diberikan kepada Lela adalah kenyataan.

"Maaf, bukannya tidak mau. Apakah kamu serius? Aku belum mengenalmu terlalu dalam. Begitupun pula kamu."

"Tidak terlalu dalam, tapi Anda telah lancang berbuat seperti tadi," sindir Lela dengan senyum sinis.

"Baiklah, aku mengaku salah. Tidak akan menanyakan atau memerlakukanmu seperti tadi." Akhirnya Kelana menyerah. Daripada diminta untuk menikahinya.

Gadis ini menunduk, ia sebenarnya pun tak rela kalau Kelana harus tewas. Sebab Kelana telah banyak membantunya.

"Apa yang sekarang ingin kau lakukan, Lela?"

"Aku ingin pulang. Ingin bertanya kepada leluhurku. Mengapa bisa aku dinikahi oleh siluman itu?"

"Baiklah. Kapan kau akan ke sana? Aku akan menemanimu."

"Hari ini. Bisakah?"

Kelana mengangguk. Lalu meraih kunci mobil di atas meja. "Ayo!"

Dengan risau gadis ini mencengkram pakaiannya. Ia risih pergi dengan keadaan seperti itu. Kelana paham. Ia segera menuju lemari. Lalu membuka lebar-lebar pintu lemari itu.

"Gunakan pakaianku! Aku tunggu di mobil."

Setelah melirik kepergian Kelana, Lela segera memilih pakaian. Kaus putih dan celana pendek merah, ia pilih untuk membalut tubuhnya. Gadis ini menutup lemari. Setelah itu bercermin pada pintu lemari.

Kelana menanti sambil mendengarkan musik yang ia putar dari radio mobilnya. Tepat saat ia asyik bersenandung mengikuti alunan musik, tepat saat itu pula Lela sedang masuk ke mobil. Duduk manis. Kelana terpukau oleh kecantikan ranum gadis itu. Walau usia Lela tak muda lagi, tapi auranya terlihat masih remaja.

"Melihatmu seperti ini. Ingin rasanya menggoda," goda Kelana.

"Engkau polisi, bukan? Mengapa pikiranmu lain daripada yang lain?"

"Jangan marah. Aku cuma bercanda."

"Jaga perasaan Anda. Saya tidak bertanggung jawab jika Anda akan mati setelah menyentuh saya."

Kelana akhirnya bungkam. Ia menyalakan mesin mobil dan setelah beberapa detik mulai membawa kendaraan itu keluar dari kawasan rumahnya.

***

Mobil menyusuri sebuah jalan berliku dan becek. Sebuah hutan terpencil ada di sekitarnya. Beberapa kali guncangan terjadi. Sehingga mengakibatkan Lela, nyaris merangkul Kelana. Mobil mereka mengalami mogok di sebuah hutan angker. Di sisi ini Kelana kebingungan. Sebab dari jarak 50 kaki ke depan. Suasana masih terik. Sedangkan di tempat yang ia tempati. Justru mendung.

Lela tanpa ragu keluar dari mobil. Diikuti oleh Kelana yang saat ini sedang mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah.

"Kemari!" perintah Lela.

Tiba-tiba angin berhembus. Mendatangkan debu yang nyaris membuat pandangan mereka tertutupi. Sebuah kayu ranting kering nyaris mengenai gadis itu. "Awas!" Segera kelana berdiri di hadapan Lela. Untuk melindungi wajah Lele yang nyaris terkena ranting kayu karet. Akhirnya kayu hanya mengenai punggung Kelana.

"Terima kasih," ucap Lela. Sambil melepaskan diri dari Kelana.

"Di mana tempatnya?" tanya Kelana, sambil menyusuri jalan berdebu bersama Lela. Ia sempat terbatuk karena debu masuk ke mulutnya saat ia berbicara.

"Kita akan menuju ke lembah ular. Berhati-hatilah, sayang!" peringatan Kela.

Tanpa menunggu aba-aba Lela. Pemuda ini segera mengeluarkan pistolnya. Lela melihatnya, lalu menurunkan pistol pemuda itu. "Kenapa, Cantik?" tanya Kelana bingung.

"Jangan, Tampan."

Sejak kapan Lela memanggilnya tampan dan Pemuda itu memanggilnya cantik? Inilah yang mereka rasakan. Rasanya aneh saat Kelana menyebutnya cantik, tapi lebih aneh lagi Lela. Ia yang enggan membalas. Kini justru membalas.

Lela berpura-pura biasa. Sama halnya Kelana. Mereka masih melanjutkan perjalanan dalam kemesraan yang mereka tidak sadari telah terjadi di antara mereka berdua. Di sepanjang perjalanan ini.

2 jam mereka berjalan. Akhirnya turunlah hujan. Kelana melirik Lela. Gadis itu tidak kedinginan. Sedangkan ia sangat menggigil. "Apa kamu tidak kedinginan, sayang?"

Lela melirik pemuda itu. Ia tahu cuaca di daerahnya sangat dingin sedingin salju. Kelana adalah manusia biasa tanpa ilmu gaib atau bekal dasar. Kemungkinan untuk bertahan sangatlah mustahil. Oleh karena itu Lela mendekat dan meraih tangan Kelana. Kedua tangan pemuda itu bergetar. Lela pejamkan mata sambil menyalurkan inti kesaktiannya dari telapak tangannya hingga ke seluruh tubuh Kelana. Secara gaib sinar putih keperakan kini hadir dari tangan gadis itu. Kini redup dan lenyap sekejap, tidak sampai memakan waktu 5 menit.

"Aku hangat?" Kelana meraba dirinya. Hujan semakin deras. Tidak memberi pengaruh padanya. "Lela, apa tadi?" tanyanya sambil mengejar Lela yang telah melangkah jauh.

Lela mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia kembali menengadah dan membuka mulutnya untuk meminum air. Namun, pandangannya terhalang oleh si tampan itu yang rupanya justru merangkul pinggangnya dan mengecup kening Lela. "Kelana?" Lela kesal, ia lantas melepaskan tangan Kelana.

"Dari tadi aku bertanya. Sampai gemas aku. Kamu justru bertingkah imut seperti itu."

"Aku haus!" teriak Lela kesal.

"Bilang!" balas Kelana. Pemuda ini segera mencari-cari sesuatu untuk menampung air. Ia menemukan daun lebar, tapi bukan keladi. Hanya sepintas mirip. Ia lalu mengambil daun itu lalu menampung air. "Minumlah!" Ia serahkan tanpa melihat Lela.

Lela meminum air itu tanpa menyentuhnya. Ia hanya berjongkok menyedot air dari daun. Kelakuan gadis itu membuat perhatian Kelana menjadi resah. Lela sungguh menawan dengan setiap gerakannya. Terlalu sayang untuk dirusak atau dibuat menderita.

"Baiklah, sekarang kita lanjutkan perjalanan lagi!" ajak Kelana setelah membuang daun itu. Ia berjalan lebih dahulu dari gadis yang seharusnya menjadi petunjuk jalan. Hujan tetap deras. Kini makin bertambah dengan adanya banjir di hadapan mereka. "Bagaimana ini?" gumam Kelana. Ia melirik gadis itu.

"Eh! Kelana!" Lela terkejut saat Kelana menggendongnya.

Kelana menyusuri banjir yang membentuk seperti sebuah telaga itu. Airnya cukup dalam. Selutut orang dewasa. Kadang ia terperosok, tapi tidak jatuh. Bila sudah segitu, maka akan air akan setinggi pinggangnya. Tanah tidak rata, bila tidak hati-hati maka akan mudah jatuh dalam landai atau pun tersandung batu.

"Bila lelah, biarkanlah aku berenang, atau berjalan, Kelana," ucap Lela.

Kelana berhenti, ia memandang Lela. "Ringan, sayang. Entah kenapa aku tidak merasa keberatan."

Lela tersipu malu. Sudah kesekian kali Kelana rela membantunya dalam waktu dua hari ini. Ia tidak tahu harus membalas budi baik pemuda itu dengan apalagi.

"Terima kasih," ucapnya sambil menyandarkan kepalanya pada dada bidang Kelana.

Dalam perjalanan itu, Kelana berhasil melewati air. Ia segera menurunkan Lela. Anehnya saat ia berdiri bersama Lela. Hujan tiba-tiba saja berhenti. Angin datang dahsyat sehingga Kelana harus menutup pandangannya dengan tangan kiri. Ia tak lupa merangkul Lela untuk melindungi gadis itu dari debu atau sesuatu yang terbang menyerang mereka. Angin dahsyat berhembus selama 2 menit. Setelah itu kembali tenang. Kelana heran, ia tiba-tiba merasa ringan. Saat meraba kain punggung Lela. Ternyata angin telah membuat pakaian Lela kering.

"Ajaib, bagaimana bisa dalam sekejap pakaian kita kering? Bahkan hingga ke bagian dalam." Kelana tertawa senang. Ia seperti menemukan hal baru yang amat menyenangkan.

"Kita sedari tadi memasuki kawasan gaib, Kelana. Hanya saja tempat ini aman bagi penduduk sini. Karena kau datang bersamaku, maka kau pun aman."

"Jadi kita bukan di alam manusia?" Kelana tak percaya. Ia melihat ke sekitar. Sepintas tak ada yang berbeda dari alam nyata.

Lela tersenyum, ia menarik Kelana yang masih bingung membedakan alam. Lela mengajaknya untuk memasuki sebuah lembah yang ditutupi oleh banyaknya akar tumbuhan merayap. Sehingga bila menerobos, Kelana harus menyingkap agar itu.

"Di mana kita, Cantik?" Namun, ia heran. Tidak ada gerakan sedikit pun dari gadis itu. Sehingga ia harus berbalik dan mencari. "Lela! Di mana kamu?" Lela lenyap.