webnovel

MASUK MULUT SINGA

Sepeninggal dia, manusia nggak ada otak satu itu, aku mengirimkan pesan ke Cici, buat kasih kabar ke orang-orang kantor, kalau aku telat karena kecelakaan di jalan. Syukur-syukur si pimpinan bengis ikut mendengar. 

[Ci, kasih tahu SDM, gue telat, kecelakaan, entar gue fotoin.]

Begitulah isi Whatsappku ke Cici. Kemudian, aku jepret-jepret lutut, yang celananya sampai sobek. Satu telapak tangan yang lecet, dan sepeda motor, yang bodynya juga lecet, kaca spion sebelah kanan patah, lampu belakang pecah. 

Kurang ajar! 

Aku gregetan sendiri. Perlahan kuhela nafas dalam-dalam, kemudian dikeluarkan pelan-pelan sambil beristighfar dalam hati. 

Lima menit kemudian, perasaanku pun sedikit tenang. Lalu, kucoba menghidupkan motor. Biasanya sekali starter bisa, ini malah seperti ngadat. Tak putus asa, kutegakkan dengan kaki standar dua, lalu mencoba mengengkolnya. 

Nggak hidup juga. 

Biawak sial! 

Dia nggak tanggung jawab banget sama cewek. Pengen nangis, tapi malu. Akhirnya aku cuma duduk di trotoar jalan, sambil berharap ada yang datang dengan senang hati membantu. 

Mau nelpon Aldo, pasti dia belum bangun. Hobinya kan begadang, katanya kalau malam hari, baru bisa kerja, inspirasinya dapet. 

Tak lama, memang seseorang datang dan berhenti nggak jauh dari tempatku duduk. 

"Kenapa motornya, Mbak?"

Udah tahu mogok, pakai nanya lagi. 

"Kena tabrak lari, Mas." 

Dongkol banget aku jawabnya. Ya udah, gimana lagi, memang begitulah perasaanku saat ini. 

Si Mas tadi langsung memeriksa motorku. Nggak lihat juga ekspresinya gimana, soalnya pake masker kan. Pandemi covid belum berakhir, jadi sebagai warga negara yang baik, kita harus ikuti himbauan pemerintah, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, yang telah ditetapkan. 

Aku nggak tahu, apa yang dia lakukan, tapi nggak lama, motorku memang hidup lagi. 

"Makasih ya, Mas." 

"Iya, Mbak sama-sama."

Dia pun pergi lebih dulu. Aku mencoba menurunkan motor perlahan, dan mulai melajukannya pelan. 

------------

Sesampainya di kantor, mereka heboh melihatku datang dengan kondisi acak kadut. Cici yang paling prihatin, karena dia yang paling dekat denganku. 

"Kenapa loe nggak pulang dulu? ganti celana kek." 

Aku tersenyum licik, "Mau pamer ke mereka, betapa militannya gue ke perusahaan ini. Mana si Bengis?"

Cici mengangkat bahu. "Belum keluar-keluar ruangan dari tadi."

Tak lama, terdengar suara pintu ruangan si Bengis terbuka. 

"Nada, kalau sakit-sakit lebih baik istirahat di rumah saja!"

Aku ternganga, niat busukku terpatahkan sudah. Bukannya mendapat appresiasi, ternyata tindakanku malah dapat teguran dari dia. 

"Saya tidak apa-apa, Pak."

Ngapain, sampai kantor malah pulang. 

"Kalau begitu, saya beri kamu waktu untuk belanja pakaian, terserah bagaimana caranya, nanti boleh klaim ke saya, ini bentuk kompensasi. Tidak ada karyawan yang ke kantor dengan celana sobek seperti itu, mirip gembel."

Setelah mengucapkan kata-kata nahas itu, ia kembali ke ruangannya. 

Terima kasih, Pak! Ucapannya tajem sekali, sampai ulu hati.

Aku meremas kertas-kertas laporan, yang kemaren telah kuprint, sebenarnya untuk dimasukkan ke dalam ruangannya, minta tanda tangan. Tapi nggak jadi, karena hati begitu sakit, sampai nggak tahu ke mana mau dilampiaskan. 

Tawa Cici dan yang lainnya terdengar ditahan. Aku menatap sekeliling.

"Puas ngetawain gue!"

Aku lalu bangkit, dan memanggil seorang pramu bakti di kantor. Minta tolong belikan celana kerja, dengan ukuran dan model yang sama, di tempat kubeli waktu itu. 

Tak lupa memberi dia uang, sekalian kunci motor.

"Nanti minta kwitansi ya, Mas."

Pramu niaga itu pun mengangguk. 

------------

Sesampainya di rumah, aku terkejut mendapati motor sialan, yang tadi menabrakku, terparkir mantap di luar pagar rumah. 

Aku turun dari motor, membuka pagar dengan kasar, dan tak sabar rasanya masuk ke dalam rumah. Benar kan, orangnya di sini. Kebetulan. 

"Hei, dasar biawak, nggak punya tanggung jawab. Motor gue hancur, tangan, kaki sama hidung gue lecet. Loe harus ganti rugi!"

Aku nggak peduli dengan keberadaan Ayah sama Ibu di ruang tamu, lagi ngobrol enak sama cowok bejat ini. 

Dia tampak terkejut. Dan langsung salah tingkah. 

"Nada! apa-apaan ini? pulang-pulang bukannya baca salam, malah teriak-teriak sama tamu Ayah, tidak sopan itu namanya."

"Ayah lihat ini." Aku mengangkat telapak tangan, "Ini." Kuturunkan masker, memperlihatkan hidungku yang lecet, "Dan motor Nada di luar sana. Kaca spion patah, lampu belakang pecah, bodynya juga lecet, itu semua karena dia! Udah nabrak, malah lari, nggak tanggung jawab banget jadi cowok!"

Kulihat wajah Ayah menegang, Ibu apalagi. 

"Aduh, saya minta maaf soal tadi pagi. Saya terburu-buru karena janji sama Pak Abdul. Bukan maksud melarikan diri. Saya akan ganti rugi semua kerusakkannya."

Cowok yang nggak bertanggung jawab itu akhirnya bersuara. Dia kembali melihat Ayah dengan tatapan yang sulit buat diartikan. 

"Saya minta maaf, Pak. Saya sama sekali tidak tahu, kalau kecelakaannya justru sama anak Pak Abdul."

Ayah seperti orang galau. Di satu sisi, ia cemas sama aku, di sisi lain, juga susah. Mau marah ke tamunya, nggak bisa. Prinsip Ayah dari dulu selalu memuliakan tamu, tanpa pandang bulu. 

"Gue nggak mau terima kata maaf lo ya, lihat sana motor gue di luar, bisa lo itung-itung sendiri kan taksiran ganti ruginya."

Aku kembali meracau, hati ini sangat sakit, benar-benar tak terperi.

"Sudah, Nad. Jangan kasar-kasar sama tamu."

Ibu berdiri menghampiriku, lalu mengajak untuk bicara sambil duduk. Aku nggak mau, sampai akhirnya pelototan mata Ayah, yang membuatku menurut.

"Ada urusan apa dia ke sini, Bu?" 

Nggak berani nanya ke Ayah. 

"Nak Alan ini tamu Ayah, Nad. Dia sudah banyak bantu di kantor Ayah. Masang komputer, dan instalasinya sekali."

"Oh tukang service komputer?"

Aku menatapnya meledek. Pantas ya, nggak berani tanggung jawab, mana ada duit buat ganti rugi. 

Alan! Emang dasar sialan! 

------------

Chương tiếp theo