webnovel

Menteri Aran

Hiruk pikuk pasar kerajaan tampak jelas ketika Cleo berhasil menginjakkan kaki di tempat itu. Meski dia sudah berulang kali menyambangi lokasi ramai ini, nyatanya, Cleo masih tidak terbiasa dengan tatapan orang-orang kepadanya. Namun sekarang, setidaknya Cleo harus merasa bersyukur mengingat bukan hanya dirinya yang menjadi pusat perhatian. Melainkan satu sosok tinggi yang berjalan pelan di belakangnya. Tentu saja, dia adalah Lucio.

Semenjak turun gunung dan melewati beberapa desa penghasil gandum, pria itu sudah menjadi pusat perhatian dan buah bibir. Andai saja kebutuhan mereka bisa didapatkan di desa perbatasan, Cleo tentunya tidak akan sampai ke pasar kerajaan.

"Sepertinya kamu benar-benar menjadi idola sekarang." Cleo melangkah lebih pelan. Dia menunggu hingga Lucio berjalan sejajar dengannya dan mengatakan kalimat tersebut. Sementara itu, Cleo melirik sekitar. Setidaknya hampir semua gadis-gadis muda mencuri pandang ke arah Lucio. Huh! Mereka tidak tahu saja seperti apa sikap pria itu. "Lihat, sekarang kamu punya banyak penggemar," ejeknya.

Lucio tidak menanggapi. Dia berjalan dengan tenang seolah ucapan gadis di sebelahnya sama sekali tidak membuatnya terusik.

Cleo mendengkus. Pengabaian yang dilakukan Lucio kepadanya benar-benar membuatnya kesal. Dengan begitu dia berjalan lebih cepat dan meninggalkan Lucio.

"Pria es tidak pantas hidup!" maki Cleo. Sampai akhirnya gadis itu berhenti ketika melihat stand penjual apel. Seharusnya mereka hanya boleh membeli bahan dapur saja. Tapi melihat bagaimana buah kesukaannya berjejer rapi di atas rak kayu, mau tidak mau Cleo berhenti berjalan hanya untuk melihat-lihat.

"Ah, si Gadis Merah," suara bariton itu berasal sari pria gemuk dengan kepala botak di depan. Dia berdiri dengan senyum sumringah ketika melihat Cleo hendak menyentuh satu buah apel merah miliknya. "Murah saja, satu apel itu seharga 3 Tal," ucapnya enteng.

Cleo melotot sementara apel di tangannya terlempar begitu saja. Beruntung buah itu mendarat kembali di tempat semula. "Murah dari mana, aku pernah membeli apel di pinggiran desa dengan harga 1 Tal per kilo," terang Cleo tidak terima.

Si penjual berdecak. Tangan besarnya kemudian bergerak meraih buah yang sama lalu mengelusnya di depan Cleo. "Hei, Nak, buah ini bukan buah murahan yang ada di pinggiran desa. Buah ini berasal dari kebun kerajaan." Dia mencela, "Huh! Bilang saja kalau kamu tidak punya uang."

"Yang benar saja! Aku punya—"

"Dia tidak punya uang." Sekali lagi Cleo melebarkan mata. Lucio sudah berdiri di sebelahnya dan mengatakan sesuatu yang amat memalukan.

Kini, Cleo melotot ke arah Lucio. "Aku punya! Lagipula, harga apel ini yang tidak masuk akal," ujarnya.

Lucio menghela napas. Dia harus sedikit sabar bila berhadapan dengan gadis keras kepala seperti Cleo. "Uang itu akan kita gunakan untuk membeli gandum. Itu tidak akan cukup bila kamu memaksakan diri untuk membeli hal lain."

Cleo tidak terima dan gadis itu masih saja membuat alasan. Tetapi bahkan sebelum Cleo membuka mulut dan mengeluarkan makiannya kepada Lucio, sebuah suara lain sudah lebih dulu mendahuluinya. Tetapi itu bukan miliki Lucio.

"Seharusnya, apel yang dihasilkan dari kebun kerajaan tidak boleh keluar dari kerajaan, karena buah itu hanya diperuntukkan untuk keluarga kerajaan." Cleo berbalik cepat ke arah belakang. Di sana, ada seorang pria baya dengan pakaian sutra mengkilap. Menunggangi seekor kuda jantan berwarna hitam didampingi senyum ramah yang menyihir jiwa. Ketika tatapan Cleo dan pria baya itu bertemu, si pria tiba-tiba berkata dengan tawa kecil, "Nak, kamu benar, harga buah ini tidak masuk akal. Belum lagi, dia memalsukan identitas buah yang berasal dari kebun kerajaan."

Kedua manik Cleo berbinar. Tanpa di duga gadis itu balas tersenyum ke arah si pria berkuda. Namun senyum itu segera memudar begitu mendapati semua warga di tempat ini justru menundukkan kepala. Bahkan, Cleo baru saja menyadari bahwa di belakang pria itu ada sekumpulan pria berkuda lainnya. Tampaknya mereka adalah seorang pengawal.

"Hei, Nak! Tundukkan pandanganmu!" Cleo tersentak ketika salah seorang dari pria berkuda maju dan menghunuskan panah ke arahnya sembari berteriak.

Apa yang terjadi? pikir Cleo, dia sungguh tidak mengerti situasi.

Tetapi ketika gadis itu melirik ke arah Lucio, pria itu juga tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang lain. Lucio tidak menundukkan pandangan. Sebaliknya, sorot matanya yang dingin tidak lepas memaku pria baya yang duduk nyaman di atas kudanya. Sosok itu satu-satunya yang mengenakan jubah hijau dengan lambang elang di dadanya.

Tunggu! Lambang elang?

Cleo melebarkan mata. Sekarang dia mengerti mengapa semua orang menundukkan pandangan. Tentu saja karena pria di depan ini adalah pemilik lambang elang. Sebuah lambang penanda empat menteri kerjaan Naserin.

Barulah Cleo menundukkan pandangan dengan buru-buru. Tidak ketinggalan, dia memaksa Lucio melakukan hal serupa. Namun sialnya pria itu sama sekali tidak ingin menurut.

Dia bahkan menatap langsung ke arah menteri tersebut.

Apa-apaan dia ini? Tampaknya, Lucio benar-benar ingin mati.

"Tundukkan pandanganmu," Cleo berbisik ke arah Lucio.

Tetapi sekali lagi, gadis itu tidak bisa menahan diri untuk menampilkan wajah syok saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Lucio setelahnya.

"Aku tidak tunduk kepada siapapun selain Mr. Rolleen," katanya santai.

"Hah?!" Cleo terperangah.

Sementara anehnya, si menteri kerajaan justru terbahak keras. Sebaliknya dia tersenyum ke arah Lucio yang masih tidak membuang tatapan datarnya.

"Berani sekali kamu! Seharusnya kamu tunduk kepada menteri Aran!"

"Berhenti, Simon, jangan terlalu berlebihan." Menteri dengan nama Aran itu menahan pedang yang sudah dilayangkan ke arah leher Lucio. Sebaliknya, Aran lagi-lagi tersenyum sembari berkata, "jangan menakuti anak-anak," ujarnya saat menatap Cleo.

Cleo pikir dirinya mungkin akan suka dengan Aran bila pria itu tidak mengatainya anak-anak. Entah mengapa Cleo cukup sensitif ketika dikatai demikian oleh orang lain. Mungkinkah tubuhnya terlalu mungil sehingga orang-orang melihatnya sebagai bocah. Namun jika dia mengamati sekeliling, Cleo bisa mendapati ada cukup banyak gadis-gadis muda yang berpostur serupa dengannya.

Lalu mengapa hanya dirinya yang kerap dikatai?

Ini menyebalkan!

"Aku bukan anak-anak," gumam Cleo.

Aran terkekeh. Meski Cleo bersuara kecil, tetapi dia dapat mendengarnya dari jarak mereka sekarang. Sampai kemudian, Aran melirik ke arah si penjual apel dan berkata, "Aku harap kamu tidak menipu pembeli lagi. Kali ini aku akan memaafkan kesalahanmu. Namun jika aku mendengar hal seperti ini masih terjadi di tokomu, maka kerajaan tidak akan berbaik hati."

Dengan cepat pria botak itu bersujud dan memohon pengampunan sekaligus rasa terima kasih.

"Kalua begitu, berikan gadis ini dua kantung apel. Jangan khawatir sebab aku yang akan membayarnya."

Cleo berbinar. "Wah, terima kasih Tuan." Gadis itu bahkan tidak mengindahkan bagaimana tatapan Lucio saat melihat tingkahnya. Cleo tidak peduli selama dia mendapatkan apelnya.

"Kalau begitu aku harus pergi," ujar sang menteri. Begitu tatapannya beralih ke arah Lucio, siapa yang tahu di mengangguk sedikit sebelum kemudian menghentak kudanya dengan keras. Iring-iringan pengawal yang mengawal pun ikut pergi. Debu berterbangan menghantarkan mereka menjauh. Sementara itu, pasar kembali berjalan seperti semestinya.

Detik berikutnya Lucio beralih ke arah Cleo dan menyeret gadis itu untuk ikut beranjak. Kendati Cleo berusaha berontak, namun tampaknya Lucio tidak akan melepaskannya. Sepetinya suasana hati pria itu amat buruk sekarang. Cleo tidak tahu apa yang membuatnya sempai seperti itu, padahal dia yakin sebelum bertemu dengan Aran, Lucio baik-baik saja.

Cleo menghela napas.

Nyatanya, dia tidak benar-benar tahu apa yang ada dipikiran pria itu. Toh, Cleo juga tidak ingin tahu.