webnovel

Dua Orang Asing

Sepanjang jalan menuju pondok, cleo tidak berhasil menangani dirinya sendiri hingga berakhir menangis tanpa tahu kata berhenti. Gadis itu meraung, mencakar, dan bahkan sesekali memukuli dada bidang Lucio yang hanya bisa terdiam tanpa mencoba menyela. Lucio terdiam tanpa kata dan hanya membiarkan.

Lucio sama sekali tidak bisa menemukan sebaris kalimat untuk menanggapi semua keluh kesah Cleo yang terus saja berontak dan memaki dirinya sebagai pria jahat yang tidak punya perasaan. Ya, setelah mendengar bagaimana Cleo menahan sakit karena nyeri haidnya sementara Lucio datang dengan kemarahan, lantas membentak gadis itu tanpa mencoba menanyakan keadaannya, mau tidak mau Lucio harus sadar bahwa dirinya memang patut disalahnkan.

"Aku sungguh tidak akan pernah menikah dengan pria kasar dan tidak pengertian sepertimu," seru Cleo tiba-tiba. Tangan gadis itu masih sibuk mencakar bahu Lucio sementara wajahnya meringis menahan sakit. Sebentar-sebentar dia akan kembali menangis dan membuat Lucio menghela napas.

Huh! Mengapa dia harus mengurus bayi besar yang cengeng, pikir Lucio.

Sementara dari sini, Lucio sudah bisa melihat kepulan asap dari cerobong pondok. Kemungkinan Mr. Rolleen sedang memasak sekarang. Pilihan tepat mengingat hari sudah gelap, belum lagi kondisi Cloe yang menyedihkan. Mungkin pula gadis itu belum sempat mengisi perut dengan apapun sejak tadi selain satu gigitan apel yang Lucio lihat sebelumnya. Buah itu tergeletak tidak berdaya di sebelah Cloe yang sedang meringkuk, mirip ulat bulu.

"Sebaiknya kamu diam atau perutmu akan semakin sakit," sahut Lucio dengan suara terlalu pelan. Lucio tidak pernah berpikir bahwa dia akan mengatakan sebuah kalimat dengan suara serendah itu. Namun Lucio tahu bahwa tampaknya dia telah melakukan hal yang tepat, mengingat tampaknya Cleo cukup sensitif mendengar suaranya yang keras belakang ini. Entah kenapa?

Cleo mencebikkan bibir dengan wajah masam bercampur ringisan. "Kamu tidak tahu apapun tentangku, apa yang aku rasakan, atau bahkan apa yang aku inginkan. Jadi jangan mencoba mengaturku seperti itu. Aku ingin diam atau tidak, itu sepenuhnya adalah urusanku." Nada suara gadis itu terdengar sangat sinis, sementara Lucio merasa tertegun untuk sejenak. Egois, pikir Lucio. "Kalau kamu memang keberatan, tidak perlu menggendongku seperti ini, tinggalkan saja aku sama seperti yang kamu lakukan sebelum-sebelumnya."

Tetapi pada akhirnya Cloe nyaris terpana saat mendengar balasan Lucio, "Kamu yakin? Kalau begitu apa kamu akan bertahan jika aku menurunkanmu sekarang dan meninggalkanmu? Jangan salah paham, aku juga tidak keberatan meninggalkanmu lagi." Lucio tampak jengah ketika menambahkan, "aku sudah berusaha untuk diam dan menahan diri. Tetapi tampaknya kamu tidak melihat usahaku dan justru menyulut kekesalanku."

Cleo terdiam sejenak. Rasanya dia ingin mencabik Lucio dengan segala kekuatannya, tetapi dia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa mengingat bagaimana diapun harus bergumul dengan nyeri perutnya.

Dengan suara kecil, Cleo berkata, "Turunkan aku," gadis itu memalingkan wajah, tak sanggup menatap Lucio. Tetapi di satu sisi, Lucio berhenti melangkah dan hanya membisu sembari masih menggendong Cleo yang kini terdiam di dalam dekapannya. "Sepertinya aku tidak perlu bantuanmu lagi. Mulai sekarang aku tidak peduli kamu ada di pondok ini atau tidak, tetapi yang aku tahu bahwa aku hanya perlu menganggapmu tidak ada. Kita tidak perlu saling menegur dan aku berjanji tidak akan membuat masalah denganmu."

Cleo seolah tercekat begitu meneguk ludahnya sendiri. Entahlah, dia sama sekali tidak berpikir bahwa keputusannya kali ini adalah yang terbaik. Namun di satu sisi, Cleo merasa bahwa apa yang dia lakukan kemungkinan tidak akan dia sesesali. Mungkin sudah lebih baik bila mereka tidak saling berbicara seolah mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.

Tetapi kemudian, helaan napas Lucio terdengar sementara Cloe memejamkan mata menanti balasan pria itu kepadanya. Dan benar saja, seperti yang Cleo inginkan, Lucio benar-benar menurunkan dan menyandarkan tubuh gadis itu di batang pohon. Cloe tidak berani mendongak sementara Lucio masih menjulang di hadapannya. Sudah pasti pria itu sedang menatapnya, tetapi entah mengapa dalam waktu dekat Lucio tidak kunjung mengucapkan satu kata.

"Baiklah kalau begitu," ujar Lucio sesaat kemudian. "Tetapi jika suatu saat Mr. Rolleen memintaku untuk menikahimu maka aku tidak akan menolak dan kamu tahu alasan di balik itu. Tenang saja sebab kita masih bisa bersikap seperti orang asing bahkan jika status kita telah berubah." Usai berkata demikian, sialnya, Lucio benar-benar meninggalkan Cleo. Menyisakan gadis itu dengan remangnya cahaya sore yang menyusup masuk di balik dedaunan rimbun pegunungan.

Keadaan berubah sunyi, sementara Cloe hanya terdiam dengan tatapan kosong meski sesekali dia berusaha menahan ringisan lolos dari dalam mulutnya.

Memastikan bahwa Lucio telah jauh meninggalkannya, tidak buang waktu Cloe kembali terisak tersedu. Dia bahkan meremas tanah dengan kuat. Cloe tidak mengerti mengapa hatinya begitu terasa tercabik. Sebenarnya apa yang dia inginkan? Mungkinkah bukan ini yang dia mau? Tapi apa?

Sembari terisak dalam pilu, Cloe menghunus arah di mana Lucio telah melangkah pergi dengan desis tajam, "Aku sungguh membenci pria itu."

***

"Kamu datang sendiri?" Pandangan Mr. Rolleen mengedar, mencari keberadaan Cleo yang mungkin saja sedang bersembunyi di balik punggung Lucio. Sayangnya dia tidak menemukannya. "Di mana Cloe?"

Cukup lama Lucio terdiam, sampai akhirnya dia memilih menarik napas dan menatap Mr. Rolleen dengan wajah muram. "Aku tidak menemukannya," katanya. Mendadak raut wajah Mr. Rolleen tampak ikut berubah. Manik pria tua itu sedikit melebar sebelum kemudian dia mengembalikannya dalam keadaan normal.

Mr. Rolleen berkata dengan suara datar, "Aku mengerti, kalau begitu masuklah dan aku yang akan mencarinya."

Lucio belum sempat mengatakan apapun sebab detik itu juga Mr. Rolleen telah melangkah keluar pondok dan berjalan menuju hutan. Lucio menunduk, dia sungguh tidak bisa tenang.

Sementara itu, Mr. Rolleen segera berlari begitu dia melangkah memasuki hutan pegunungan Reen dan menemukan sosok Cloe yang sedang terbaring di atas tanah, di bawah pohon. Tempat ini bukan lokasi terakhir di mana Lucio meletakkan gadis itu. Ada kemungkinan, Cleo memaksakan dirinya hingga menyeret tubuh hingga ke tempat ini.

"Oh tidak, Cleo!! Apa yang terjadi padamu, Nak!"

Wajah Mr. Rolleen bahkan sudah jauh lebih pucat dibanding milik Cloe sekarang. Tanpa membuang waktu, tangan pria itu terulur dan meraih tubuh Cleo yang sudah mendingin. "Astaga, kamu kedinginan?"

Di antara sisa kesadarannya, Cleo mencoba membuka mata dan berhasil menunjukkan satu garis senyum hangat untuk menyambut Mr. Rolleen. Sementara pria tua itu meringis lantas terisak sembari membawa Cleo ke dalam pelukannya.

"Oh, maafkan aku," sesalnya.

Cleo tersenyum. "Mengapa kamu harus meminta maaf, aku baik-baik saja selama kamu mau membuatkanku ramuan untuk mengurangi rasa nyeri ini," ujar Cleo parau. Meski begitu, Mr. Rolleen cukup kagum gadis itu mampu berkata sepanjang itu di samping kondisinya yang tidak baik-baik saja.

Tetapi anehnya, balasan Mr. Rolleen setelahnya justru membuat Cleo mengernyit kebingungan.

"Kamu tidak sakit karena nyeri bulananmu, melainkan karena hatimu."

Tetapi bahkan sebelum Cleo berhasil menanyakan maksud dari perkataan Mr. Rolleen, gadis itu sudah lebih dulu tidak sadarkan diri. Dia ambruk tepat di dalam pelukan Mr. Rolleen yang sedang menitikkan air mata.

"Oh, gadis yang malang."