webnovel

19 - Rasa Sakit

"Kau tidak tidur?" tanya Aida seraya menatap Lavy yang masih terduduk di atas sofa.

Lavy terkesiap, ia segera mengalihkan pandangan pada Aida. "Eungh … iya saya tidur."

"Cepat tidur atau besok kau akan kelelahan, jangan lupa besok kita masih ada pelajaran seni bela diri dengan pangeran Aadne," ujar Aida kemudian merubah posisi menjadi telentang.

Sedang sang empunya mendengus, ia lupa besok masih harus bertemu dengan pangeran menyebalkan itu. Seperti yang diperintahkan Aida ia beranjak menuju kasurnya, namun belum sampai tiga detik ia melangkah tiba-tiba perih mendera bagian lehernya dan panas menjalar keseluruh tubuh. Dengan segera Lavy berhenti, ia berusaha meraih benda apapun untuk dijadikan tumpuan agar tubuhnya tidak roboh begitu saja. Sedang tangan kirinya ia gunakan untuk menekan bagian yang terasa panas.

Netranya memejam, menahan rasa sakit sekeras yang ia bisa, Lavy menggigit bibir bawahnya agar tidak ada suara rintihan yang terdengar, hingga rasanya ia menggigit terlalu dalam dan membuat bibirnya mengeluarkan darah. Lavy sudah terduduk tepat di atas lantai, tubuhnya luruh saat semua tenaga ia habiskan untuk menahan perih yang datang.

Lavy meraup oksigen yang berada di dekatnya, dengan dada naik turun ia berhasil meredakan rasa sakit yang muncul. Untungnya tidak ada yang terbangun karena ulah Lavy barusan, ia masih menetralkan pernapasan sembari mengusap keringat di dahinya.

"Ahh bibirku perih, tadi itu benar-benar menyiksa, sakit sekali," batinnya sesekali menyentuh bibir bagian bawah yang sudah robek digenangi darah. Ia mengusap cairan merah yang keluar menggunakan sebuah kain. Sembari menghentikan aliran darah yang keluar ia melamun memikirkan tentang sakit yang muncul tiba-tiba.

"Ini terjadi sebelumnya saat aku masih ada di istana, tapi hari ini berbeda, bukannya kepala tetapi bagian leher yang sakit. Lavy asli jatuh dan kepalanya terbentur 'kan? Lalu kenapa malah leher yang menunjukkan efeknya?" batin Lavy bertanya-tanya.

"Aku sama sekali tidak mengerti, apa aku sungguh baik-baik saja?"

Tak mau memikirkan hal tersebut terlalu dalam, Lavy memilih merebahkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata. Nyatanya ia lebih suka tidur dengan kedamaian di sekeliling dibanding berkhayal akan dunia yang menyenangkan. Lavy mungkin tidak menyerah tapi apa yang terjadi barusan membuktikan memang ada yang salah dari tekadnya.

****

Mereka semua sudah berada di ruang latihan, namun Aadne masih belum tiba. Lavy sibuk berbincang dengan bangsawan lainnya selagi menunggu pangeran tersebut muncul. Sampai lelaki itu memasuki ruangan, suasana pun berubah menjadi tenang.

Latihan dimulai dengan semangat yang penuh dari para gadis bangsawan, tak terkecuali Lavy. Meski ia tak suka dengan Aadne dirinya tetap ingin bekerja keras, ia tak mau dianggap bodoh seperti sebelumnya. Hari ini Lavy akan mengerahkan seluruh energinya untuk memahami ilmu pedang lebih baik dari putri yang lain.

Hiattt!

Semuanya sibuk dengan latihan mereka, namun pandangan Aadne tidak lepas dari sosok Lavy, lelaki itu memperhatikan adiknya sedari tadi. Menyenangkan melihat Lavy bersemangat seperti hari ini hingga tanpa disangka ia mengulas senyum tipis. Beberapa jam berlalu dan kini sudah waktunya para murid beristirahat, dengan cepat Aadne membawa langkahnya menuju Lavy.

"Semangat sekali kau hari ini." Lavy bersikap tak peduli dan melanjutkan latihannya berdasarkan materi yang tadi ia pahami.

Aadne yang melihat tingkah Lavy menghela napas kasar lalu memijit pelipisnya perlahan. "Berhentilah sebentar, apa kau segigih itu?"

Lavy mendengus, ia menoleh menelisik wajah Aadne sembari menyatukan kedua alisnya kesal. "Iya, saya segigih itu."

"Ada apa dengan bibirmu?" tanya Aadne kala ia menangkap warna kemerahan pekat pada bibir Lavy.

"Aku tidak sengaja menggigitnya," tukas Lavy lalu mengalihkan pandangan.

"Kurasa tidak seperti itu, ada yang memukulmu?" Tentu saja Aadne tidak percaya dengan perkataan yang dilontarkan oleh Lavy sebab luka itu terlalu dalam jika hanya disebabkan oleh ketidaksengajaan.

Lavy membulatkan matanya sempurna saat dugaan Aadne masuk ke telinganya, ia dengan cepat kembali menoleh kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, ini sungguh karena gigitan."

"Sengaja?" sahut Aadne, kini nada suaranya memberat membuat Lavy merinding beberapa saat, Aadne lebih mirip seperti sang ayah sekarang.

"Tidak."

"Sengaja."

"Tidak!" bantah Lavy yang semakin tersulut emosi.

"Sengaja."

"Iya!" Pada akhirnya ia terpaksa berkata jujur, sebab desakan dari Aadne yang tak mampu ia bantah lagi.

"Kenapa?" Lavy diam, tak mampu berkutik. Aadne benar-benar sedang tidak bercanda jika dilihat dari ekspresi wajahnya. Lavy memilih membuang pandangannya ke arah lain tak berani beradu pandang dengan manik sang pangeran.

Aadne benar-benar tidak mengerti apa yang disembunyikan oleh gadis yang satu ini, ia hanya bertanya dan Lavy justru bungkam. "Ku tanya kenapa kau sengaja melakukannya?"

"Karena … saya tidak tahu," lirih Lavy masih tidak berani menatap balik netra Aadne.

"Sudah kau obati?" tanya Aadne.

"Sudah."

"Hmm." Aadne mengangguk paham kemudian meninggalkan Lavy sendirian di dalam ruangan.

"Dia itu sebenarnya peduli atau tidak sih? Sia-sia aku gugup tadi," gerutunya melempar pedang kayu yang sedari tadi ia genggam.

****

Semua siswa kembali ke ruangan untuk melanjutkan pelajaran bela diri yang belum usai, jujur saja Lavy tidak keluar sejak Aadne meninggalkannya sendiri tadi. Pangeran satu itu sibuk memulai pelajaran dan membantu siswa lain dalam pendalaman materi. Sedangkan Lavy sendiri juga sibuk mendengarkan instruksi dari profesor yang mengajar bersama Aadne.

"Shh-" Lavy mengernyit kala tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri, ia berhenti menggerakkan tangannya dan berhasil mencuri atensi sang profesor.

"Putri Lavy! Perhatikan gerakanmu!"

"Maaf, saya tidak fokus,” ujarnya dengan nada yang semakin menyendu.

Belum sampai ia menarik kembali pedang kayu itu rasa sakit kemarin malam muncul lagi, kini rasanya lebih menyiksa karena datang bersamaan dengan pening yang menyerang. Lavy merasa kepalanya seperti dihantam batu besar dan lehernya dicekik oleh seseorang. Sensasi panas, nyeri, juga denyutan yang tak henti membuat Lavy berhasil luruh. Ia tak sanggup lagi menahan seperti yang ia lakukan kemarin malam, Lavy benar-benar kehilangan seluruh tenaganya sekarang.

"Putri Lavy!" teriak Heera kala ia melihat gadis itu nampak kesakitan, kebetulan sedari tadi dirinya juga memperhatikan gerak-gerik Lavy.

Para siswa yang melihat kejadian itu seketika ribut, tak terkecuali Aadne yang juga mendengar teriakan Heera. Ia segera beranjak dari posisinya sekarang dan menerjang kerumunan siswa agar sampai pada sosok Lavy yang kini tengah merintih kesakitan.

"Lavy!"