Mereka adalah Putri Vampir, namun mereka tidak tahu tentang hal itu sama sekali. Bahkan ibu yang mereka pikir adalah ibu kandung mereka ternyata adalah pembohong. Dan sekarang mereka harus hidup sebagai Vampir, lebih tepatnya sebagai Putri Vampir. Tapi apakah semuanya hanya berakhir seperti itu, hidup dengan mudah di dunia baru? Sepertinya tidak, karena kenyataan bahwa mereka memiliki darah Iblis membuat keduanya di harapkan untuk menjadi yang terbaik karena sebuah ramalan memuakkan atas nama mereka. Lalu apa yang terjadi? Apa Evelyn dan Jocelyn bisa melewati semuanya dengan baik? Atau tidak sama sekali? Up setiap hari minggu
Sebuah senyuman lebar mengiringi langkah mereka, sebuah fakta bahwa sebentar lagi mereka akan berumur delapan belas tahun membuat keduanya tidak bisa untuk menyembunyikan wajah bahagia mereka.
Melepaskan genggaman tangan satu sama lain sebelum berlari mendekati sang ibu yang menunggu di depan pintu rumah. Tatapan penuh bahagia terlihat di wajah mereka walau ada setitik ketakutan di dalam manik itu.
"Sore Ibu.." seru mereka mencium sisi wajah sang ibu dengan perasaan bahagia.
"Sore sayang, malam ini mau makan apa?" wanita paruh baya itu bertanya, berjalan lebih dulu yang di ikuti dua gadis muda di sebelah kanan dan kirinya.
"Aku ingin sesuatu yang manis" sahut gadis bersurai caramel dengan tatapan penuh binar.
"Kalau aku ingin sesuatu yang pedas!" gadis di sisi kiri menyahut mengalihkan pandangan wanita paruh baya itu untuk menatap ke arah sang gadis bersurai burgundy.
"Ibu selalu bertanya-tanya, kenapa selera kalian berbeda?"
Dua gadis muda itu saling berpandangan lalu tertawa "walau kembar harus tetap ada perbedaan di antara kami bukan" jawab gadis bersurai caramel dengan manik yang melengkung membentuk sebuah garis.
Wanita paruh baya itu mengangguk, membenarkan ucapan sang anak. Bahkan dia juga bisa melihat perbedaan senyuman mereka, dan selera pakaian mereka juga sangat berbeda. Dan itu tidak membuat semua orang sulit untuk membedakan mereka.
Mungkin ini lebih baik, saat berumur sepuluh tahun dua gadis itu berniat mengecat surai mereka untuk mempermudah orang-orang di sekitar mereka membedakan mereka. Itu semua karena wajah mereka yang benar-benar mirip, bahkan sang ibu sampai tidak bisa membedakan keduanya saat mereka masih kecil.
Dan wanita itu akan menyuruh dua gadis muda itu untuk tersenyum setiap bertemu dengannya, untuk bisa membedakan mereka.
"Ibu akan masak dulu, kalian mandi sana!"
Keduanya mengangguk, lalu beranjak pergi meninggalkan sang ibu yang menghembus napas gusar. Memilih untuk menutup matanya hingga sebuah air mata turun dari sudut matanya "maafkan Ibu.." ucapnya lirih.
Dua gadis itu langsung masuk ke kamar mereka, saling berdebat akan siapa dulu yang akan mandi dan berakhir dengan keduanya mandi bersama. Setelah selesai mandi, keduanya duduk di atas tempat tidur. Menatap cermin yang memantulkan tubuh mereka.
Mereka diam, saling menatap manik masing-masing dengan sebuah raut wajah tanpa ekspresi sebelum keduanya di kejutkan oleh langkah kaki yang mendekati kamar mereka.
Salah satu dari mereka bangkit sebelum pemilik surai caramel menahan tangan kembarannya "apa kau tidak merasa aneh?" ucap gadis itu menatap tepat pada manik coklat gelap milik sang kembaran yang sama sepertinya.
"Apa sekarang kau berpikir hal aneh lagi!" gadis bersurai burgundy itu langsung menunjukkan tatapan tidak percaya, menyentuh bahu sang kembaran yang terlihat ketakutan "semua akan baik-baik saja, kita akan bertanya pada ibu saat makan nanti"
Pemilik surai caramel menggeleng "kau juga dengar bukan, bagaimana bisa aku bertanya saat tahu bahwa ibu membohongi kita selama ini"
"Kenapa kau jadi berpikiran negatif seperti ini. Aku tahu jika kau khawatir dan takut karena ini bukan hal yang wajar, tapi tetap saja kita harus berpikir positif. Mungkin saja memang indra pendengaran kita cukup tajam"
Pemilik surai burgundy itu menarik tubuh kembarannya lalu memeluknya dengan erat "jika memang ada hal buruk yang terjadi, kita harus selalu bersama" ucapnya lagi sebelum mendengar suara ketukan dari pintu kamar mereka.
"Eve, Joce, makanannya sudah siap"
Suara sang ibu membuat keduanya menoleh ke arah pintu, lalu berjalan menuju pintu itu dengan sebuah senyuman lebar "malam ibu.." ucap mereka secara bersamaan lalu menarik sang ibu untuk pergi ke meja makan.
"Kalian ini kenapa?"
Dua gadis itu hanya tersenyum mengabaikan pertanyaan sang ibu, sepertinya akan terlalu cepat jika dia mengatakannya sekarang. Tapi dia juga sudah penasaran akan hal ini, walau kembarannya menolak tetap saja dia ingin tahu.
"Ibu.. apa kali ini kita piknik lagi?"
Bibirnya yang terbuka kecil itu langsung tertutup rapat, menatap ke arah sang kembaran yang bisa-bisanya memotong ucapannya. Padahal dia berpikir semakin cepat maka semakin baik, tapi gadis itu hanya tersenyum mengabaikan dirinya yang kesal.
"Hm.. sepertinya tidak, ibu ada banyak pekerjaan di akhir tahun ini"
Tapi mendengar jawaban sang ibu membuat Evelyn terkejut, mencari sebuah kebohongan di sana hingga kakinya di injak oleh kembarannya.
"Kita akan merayakannya di rumah saja, karena akan ada tamu juga" ucap sang ibu lagi dengan genggaman tangannya yang menguat pada pakaiannya.
"Ah.. begitu ya, tapi siapa yang datang di hari ulang tahun kita?"
Jocelyn mulai bertanya, ada rasa penasaran yang besar dan juga rasa takut jika semua pemikirannya benar. Karena dia mendengarnya, mendengar jika wanita yang ada di hadapannya ini bukanlah ibu kandungnya.
Awalnya dia tidak percaya, tapi setelah mencari tahu lebih banyak lagi ternyata semua itu benar. Ibu kandungnya dan Evelyn sudah meninggal sejak melahirkan mereka. Dan Jocelyn merasa kesal karena di bohongi selama ini.
"Tentu saja keluarga kalian yang dari jauh, ibu kan sudah pernah mengatakannya pada kalian jika keluarga kita banyak yang tinggal di negara lain dan katanya mereka akan datang untuk merayakan tahun baru dan ulang tahun kalian" jelas sang ibu dengan sebuah senyuman yang tidak pernah luntur di setiap kata yang dia ucapkan, tapi semua itu hanyalah sebuah topeng untuk menutupi rasa takutnya.
Rasa takut jika dua gadis di hadapannya ini akan membencinya setelah hari itu, dia benar-benar sudah menganggap dua gadis itu seperti anak kandungnya dan dia berharap semua ketakutannya tidak akan pernah terjadi.
"Ib.... Akh..!!"
Jocelyn lagi-lagi menginjak kaki Evelyn membuat sang adik berteriak kesakitan, menatap garang pada sang kakak yang tidak merasa bersalah sama sekali.
"Kamu kenapa sayang?" panik sang ibu menatap khawatir pada gadis bersurai caramel yang masih saja mengeluhkan rasa sakit di kakinya.
"Aku tidak sengaja menginjak kaki Evelyn ibu" sahut Jocelyn dengan santai membuat Evelyn lagi-lagi mendengus akan sikap sang kakak yang terus menyebalkan saat ini.
Sang ibu menggelengkan kepalanya pelan dengan kekehan kecil yang khas "kamu ini Joce, jangan begitu pada adik kembar mu sendiri"
"Dia..!" ucap Evelyn menunjuk ke arah Jocelyn lalu tertawa miris "sungguh menyebalkan" lanjutnya membuat Jocelyn memajukan bibirnya dengan tatapan kesal.
"Terus saja mengejekku! Aku akan membakar semua lukisan yang kau buat!" teriak Jocelyn membuat Evelyn tertawa keras.
"Coba saja, itupun jika kau mau melihat novel kesayangan mu aku bakar!"
Sang ibu hanya tertawa, menatap kedua anaknya yang selalu saja ribut akan hal kecil.