webnovel

Inginku

09, Oktober 2019

Kriiiinnggggggg!! Suara bel pulang sekolah. Sore ini, aku berjalan keluar dari pintu kelas. Terlihat tatapan cahaya memancar ke arahku. Aku menatapnya balik, lalu kemudian aku kembali berjalan ke arah gerbang keluar sekolah. Sudah seharian di tempat ini dengan wajah yang dilumuri lelah. Di tempat dimana aku sedang sedikit demi sedikitnya merajut banyak asa dan mimpi. Sudah lebih dari 2 tahun aku merakit angan dan keinginan yang akan meledak di penghujung waktu. Aku merasa ada getaran dari kantong celanaku. Saat itu langsung aku keluarkan handphoneku, dan tertunduk mendapati pesan di layar kaca. Mendapatkan kejutan yang telah lama ku nanti-nanti akan hal itu. Rindu akan mengulang perjalanan yang membuatku mengerti akan artinya perjuangan, mengerti arti bersabar, mengerti akan sebuah penantian. Ajakan dari seorang kawan yang bernama Dimas.

Dimas Putra: Tanggal, 12 Oktober, besok kita ke gunung Bismo gimana, Van?

Arvan Pratama: Oke, ntar malem kita bahas dimana?

Dimas Putra: Di taman kuliner aja, sekalian ajak yakup.

Arvan Pratama: Iya, nanti abis isya', gue ke sana..

Aku kembali berjalan untuk menghampiri sebuah perencanaan. Lelah yang membalur tepat di wajah secepat itu luntur. Telah berbulan-bulan aku menanti kabar ini untuk sebuah perjalanan yang akan merajut sebuah cerita kecil. Tentang bagaimana aku menimbang-nimbang rasa kesal di tubuh. Namun, harus tetap menguatkan hati demi jalan yang harus selesai ditempuh.

Dimas ini adalah kawan yang belum lama aku kenal. Hanya setelah aku berekspedisi di Gunung Sumbing membuat pertemanan kami menjadi lebih dekat. Walaupun setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi, tapi aku yakin Dimas dan aku menanti-nanti akan hal ini. Kawanku ini adalah sosok yang pantang menyerah, senantiasa menerima segala tantanggan dan rintangan yang menghadang di depannya. Badannya kekar berlekuk, rapi, nan gagah.

Dimas sudah tamat dari bangku sekolahnya. Organisasi dan komunitas sekarang adalah tempatnya menempuh segala pengalaman. Seringkali aku melihat status Whatsappnya yang selalu menontonkan dia dalam komunitas atau pun organisasi. Pengalamannya sangat banyak, orangnya ramah, lucu, dan juga bijaksana. Ini mungkin akan jadi kali kedua aku berkelana dengan Dimas. "Ayo Van, Aku duluan yo." Pamit kawanku Herman.

"Yo, ati-ati dijalan."

Aku ulurkan seribu rupiah kepada Ibu-ibu untuk membayar parkir. Dengan menghela nafas aku duduk di jok motor matic kesayanganku ini, "Akhirnya kita pulang, Rambo." ucapku senang kepada motorku (Cek kek kek, breummm). Aku berjalan keluar dari parkiran sekolahku.

Melewati hangatnya aspal yang menyapa perjalananku. Tepat aku berputar di bundaran kecamatan Siyono, yang khas dengan air mancurnya. Seringkali kudapati airnya membasahi jalan. Belok kanan dan berjalan lurus menuju rumahku.

Aku teringat hujan. Pada bulan ini, awan selalu kelam. Seperti ingin menyampaikan sesuatu kepada Kota Gaplek. Aku sangat merindukan hujan di kota ini. Hingga dirahasiakanya rintik rindunya yang membasahi dedaunan, ranting, pohon, tanah, aspal, dan aromanya yang senantiasa menyapa dengan manis. Oh iya, Kabarnya kota Wonosobo sudah hujan. Semoga, aku besok bisa menjumpai hujan di sana. Dan menikmati alam yang lengkap dengan senyuman setelah melepas rindu kepada hujan, ucapku dalam hati.

Telah tiba aku di rumah dan menjumpai persegi panjang pintu teras dengan gagang pintu bulatnya. Membuka pintu yang umurnya sudah puluhan tahun. Ini adalah rumah Kakek dan Eyang ku. Gagang ini aku putar ke kiri dia menolak ku, aku putar lagi ke arah yang sama. Berulangkali aku putar, aku tarik - tarik ternyata jawaban masih sama, seketika itu aku putar ke kanan dia membalas beribu-ribu cintaku. Tak mau berlama-lama dengan pintu yang terlambat menjawab segala keinginan ku "Assalamu'alaikum." aku cium tangan Eyang.

"Wa'alaikumsalam." jawab kakek dan Eyang. Sembari ku cium tangan kakek.

Kakek sedang membaca buku, entah buku apa yang sedang ia baca, aku kurang memperhatikannya. Dulu aku adalah anggota OSIS. Sering sekali aku pulang terlalu sore waktu itu. Tapi beberapa hari lalu telah dipilih anggota baru dan sudah dilantik. "Kok tumben nggak bali kesoren?" Tanya kakek ku.

"Kan Arvan bukan OSIS lagi sekarang."

"Oh, ya sudah kamu makan sana. Tadi belom makan to?"

"Belom kek, tapi aku udah kenyang." menepuk-nepuk perut sambil beranjak ke kamar.

"Wong belom makan kok udah kenyang.." kakek mengintipku dari atas kacamatanya. Aku hanya nyengir. Berjalan menuju kamar, melepas sepatu, ganti celana, dan baju lalu melompat ke atas kasur. Merebahkan diri di atas puing-puing fikiran.

Ibukku adalah seorang guru. Seorang pengajar sekolah dasar yang ada di desa. Tapi, beliau keluar dari pekerjaannya sebagai guru untuk ikut Ayah dan ibunya pindah ke Tangerang, sekalian mencari pengalaman pekerjaan baru katanya. Aku dan Adik ku memilih di sini untuk menyelesaikan pendidikan.

Sedangkan Ayahku dulu seorang anggota kepolisian. Pria yang gagah ini, sangat tulus sekali kepada keluarganya. Sekalu bersikap harmonis dan hangat. Dan namanya pun cukup dikenal banyak masyarakat sekitar. Namun, beliau telah meninggal pada tanggal; 1 Agustus 2011 lalu, karena kecelakaan.

Waktu SMP aku begitu nakal sampai aku tertinggal banyak hal tentang hidupku. Aku merasa sangat menyesal jika kemudian setelah itu aku menjadi bodoh dan terbatas. Seringkali aku malu melihat foto Ayah yang mengenakan seragam kepolisian. Ketika aku di depan cermin, seseorang menatapku, aku akan jadi apa nanti? kata hati kecilku. Kepalaku tertunduk, Sekarang aku hanya selalu berusaha menjadi lebih baik dan tidak seperti dulu lagi.

Aku berkeinginan menjadi seorang petarung. Tapi aku juga sangat gemar sekali menulis sajak. Walau kebanyakan sajak ku kalimatnya ngaco. Aku tetap bersikeras memposting tulisanku di twitter. Ya, walaupun aku tahu akun twitterku hanya memiliki 23 followers. Hehehe. Tidak tau apakah sajak itu akan bisa diresapi oleh banyak orang dengan untaian katanya yang masih begitu dangkal. Mungkin memang masih perlu banyak belajar untuk mengerti tentang itu. Jika sudah mengerti pasti mampu membentuk kalimat yang memiliki jiwa yang tepat.

All I Want - Cover Alexandra Porat dilantunkan dalam kamarku. Aku menarik sebatang fana yang terselimut di dalam kertas tebal berbentuk kotak. Melihat matahari terbenam dari bingkai jendelaku yang menangkap sebuah lukisan indah dari Tuhan. Aku bakar sebatang fana untuk membuat inspirasi dan angan-angan dalam fikiranku. Cahaya yang merah merekah menyinari pupil mata dan wajahku, seraya ku hembuskan kepulan-kepulan harapan. Mentari kian lama hanyut oleh waktu, dan berakhir di penghujung hari. Masa kemaren adalah pembelajaran yang tidak mungkin aku lupakan. Aku mengabadikannya dalam lantunan memori di kepala. Hari ini, adalah perjuangan. Sedangkan hari esok adalah harapan. Selesaikan hal apa yang belum diselesaikan hari ini, menyusun rencana, dan menunggu harapan di hari esok untuk melihat masa depan.

05.45,"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar." Baru saja aku selesai mandi dan siap-siap untuk shalat maghrib. Pintu kamar aku kunci dari dalam, karena aku sedang ganti baju. "Arvan?" panggil eyang dari balik pintu luar.

"Iya?"

"Arvan, kamu udah mandi?"

"Udah, ini baru ganti."

"Kalo udah selesai langsung ke Masjid lho."

"Iyaaa." jawabku, seraya eyang meninggalkan depan pintu kamar. Lalu aku mengambil air wudhu di Masjid untuk sholat. Kakek ku yang akan mengimami sholat maghrib. Karena dia memang Takmir di Masjid dusunku ini. Kedamain melintas setelah aku menangkap keadaan itu, Semua keluarga ku adalah orang-orang baik dan berhasil, semoga aku pun begitu suatu saat nanti, Aamiin. Tepat aku memasuki Masjid, Iqomah telah berkumandang.

Ting... ting... ting.. Biasanya setelah selesai sholat maghrib, kita berkumpul dan makan bersama. Aku memiliki dua orang adik. Adik kandungku bernama Rafael Yasid Zidan dan adik dari omku namanya Gusti Dipa Kertaretjasa. Aku yang paling dewasa di antara mereka. "Eyang, telor gorengnya ambilin." ucapan gemas dari Dipa

"Iya, ini.. dihabisin biar kenyang."

"Zidan, nggak tambah nasi." Ucap kakek agak keras kepada Adikku ini yang malah duduk di depan TV, sedangkan yang lain di meja makan.

"Enggak, udah kenyang kek."

Merasakan hal seperti ini, membuatku selalu bersyukur akan ke utuhan. Melihat mereka tertawa, berbagi, dan utuh. Seiring berjalannya waktu nanti, entah aku atau mereka pasti akan pergi meninggalkan sebuah cerita. "Aku nanti abis isya' mau ke taman kuliner ya, Eyang?" tanyaku meminta izin kepada Eyang.

"Sama siapa? Pacar ya?" mengacung-acungkan jarinya sambil tersyam-senyum

Aku mengernyitkan dahi,"Ishh.. Aku mana ada pacar?"

"Halah." Eyang tersenyum geli.

"Sama Dimas sama Yakup, Eyang. Aku nggak mikir pacaran-pacaran apalah itu." jawabku sedikit menggerutu.

"Mau ngapain?" tanya Eyang.

"Mau bah..."

Belum selesai berbicara, seketika kakekku menyambar,"Kamu mau mendaki lagi ya?" tanya kakek datar.

"Iya kek, mau bahas peralatan buat mendaki."

Kakek ku ini mudah mengerti kegiatanku. Jika aku beritahu akan pergi dengan siapa, pasti kakek tau apa rencana kegiatan yang akan aku lakukan. Ia selalu memberi pertanyaan yang sudah Ia ketahui jawabanya. Mau gini ya, mau gitu ya, mau ke sini ya, mau kesitu ya. "Emang kamu punya uang?" tanya kakek, yang sudah selesai makan dan lanjut membaca bukunya. Aku menatap langit-langit plafon, lalu bengong. "Vaaann" Aku menengok kaget."Kamu itu ditanya kok diem." kata kakek.

"Belum punya kek, Ibu transfer masih besok sabtu." jawabku

"Ya sudah, nanti kakek kasih." dengan masih menatap buku yang masih Ia baca.

Obrolan dengan berbagai topik telah selesai. Diakhiri dengan bincangan penutup kemudian aku berjalan menuju kamar untuk membuka layar handphone ku. Adzan isya' terdengar dilantunkan dengan khitmat dan keras. Lalu sebuah notifikasi masuk menyalakan layar handphoneku.

Dimas Putra: Ayo, jangan lupa ajak yakup yo, Van.

Arvan Pratama: Iya, gue isya' dulu Dim."

Dimas Putra: Oke, ndakpapa tak tunggu.

Aku membuka kontak pesan Whatsapp Yakuf, untuk meninggalkan pesan.

Arvan Pratama: Kup, nanti gue ke rumah lu yak, diajakin Dhimas ke taman kuliner.

Meletakan handphoneku di atas meja, dan melangkah ke Masjid untuk beribadah sholat. Di reruntuhan puing-puing pikiran, aku melantunkan sebuah doa. Nada-nada di dalamnya begitu sunyi, begitu sepi, begitu tak tampak, tapi Tuhan pasti melihat dan mendengarkan apa yang aku minta. Diri ini belum begitu rajin tapi banyak meminta belas kasih-Nya, meminta agar setiap doa dikabulkan. Waktuku di ruangan itu berhenti karena aku sudah selesai, dan beranjak menuju rumah. Aku telah memasuki kamar, dan melihat handphoneku menyala berisi notif balasan pesan dari seorang teman.

Yakuf Budi: Oke, cusss.

Berpamitan sejenak lalu pergi keluar. Menikmati angin malam yang terasa sejuk. Bersama motor kesayangan menuju rumah teman. Menikmati semilir angin seperti lantunan musik. Dan bintang-bintang tampak begitu indah berkedap-kedip di antara sinar rembulan. Orange lampu jalanan menerangi tubuhku di setiap sudut tiang yang berada di pinggiran aspal. Andai saja tadi hujan, pasti tercium aroma kenangan-kenangan yang menyejukan.Telah tiba aku di rumah Yakuf,"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, sek Van." jawab Yakuf. Suara langkah kakinya masuk ke dalam dan jauh semakin tipis suaranya. Aku duduk saja di bangku pelataran rumahnya. Tiba-tiba dari pintu sebelahnya lagi, seperti doraemon, yang memiliki pintu kemana saja. Keluarlah Yakuf Budi Atmaja, dengan kepala berselimut helm seperti satria baja hitam yang hendak melawan monster,"Ayok, budal."

"Dal!" jawabku semangat bergairah.

Jalanan begitu sepi, nggak seperti biasanya aku melewati jalanan ini sepi. Yakuf bertanya sesuatu,"Mesti mau bahas mendaki ke Bismo to?"

"Iyo. Sama sekali-kali keluar malem, biar nggak tiduran di rumah teros."

"Sekarang Dimas udah di sana?"

"Udah, dari Maghrib tadi." sambil nyengir aku membayangkan Dhimas, yang pasti begitu bosannya di sana sendirian, plengas-plengos, kebal-kebul, nunggu dari tadi maghrib. Padahal janjiannya habis isya'.

Yakuf tertawa,"Yowes, rodo banter. kasian udah nungguin." Aku acungkan jempol kiri sebagai jawaban bahwa aku mengiyakannya. Bagaikan the flash, aku bergaya-gaya seperti Valentino Rossi yang miring-miring di tepian jalan. Sangat menyenangkan dan berbahaya, tidak dianjur bagi pembaca di rumah.

Sampailah aku di Taman Kuliner. Sekarang tinggal mencari temanku itu. Sepertinya aku harus mencoba menghubunginya terlebih dahulu agar tidak kebingungan.

Arvan Pratama: Dimana? pake baju apa?

Dimas Putra: Aku pake jaket item, di deket gerobak angkringan.

Langsung saja aku cari Dimas. Berjalan menyusuri gerobak-gerobak para pedagang di sini. Dari dekat sudah terlihat seorang laki-laki memakai topi hitam dan jaket hitam tepat di depan gerobak angringan. Aku memasti-mastikannya apakah benar itu Dimas. "Kup?"

"Apaan?"Yakuf dengan muka bingung.

Aku menunjuk pria bertopi dan jaket hitam,"Itu bukan?"

"Iya deh kayaknya, coba deketin."

Akhirnya kami berdua mendekati pria itu. Dan ternyata benar itu Dimas, dia belum ngeh atau sadar kalau kami di dekatnya. Aku waton duduk saja di sebelahnya. Sontak dia pun menengok ke arahku,"Weeeeee, empat bulan nggak ketemu, kangen." langsung Ia mendekapku dengan badan kekarnya, dan berjabatan denganku. Tangan kiriku memeluk dan menepuk bahunya.

"Yaaa, sama Dim, jadi pengen balik ke Sumbing kalo ketemu lo." kita bertiga tertawa, dan peluk-pelukan telah usai.

"Dari tadi, Dim?" tanya Yakuf.

"Iya, tapi nggapapa santai aja." jawab Dimas dengan melambai-lambaikan telapak tangannya, sebagai isyarat untuk santai.

Mulutku terasa sepi, ingin rasanya memesan sesuatu,"Mbak?" memanggil mbak-mbak pedagang angkringan,"kopi good day satu." aku melihat Yakuf, dan menawarinya,"kup? ngopi nggak?"

"Aku teh anget aja." memegangi kupluk yang dikenakannya.

"Oke, elu?" melihat ke arah Dimas

"Nggak, nanti pesen sendiri, ini aja belom abis."

"Ya udah. Mbak, tambah teh anget satu ya." mbak-mbak itu menganggukan kepalanya dan tersenyum.

Yakuf tiba-tiba menyahut,"Eh, tolong ambilin nasi kucingnya Van, dua." langsung saja aku mengambilkannya. Dan mendengarkan mereka berdua ngobrol tentang organisasi atau komunitas yang sedang mereka geluti. Mendengarkan mereka, aku seperti berada dalam sekumpulan orang-orang yang mengikuti pembekalan tentang Leadership. Mereka berdua sangat pandai tentang itu. Aku mengeluarkan sebungkus fana, mengeluarkannya satu untuk dibakar. Sssssshhhh ffffttt, tiba-tiba Dimas bertanya,"Besok tanggal 12 lu bisa kan?"

"Bisa, bisa, siapa aja emang?" jawabku, lalu bertanya kepada Yakuf,"Lu gimana kup, mau ikut nggak?"

"Wahh.. keknya nggak bisa deh, waktunya tu bertepatan sama pelombaanku besok." jawabnya sedikit risau. Karena sebetulnya dia ingin sekali ikut tapi dia akan mengikuti lomba karya ilmiah. Jadi, dia lebih membebankan itu, karena itu adalah peluang meraih prestasi dari pada mendaki.

"Oh, ya udah. Asalkan jangan tiba-tiba lu nyusul ke Wonosobo ya."Aku dan Dimas tertawa kecil.

"Jadi besok kita cuman berempat, tapi kalo lu mau ngajakin temen lagi nggapapa, biar seru!" kata Dhimas.

"nanti biar gue ajak temen-temenku, kayaknya bakal banyak yang mau." jawabku sambil menghisap sebatang fana, Sssssttt fffhhh. "Besok sama orang mana?" tambahku bertanya.

"Sama orang Bantul, mereka yang ajakin gue muncak."

Aku hanya sedikit kaget, karena berbeda dengan kota tempatku tinggal,"Lhoh, anak organisasi forum di tempat lu juga?"

"nggak, tapi mereka juga ikut kaya pendidikan militer gitu di pramuka."

"Oh, saka. Cowok-cowok sangar pasti nih."

Setelah menyruput kopinya, Ia berkata,"Bukan, besok yang ngajakin kita ke Bismo itu cewek."

"Oh, anak kuliah pasti." jawabku sok tau, karena melihat Dimas yang usianya lebih dewasa dibandingkan denganku.

"Bukan juga, mereka masih kelas 12 kaya elu." katanya sambil menekan kata elu.

"Waduh." jawabku kaget, mungkin akan merasa belum terbiasa dengan mereka. Karena mereka anak-anak dari luar kotaku. Aku sendiri sebenarnya mudah beradaptasi dengan siapapun. Tapi, aku selalu membatasi diri karena takut, jika aku akan salah bergaul lagi seperti di masalalu. Kalau difikir-fikir lagi, mungkin nggak ada masalahnya. Secara kan mereka perempuan, dan mereka anak yang terdidik, pasti. "Eh.. Dim, Pingkan ajakin sana." pintaku sambil tertawa.

"Iyaaaa, ini lagi gue ajakin." katanya, sesekali ku tengok layar kacanya yang sedang saling kirim-mengirim pesan dengan Pingkan.

"Eh, Bambang! gasgasan." ucapku, tertawa dengan Yakuf. Dimas ini belum lama juga berkenalan dengan Pingkan. Aku rasa mereka berdua sedang menyimpan asmara di balik pendakian beberapa bulan kemarin, Ha ha.

Melakukan perjalanan menyusuri tempat dimana tidak ada toko, kita harus mempersiapkan apa yang seharusnya kita butuhkan. Dan aku mulai bertanya,"Besok yang kita bawa apa aja Dim?"

"Kita tinggal bawa alat yang perlu kita bawa?" katanya sambil cengar-cengir.

Karena gemas, aku mengetuk meja dengan kunci motor dan berkata,"Lha iya apa?"

"Aku udah punya tiga gas, tinggal tenda dan... Tunggu, gue ketikin aja."

"Ya udah, gue langsung buat grub aja." seketika itu aku buat grub mendaki bernama Mt.Bismo. Memasukan nomor Dimas, Pingkan, lalu aku ingat dengan salah seorang teman yang sebelumnya pernah bercerita, bahwa dia ingin ikut juga mendaki, yaitu, Herman."Masukin temenmu yang dari Bantul sekalian Dim."pintaku, Grub telah dibuat.

"Oke, Bentar."

Annisa Ap: Telah ditambah ke dalam grub.

"Udah, bentar lagi aku kirim list kebutuhan peralatan, logistik dan kebutuhan masing-masing perorang."aku mengangguk-angguk mengiyakannya, tak lama kemudian ada sebuah pesan.

Anisa Ap: Weewww

Anisa Ap: Hellooooo

Arvan Pratama: hellow

Herman Indra: Hai Hai!

Pingkan: Hello salam kenal🙌🏻

Peralatan Perorang :

- SB

- Mantol

- Matras

- Tas Carier

Logistik :

- Makanan ringan dan roti-rotian/coklat-coklatan

- Beras satu gelas/orang

- Indomie (bebas)

- Aqua perorang 2-3

-Obat-obatan pribadi

Estimasi Waktu:

Titik Kumpul Rombongan Gunungkidul di Pertigaan Sambi Pitu Patuk pukul 07:00

Titik kumpul rombongan bantul di Rumah @⁨Anisa Ap⁩ Pukul 08:30

08:30-13:00 OTW BC Silandak

13:00-13:30 istirahat

13:30-17:30 Pos 4 (camp area) kalau waktunya cukup

Mt. Bismo memiliki 4 pos, meliputi sebagai berikut :

Pos 1 kuwi Batas hutan

Pos 2 Hutan pakis (Shelter)

Pos 3 sigandul (Shelter)

Pos 4 camp area .

Pembagian Motor

1. Dhimas - Anisa

2. Herman - Pingkan

3. Arvan - Salma

Banyak hal tidak terduga, jadi kita menyesuaikan Kondisi di hari H besok

Segala persiapan harus disiapkan sejak dini. Kami semua tidak mau keteteran hingga hari H tiba. Terlebih jika ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Kami harus siap sedia di segala situasi dan kondisi, harus siap menangani apapun yang akan terjadi nanti. Nomor kontak masuk dalam ruang grub. Mungkin Dimas baru saja menyimpannya, karena dia juga baru kenal dengar anak yang satu ini.

Salma Putri: Telah ditambah ke dalam grub.

Dhimas Putra: @⁨Salma⁩ selamat datang dan salam kenal😉 saya dhimas dari Gunungkidul asli anak pesisir hhe.

Salma Putri: Iya kak salam kenal

Saya Salma dari bantul asli dari sentra wisata gerabah 😊

Dimas Putra: Siap siap besok tak sensus masalah gerabah yee wkwk😂

Salma Putri: Siap kak 😅

Dimas Putra: Nah tak jelasin sekalian mumpung dah masuk grub semua . Jadi yang iuran 30k itu untuk mengantisipasi keperluan" lain yang nggak terduga . Misalnya p3k, sewa jeligen/ misal lupa ngk bawa senter bisa untik sewa senter dllnya. Terus misal dana perorangan ada yg habis, waktu mau pulang kehabisan bensin, nah iurannya bisa untuk membantu beli bensin .

Kurang lebih seperti itu ya man teman .

Dimas Putra: Kalau ada yang mau tanya besok wae nk wes padang, wayahe turu tur lagi latihan . Tengkyu😁

Salma Putri: 👌🏻

Anisa Ap: Siap

Aku dan dua kawanku ini begitu menikmati suasana malam yang semakin larut. Berbagi video di youtube, menonton seorang musisi legendaris yaitu, Iwan Fals. Saat itu Dimas memutarkan lagu yang aku minta. Aku sangat kagum sekali dengan suaranya yang begitu khas. Dan seolah-olah bila umurnya bertambah semakin tua, suaranya semakin lebih memiliki karakter yang berbeda, sangat khas sekali.

Denting piano

kala jemari menari

Nada merambat pelan

di kesunyian malam saat datang rintik hujan,

bersama sebuah bayang

yang pernah terlupakan..

Hati kecil berbisik

untuk kembali padanya

seribu kata menggoda

seribu sesal di depan mata

seperti menjelma waktu aku tertawa

kala memberimu dosa..

ow, maafkanlah.. ow, maafkanlah..

Rasa sesal di dasar hati

diam tak mau pergi

Haruskah aku lari dari

kenyataan ini

Kami bertiga melantunkan lirik dengan seksama,"Pernah ku mencoba tuk sembunyi..

Namun senyumu tetap mengikuti." Tawa meliputi suasana kami bertiga

Di depan taman kuliner ini ada sebuah taman yang sedikit memberikan kenyamanan. Taman Kota. Lika-liku jalanan kecil yang berpencar ke setiap sudut. Hamparan rumput hijau yang disinari cahaya. Aku sudah bosan berada di sini, ingin sekali rasanya aku berjalan menyusuri jalanan kecil yang berada di taman. Perasaan bosan ini seperti terbaca oleh kawanku Yakuf,"Ayo ke TamKot?!" katanya mengajak kita.

"Mau ngapain?" kata Dimas

Seketika aku menyambar,"Iya ayok, jalan-jalan aja."

"Ya udahlah ayok, pulang juga mau ngapain." kata-kata dimas itu sering aku dengarkan ketika aku pergi bersama kawan-kawanku yang lain. Apakah orang-orang yang berkata seperti itu tidak pernah rindu akan keberadaan rumah? padahal rumah adalah tempat paling nyaman.

Tak lama kemudian, kami berjalan menuju Taman Kota yang terletak tepat berada di depan Taman Kuliner itu. Saat mulai memasuki wilayah taman, aku kaget dengan gapuro bambu-bambu yang tertata rapi. Sebagian dari bambu itu di anyam sedemikian eloknya, dan di atasnya besar tertulis, Festival Tanaman Hias. Oh, ternyata sedang ada festival. Aku masuk melewati gapuro tersebut. Terlihat dari kejauhan ada pohon-pohon kecil dengan rambut yang hijau berseri dengan batang tubuh yang indah. Namun, Ia belum berbunga kaya hatiku. Seumur hidup, baru kali ini aku menonton festival tanaman di kotaku. Aku tak begitu suka dengan tanaman, akan sangat melelahkan jika harus menghabiskan waktu untuk merawatnya. Namun, dari sekian jenis tanaman hias di tempat ini, berhasil membuat hatiku tercuri. Banyak tanaman yang bentuknya begitu kecil, tapi terlihat seperti miniatur pohon besar yang rindang. Di sini ada berpuluh-puluh bahkan ratusan tanaman yang mengikuti kontes tanaman.

Hari telah begitu malam, sudah sekitar jam 11 malam. Kami masih duduk bersantai di arena skateboard. Berbincang mengenai gunung, musik, forum, dan sebagainya. Melihat pohon kelapa di sekitar taman ini melambai-lambai. Udara malam semakin dingin di dalam suasana yang hangat ini. Kami bertiga bermimpi ke sebuah gunung elok, gunung tertinggi di Pulau jawa. Ya, itu adalah gunung Mahameru, atau biasa juga di sebut Semeru. Dengan ketinggian, 3.676 Mdpl. akan membuat membuat penasaran sejumlah pendaki yang belum pernah ke sana. Tentu, disana akan memiliki daya tarik yang menarik dari setiap tantangan dan segala rintangan yang ekstrim di sana. Keindahan yang terbayangkan di kepala kami, bebatuan terjal yang akan menyisipkan sebuah cerita dalam memori kami masing-masing. Tak lupa, ada ke indahan Danau Ranu kumbolo yang ada di atas gunung. Biasanya, para pendaki betah berlama-lama di sejuk heningnya tempat itu. Dimas telah melihat layar handphonennya dan berkata,"Eh, udah jam 12 tengah malem aja."

Aku langsung menyambar kata-kata itu,"Ayo pulang." dan berdiri dari tempat kami duduk. Waktu sudah semakin malam, tak mungkin kami akan terus berlama-lama di tempat ini. kami harus memeluk hangat sebuah kantuk di dalam kamar di sebuah rumah. Kami bertiga berjalan ke tempat parkir di pinggir jalan yang tampak begitu sepi. Hanya terlihat lampu jalan yang orange, remang-remang menyinari jalanan dan tubuh kami. Membincangan arah pulang di tengah tempat parkir yang sudah kosong akan pengunjung. Kami bertiga saling berpamitan dan pergi ke arah yang berbeda. Selamat malam, untuk kawan-kawanku sampai bertemu di penghujung waktu yang akan datang esok nanti.

Chương tiếp theo