webnovel

Mari Berteman

Langkah-langkah dari sepatu kecil yang beriringan berbaris ke belakang, tampak mulai mendesak ke depan, mendorong kaki-kaki kecil di depannya, agar bisa mendekat ke sesuatu di depan mereka yang terlihat menggugah rasa ingin tahu. Kaki-kaki itu tidak sabar ingin menemukan jawaban dari rasa penasaran yang membuncah di kepala kecil mereka.

Anak-anak keturunan dewa yang berdiri di paling belakang, dan kurang beruntung karena tidak mampu menerobos tubuh teman-temannya, menjinjitkan kaki kecil mereka, mencoba bertahan dalam posisi itu sambil memanjangkan leher, mendongak ke arah hewan kecil berbulu abu-abu dengan telinga yang panjang. Hewan itu tampak mengkerut ketakutan saat melihat gerombolan anak-anak yang menggunakan jubah berwarna hitam pekat dan kulit putih pucat di depannya.

Berbeda dengan teman-temannya yang begitu ingin tahu, seorang anak perempuan mendekap bukunya ke depan dada, mengetatkan kedua lengannya seperti khawatir buku tebal itu akan jatuh dan rusak,  menatap teman-temannya yang saling berdesakan dengan mata lebarnya yang polos dan menawan. Gadis cilik itu menggigit bibirnya, menahan rasa gugup sekaligus takut karena tahu apa yang akan mereka pelajari saat ini.

Seorang pria paruh baya berwajah dingin tanpa ekspresi, mencengkram telinga anak kelinci malang itu, menariknya ke atas, memudahkan murid-muridnya untuk melihat, dan mengarahkan tangannya yang menggenggam kencang telinga anak kelinci itu ke depan gerombolan para muridnya.

"Ada yang tahu siapa nama kelinci ini?" tanya sang guru dengan suara bergetar dan serak karena pita suaranya yang sudah di makan usia. Semua kepala muridnya saling menoleh, berbisik-bisik menebak jawaban dari pertanyaan gurunya. Guru tua itu dengan sabarnya menunggu murid-muridnya saling berdiskusi, tidak menginterupsi, atau pun memberi petunjuk kepada murid-muridnya.

Gadis yang berdiri di paling belakang itu, mengangkat telapak tangannya dengan ragu dan gemetar di seluruh tubuhnya, kepalanya menunduk dalam seakan berusaha menyembunyikan wajahnya dari orang-orang di sekitarnya. Alis putih guru tua itu terangkat menunjukkan rasa tertarik yang kental terhadap anak gadis yang malu-malu tersebut.

"Chara? Kau ingin menjawabnya?" Suara khas kebapakan yang diucapkan oleh Rown menembus indera pendengaran Chara yang tertutupi oleh rambut panjang lurus dan menjuntai indah di sisi kepalanya. Semua kepala teman-temannya langsung menoleh ke belakang, di mana Chara berdiri sendiri, dengan tangan gemetar terangkat ke atas. Gadis cilik itu mengangguk patah-patah, berusaha menekan rasa malunya diperhatikan intens oleh teman-temannya. Perlahan tangannya turun, wajahnya terangkat, dan dia menatap takut-takut ke arah Rown.

"Nama kelinci itu... Das, Rown," jawab Chara dengan suara lirih, nyaris tidak terdengar, tapi masih mampu ditangkap oleh gendang telinga Rown yang tajam karena ditempa oleh waktu, hingga suara selirih apapun bisa terdengar olehnya guna memudahkan tugasnya dalam mencabut nyawa mahluk hidup di Bumi.

Bibir keriput Rown terkulum ke dalam, tersenyum tipis mendengar jawaban Chara. Kepalanya mengangguk membenarkan jawaban Chara. Alisnya terangkat penuh rasa senang, maniknya menatapkan bangga ke arah Chara sebelum beralih menatap lembut ke arah murid-murid lainnya.

"Benar sekali. Nama kelinci kecil ini adalah Das." Tangan tua itu memangku tubuh Das ke atas tangan sebelahnya, dan mendekatkan wajahnya ke kelinci yang takut itu. Das semakin ketakutan saat manik tajam milik Rown mengamatinya dengan tajam dan dingin, tubuhnya meringkuk di atas pangkuan tangan Rown, dan berusaha melindungi diri dengan mendekap dadanya dengan tangan kecil berbulunya.

"Dari mana dia tahu, Rown?" tanya seorang anak laki-laki dengan nada polos dan keingintahuan yang tidak ditutupi. Rown kembali memalingkan wajah dan tersenyum hangat, maniknya beralih ke arah Chara yang kembali memeluk dirinya sendiri, memisahkan diri di belakang gerombolan.

"Bisa kau jawab pertanyaa Noel, Chara? Dari mana kau mengetahuinya?" Pertanyaan Noel diulangi oleh Rown, sedangkan yang ditujuk kembali mengangkat kepalanya perlahan, maniknya menatap wajah-wajah penasaran temannya. Ia meneguk salivanya kasar untuk mengendalikan nadanya yang gemetar saat menjawab.

"Aku tahu dari daun yang gugur di Pohon Morti. Daun itu tadi terbang dan jatuh tepat di atas kepalaku. Lalu aku teringat tentang Bab Mencabut Nyawa." Chara menghentikan jawabannya, kengerian terbias di kedua manik lebarnya, bibirnya bergetar, telapak tangannya sudah basah oleh keringat dan dingin saat meneruskan jawabannya, "Di bab itu dikatakan bahwa apabila daun kering Pohon Morti gugur dan tertulis sebuah nama dengan tinta hitam, itu... itu berarti ada satu nyawa yang harus dipanen. Di daun itu juga tertera mahluk jenis apa yang harus dipanen nyawanya, berapa usianya, jenis kelamin, dan penyebab kematiannya. Karenanya... aku tahu bahwa kelinci kecil itu bernama Das." Susah payah Chara menjelaskan setiap kalimatnya, merangkainya sedemikian rupa supaya dipahami oleh teman-teman beserta gurunya, dan juga supaya ia tidak diminta mengulangi penjelasan seperti tempo hari saat mereka belajar di kelas.

Semua pasang mata polos itu melebar takjub dengan penjelasan rinci dari Chara dengan mulut terbuka setengah membentuk huruf O. Beberapa bahkan menepuk tangan pelan atas jawaban Chara. Chara memang dikenal pintar dan berbakat di kelas mereka, ia sering memperoleh nilai tertinggi dan menjadi juara kelas, ditambah lagi wajahnya yang cantik dan menggemaskan, membuat teman-temannya menganggumi sosok Chara.

"Kau benar, Chara. Dan sekarang, karena kau yang kebetulan melihat nama Das di daun itu, maka kau yang harus memanen nyawanya," seru Rown dengan wajah penuh rasa bangga terhadap Chara. Kepalanya mengangguk memberi isyarat pada Chara agar maju dan segera memanen nyawa kelinci kecil yang sedang bernasib sial itu. Kedua manik Chara melebar terkejut antara takut dan tidak menyangka bahwa ia harus memanen nyawa.

Kedua kaki kecil Chara yang dibalut sepatu kulit hitam dan kaos kaki berwarna senada, melangkah perlahan ke depan, lututnya bergerak naik turun menahan gemetar di setiap sendinya. Rown menyerahkan Das pada Chara yang diterima dengan tangan kecil Chara yang masih berkeringat. Chara menatap manik tajam Rown meski sudah paruh baya, bibirnya menipis menahan tangis karena tidak siap diberi tugas seberat itu.

Mata berbingkai bulu mata lentik itu beralih mengamati 'buahnya' yang siap dipanen. Kedua pasang manik yang sama-sama lebar itu saling bertumbuk dengan tatapan yang memiliki arti sama, sama-sama ketakutan dan ngeri, yang satu takut harus memanen, dan yang lainnya takut dipanen.

"Tunggu apa lagi, Chara? Kau harus segera melakukannya," desak Rown yang mulai kehilangan sedikit kesabaran melihat interaksi Chara dengan kelinci malang itu. Rown menyipitkan kedua matanya tajam saat kembali mendesak Chara untuk segera memanen nyawa yang menjadi tugas pertamanya sebagai salah satu calon Dewi Pemanen.

"Cepat panen Das, Chara. Kau tentu tahu bukan caranya memanen?" Pertanyaan yang dilontarkan dari bibir berkedut Rown begitu menusuk ke dalam dada Chara.

Tentu Chara tahu caranya memanen. Ia hanya perlu menggenggam salah satu bagian tubuh dari 'buahnya', meletakkan jari telunjuknya di pelipis mahluk hidup tersebut, menggerakannya ke depan secara perlahan hingga benang putih tipis bercahaya keluar mengikuti gerakan jemarinya dari pelipis tersebut, lalu menempatkan benang tipis itu yang merupakan nyawa mahluk hidup yang sudah tercabut dari tubuhnya dalam sebuah tabung kecil bening sebelum dilepaskan ke Dunia Bawah, Lembah Kematian untuk mendapatkan tempat yang tepat bagi setiap nyawa.

Dan dalam proses pemanenan tersebut, Dewa-Dewi Pemanen diperbolehkan mengubah wajah mereka menjadi menakutkan atau menyenangkan untuk dipandang saat mencabut nyawa mahluk hidup, sesuai dengan kebaikan yang dilakukan oleh mahluk hidup itu selama ia hidup di dunia. Satu hal yang harus selalu diingat oleh para Pemanen Nyawa, mereka tidak boleh menggunakan perasaan iba atau prihatin saat melakukan kewajiban mereka, karena itu akan menghambat dan memperlambat tugas mereka. Hal itulah yang saat ini tertangkap oleh manik Rown ketika melihat bias cahaya di mata Chara, rasa iba pada mahluk kecil di genggamannya.

Chara menoleh ragu ke arah Rown yang wajahnya mulai memerah menahan kesabaran, "Aku... aku tidak bisa, Rown. Mahluk ini terlalu kecil dan tidak bersalah. Aku... tidak mau melakukannya," suara Chara terbata-bata saat mengutarakannya.

Rown mendekat ke arah Chara dan menempatkan dirinya sendiri di belakang Chara, "Kau tidak boleh menggunakan hati dalam menjalankan tugasmu, Chara. Sebagai Dewi Pemanen, kau harus berhati dingin saat mencabut nyawa mahluk hidup. Cepat lakukanlah." Bibir Rown menipis, tatapannya menusuk ke belakang kepala Chara hingga membuatnya bergidik ngeri, mengantarkan suasana mencekam yang membuat dirinya ketakutan.

"Das tidak bersalah, Rown. Dia terlalu kecil untuk mati," bantah Chara dengan mata berkaca-kaca, begitu pula Das yang seperti mengerti ucapan Chara.

Dengan kesabaran yang sudah habis, Rown mengambil alih Das ke tangannya, mengarahkan jari telunjuknya ke pelipis hewan itu, dengan secepat kilat benang tipis keluar dari pelipis Das, meninggalkan tatapan mata kosong terbuka tanpa cahaya.

Suara memekik tertahan lolos dari bibir mungil Chara. Ia membekap mulutnya dengan kedua tangan, berusaha agar tidak histeris melihat apa yang baru saja terjadi di depan kedua matanya.

"Kau tidak akan menjadi Dewi Pemanen yang bisa diandalkan jika caramu bekerja seperti itu, Chara." Suara dingin Rown membuat tubuh Chara membeku.

***

"Kau tahu bagaimana cara menghidupkannya, Sirius?"

Suara itu berbisik ke telinga Sirius yang sedang mengamati seekor burung merpati yang mati terkapar di atas tanah karena tanpa sengaja menabrak kaca jendela kelas Sirius. Dahi Sirius berkerut dalam mendengar ucapan dari Khun, teman baiknya. Dia lalu mendongakan dagunya penuh arogansi sambil menepuk dadanya, sepasang matanya menatap sombong ke arah Khun.

"Tentu saja. Aku adalah salah satu Dewa Penanam. Sudah menjadi tugasku untuk menghidupkan kembali mahluk hidup yang memang berhak untuk dihidupkan. Baik sebelum lahir ke dunia maupun saat berada di ambang batas antara mati atau hidup. Tugas menghidupkan kembali tentu saja sangat mudah bagiku."

Sirius merupakan keturunan langsung dan satu-satunya dari Dewa Aten, dewa tertinggi dan terkuat di Omega. Ia lahir dari perut ibunya yang merupakan Dewi Ameris, dewi kesuburan dan cinta. Perpaduan antara Dewa Aten dan Dewi Ameris, menjadikan Sirius dewa murni yang rupawan, gagah, kuat, dan juga cerdas. Banyak dewi-dewi Dunia Atas yang kagum kepada Sirius, baik secara fisik maupun kemampuannya yang sudah terlihat sejak kecil, termasuk dewi-dewi yang sudah lebih besar dibanding dirinya. Setelah Sirius lahir di antara para dewa, Sirius langsung diberkahi dengan ilmu menghidupkan kembali, dan akhirnya ia diberi julukan Dewa Penanam. Sirius menjadi satu-satunya Dewa Penanam yang memegang kendali penuh terhadap Bunga Vida dari Pohon Morti.

Dewa Penanam memiliki tugas untuk menghidupkan kembali setiap nyawa yang dinilai belum layak untuk dipanen oleh Dewa Pemanen. Nyawa-nyawa itu tentu bisa dikembalikan lagi ke dalam tubuh asalnya asalkan kebaikan yang dilakukan oleh mahluk itu memenuhi persyaratan untuk dibangkitkan kembali. Dewa Penanam biasanya bekerjasama dengan dewa-dewa Dunia Atas, untuk mengetahui nyawa mana yang harus ditanam kembali. Singkatnya, tugas Dewa Penanam adalah memberikan kesempatan kepada mahluk hidup untuk kembali merasakan hidup sekali lagi sebelum melewati proses pemanenan oleh Dewa Pemanen.

Cara menanam kembali nyawa mahluk hidup itu hanya memerlukan Bunga Vida yang sudah mekar sempurna dari Pohon Morti dan berkelopak besar, menuliskan identitas yang diperlukan, lalu mengembalikan kelopak itu ke Pohon Morti yang akan berubah warna menjadi hijau dan membentuk daun. Setelah waktunya tiba, kelak daun itu akan gugur dan diterima oleh Dewa Pemanen yang bertugas memanen kembali nyawa mahluk itu.

Sirius mengeluarkan sebuah bunga Vida putih berkelopak besar dari dalam tasnya. Ia kembali mengambil sebuah pena bertinta merah lalu menuliskan sesuatu di sana.

Ia berlari ke arah Pohon Morti yang terletak di tengah-tengah istana para Dewa yang sekaligus menjadi sekolah para calon dewa-dewi, lalu kembali ke tempat Khun berada, masih dengan mengamati burung merpati itu. Tidak lama kemudian, sayap putih berbulu halus dari burung merpati itu perlahan mengepak, diikuti dengan kakinya yang bergerak ke atas menyangga tubuh merpati yang masih lunglai,dan terakhir kepala burung itu terangkat, menggerakannya ke kanan kiri seperti merenggangkan otot di tubuhnya.

Sirius berbalik menatap Khun yang masih takjub dengan yang dilakukan oleh Sirius. Sebagai Dewa Perdamaian, Khun tidak memiliki kekuatan dan keistimewaan seperti yang dimiliki oleh Sirius. Dewa Perdamaian hanya diberi sebuah busur panah beserta anak panahnya yang terbuat dari emas untuk dilesatkan saat peperangan antar manusia yang merusak Bumi habis-habisan. Ia tidak memiliki kuasa untuk menanam kembali jiwa yang sudah dipanen. Hal itu membuatnya takjub pada temannya itu.

Khun mengacungkan jari jempolnya ke arah Sirius, lalu berkata dengan nada penuh keyakinan kepada Sirius.

"Kelak jika aku harus mati di medan perang saat memanahan panah perdamaian, kau harus menghidupkanku kembali, Sirius."  Khun menyeringai lebar, menampilkan giginya yang putih kecil dan rapi. Sirius mencibir, bermaksud mengganggu Khun.

"Untuk apa kau kuhidupkan kembali? Ada banyak Dewa Perdamaian di istana ini. Mereka tidak akan merasa terluka saat kau mati." Kalimat itu diucapkan dengan nada mencemooh dengan niat menggoda yang diterima baik oleh Khun. Khun menyenggol bahu Sirius keras, hingga membuat tubuh kurus Sirius terhuyung ke depan sesaat. Sirius dan Khun kemudian tertawa bahagia.

"Kau akan ke mana setelah ini?" tanya Sirius pada Khun yang bergerak mengambil busurnya di atas tanah. Khun menyampirkan busur emasnya ke pundak, dan menoleh ke arah Sirius yang masih mengamati gerakannya.

"Pergi menemui Dewi Alula. Ia bilang ingin menyampaikan sesuatu padaku." Khun menghadap sepenuhnya pada Sirius, dahinya mengernyit heran saat melihat Sirius sudah beralih mengamati merpati yang sudah hidup kembali. "Ada apa, Sirius?"

Sirius berjongkok dan mendekat pada merpati yang baru ia tanamkan kembali nyawanya, mengamati dari dekat, matanya membeliak saat menyadari sesuatu yang berbeda dari merpati itu. Khun ikut berjongkok di sebelah Sirius, menyadari ada yang berubah dari warna mata merpati itu, dan juga caranya mengepakan sayap. Khun membeliak, tubuhnya menegang, jantungnya berdegup lebih cepat saat melirik Sirius yang bereaksi sama sepeerti dirinya. Sirius menoleh cepat, lalu bergumam dengan bibir bergetar, suaranya tercekat saat mengatakan hal yang sama mengejutkannya bagi Khun yang tadinya sudah bersiap untuk pergi menuntaskan urusannya.

"O... o... Khun, sepertinya aku akan mendapatkan masalah."

***

Sirius dan Khun berlari melewati koridor panjang dengan lantai dari marmer emas dan pilar-pilar besar yang juga dilapisi emas, memberikan kesan megah dan mewah pada istana para dewa, Omega. Di tangan Sirius tertangkup tubuh merpati putih yang keseluruhan bulunya sudah berubah menjadi hitam legam mengerikan, paruhnya yang membengkok seperti burung elang, mata yang juga hitam, dengan kaki yang berkuku tajam. Kuku tajam itu mungkin akan melukai manusia pada umunya, tapi tidak cukup kuat untuk melukai dewa seperti Sirius dan Khun.

Mereka mengetuk pintu besar yang terlihat berat dengan warna emas dan ukiran rumit yang menyelubungi setiap bagian pintu itu. Setelah dibuka dari dalam, Sirius langsung berlari menuju ayahnya yang saat itu tengah melihat tampilan Bumi dari kaca air di depannya. Sirius dan Khun mengembuskan napas untuk menetralkan kembali deru napas mereka yang terasa panas membakar paru-paru karena habis berlari melewati lorong panjang sebelum menghadap pada Sang Dewa.

"Ada apa, Sirius?" tanya Aten tanpa mengalihkan pandangannya dari kaca air di depannya. Pertanyaan dari Aten membuat kedua anak kecil itu tertegun dan menunduk, takut melihat manik hijau milik Aten yang mengintimidasi mereka berdua. Keduanya sama-sama membungkuk dengan sebelah tangan terlipat ke dada dan sebelahnya lagi di belakang punggung, memberi hormat pada dewa tertinggi di Omega.

"Ampun, Dewa Aten. Saya memberitahu perihal penting yang cukup mendesak dan belum bisa saya selesaikan." Tangan mungil Sirius yang tersembunyi di balik punggungnya terulur ke depan menghadap Sang Dewa tertinggi, tangannya bergetar hebat saat mengetahui ayahnya menyipitkan maniknya seakan ingin menusuk ke dalam jiwa Sirius.

"Kau baru saja menghidupkan seekor burung? Itu yang ingin kau katakan?" Nada dingin dari bibir Aten menghantarkan suasana mencekam hingga membuat kedua bocah itu bergedik ngeri dan ingin berlari kabur sejauh mungkin dari hadapannya. Bibir Aten menipis mengetahui perbuatan anaknya, dahinya mengkerut tidak suka.

"Kau tahu batasan untuk menghidupkan kembali mahluk hidup kan, Sirius? Kau tidak bisa menghidupkan kembali mahluk yang sudah tertulis di daun kering Morti. Jika kau melakukannya, kau hanya akan menghidupkan jiwa kelamnya yang ganas dan berbahaya. Burung itu mungkin tidak melukaimu saat ini, tapi dalam beberapa jam saja, burung itu tentu akan bisa mamatukmu dan membuat kalian berdua terluka," seru Aten dengan manik mengintimidasi kedua bocah yang masih setia menunduk, tidak berani menatap langsung ke manik hijau terang miliknya.

Sirius dan Khun meneguk saliva kasar bersamaan. Mereka tidak tahu bahwa akibat dari perbuatan mereka cukup fatal. Suara tercekat dari bibir merah Sirius terdengar serak saat kembali berbicara, "Lalu apa yang harus kami lakukan, Dewa Aten?"

Aten menopang kakinya di kaki satunya, tangannya terjalin di atas lutut yang saling menindih, matanya menelisik tajam ke arah Sirius dan Khun yang masih menunduk dengan tangan terulur berisi merpati hitam yang baru saja dihidupkannya.

"Yang bisa kalian lakukan adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Aku peringatkan kepadamu, Sirius. Ini adalah yang pertama dan yang terakhir kalinya kau melakukan kesalahan sefatal ini." Peringatan dari Aten langsung melekat di otak Sirius yang cerdas, membuatnya berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan sebodoh itu untuk menghidupkan sembarang mahluk.

Kepala tertunduk itu mengangguk seirama, mengutarakan kesetujuannya setelah menggumamkan janji sungguh-sungguh yang pasti mereka tepati. Aten menegakan punggungnya, memanggil seorang dewa dari Dunia Bawah untuk menghadap dirinya di istana megah itu.

Tak lama, dewa itu datang menghadap dengan menggunakan jubah hitam yang menyapu lantai marmer emas di istana Omega, tudung kepala yang cukup besar menyembunyikan wajahnya, sebuah tongkat berliku tergenggam di tangannya seakan membantunya berjalan. Saat dewa itu datang, bulu kuduk Sirius dan Khun langsung meremang waspada. Dewa itu membungkuk memberi salam hormat setelah berdiri tepat di hadapan Aten.

"Bawa burung ini ke Dunia Bawah," Aten menggerakan tangannya, membuat burung itu melayang di udara, lalu mendarat di atas telapak tangan dewa berjubah hitam mengerikan itu. "Jadikan dia burung pemakan jiwa kelam dari manusia di Bumi. Dan jangan sampai burung itu lolos dari Dunia Bawah," titah Aten tak terbantah yang langsung mendapatkan anggukan dari dewa misterius dari Dunia Bawah itu.

"Baik, Dewa Aten. Saya akan menyegel burung ini agar tidak berkeliaran, baik di Dunia Bawah maupun Dunia Atas." Dewa itu lalu menggerakan tangan seperti membentu sesuatu, lalu muncullah sebuah kerangkeng besi berwarna merah menyala dari batu api Dunia Bawah yang mengurung burung itu, membiarkannya mengambang di udara berselubung kabut hitam mengerikan.

"Bawalah Sirius bersamamu, Kazza. Biar dia melihat langsung akibat perbuatannya yang ceroboh dengan sembarangan menghidupkan nyawa mahluk hidup." Perintah itu diterima baik Dewa Kazza, sang penguasa Dunia Bawa yang mengangguk sebagai jawabannya. Manik abu-abu Kazza melirik ke arah Sirius dan bibirnya tersenyum tipis ramah, berbanding terbalik dengan aura misterius yang ditebarkannya di ruangan ini.

"Kami akan pergi sekarang, Dewa Aten," pamit Kazza pada dewa tertinggi sekaligus ayah dari Sirius.

***

Dalam benaknya yang masih cukup polos, Sirius pernah membayangkan bahwa Dunia Bawah pasti mengerikan dan menyeramkan, tanah tandus dengan tumbuhan merambat dan pohon tanpa dedaunan, terselimuti gelap dengan api menyala di setiap jalan menuju istana utamanya, dijaga oleh mahluk-mahluk aneh yang bertugas menjaga keamanan istana dan jiwa- jiwa yang ditampung dalam sebuah ruangan besar dengan pintu perak mengkilap.

Namun pada kenyataannya, Dunia Bawah tak jauh berbeda dengan Dunia Atas. Tumbuhan hijau masih terlihat di beberapa bagian, walau tidak ada bunga berwarna-warni indah yang menyenangkan mata saat memandang, mahluk-mahluk berwajah binatang yang tidak semengerikan dibayangannya, cahaya matahari yang digerakan oleh Dewa Matahari juga mampu menembus lapisan Dunia Bawah walaupun tidak memberikan kehangatannya, dan juga Pohon Morti tanpa Bunga Vida. Memang di Dunia Bawah terdapat Pohon Morti walau tanpa Bunga Vida, karena di Dunia Bawah hanya dedaunannya saja yang berguna untuk menjalankan tugas Sang Pemanen dan dewa-dewa yang berhubungan dengan penyebab kematian.

"Apa Dunia Bawah memang selalu hijau seperti ini, Kazza?" tanya Sirius dengan rasa penasaran yang membuncah sebab ekspetasinya tidak seperti pada kenyataan yang terpampang di depan matanya.

Midza mendengus geli mendengar pertanyaan polos dari mulut Sirius, sementara kepalanya sibuk mengamati bagian-bagian di Dunia Bawah, "Tentu saja, Sirius. Memang apa yang kau pikirkan? Suasana gelap mencekam yang membuat siapapun takut? Itu hanya ada dikarangan mitos buatan manusia agar mereka terus berbuat kebajikan dan takut dengan dosa."

Mereka terus berjalan menuju istana Kazza yang tak kalah megahnya dengan istana Aten walau berukuran sedikit lebih kecil dan warnanya yang didominasi dengan warna perak. Mereka melewati koridor di istana perak itu, menuju ke halaman belakangnya di man terdapat berbagai macam hewan buas berwujud menyeramkan yang akan membuat siapapun yang melihatnya lari terbirit-birit ketakutan, bahkan itu juga yang saat ini dirasakan oleh Sirius.

"Ini adalah kebun binatang peliharaan Dunia Bawah. Mereka semua adalah mahluk asli Dunia Bawah yang ada sebelum Bumi terbentuk. Mahluk-mahluk ini hannya akann dilepaskan saat kiamat tiba." Penjelasan Kazza tidak membantu meredakan kengerian yang melingkupi jiwa kanak-kanak Sirius, dan malahan semakin membuatnya menyipitkan mata ngeri.

"Dan mahluk yang kau bangkitkan kembali ini, seharusnya tidak pernah ada. Kau tahu penyebab kematiannya? Merpati ini mati karena menabrak kaca kelasmu yang menyebabkan lehernya patah. Seandainya saat itu tidak ada yang memanen nyawanya, tentu ia akan menderita selama sisa hidupnya, berada di antara hidup dan mati, padahal warna daunnya sudah cokelat kering. Hidup tapi mati. Seperti itulah." Manik abu-abu milik Kazza menelisik tajam ke arah burung merpati yang masih dalam kurungannya saat menjelaskan pada Sirius. Lalu ia menunduk menatap Sirius yang balas menatapnya dengan manik melebar terkejut.

"Seharusnya Dewa Pemanen mengambil jasadnya untuk dimakan oleh mahluk-mahluk ini, mengingat yang mengurus jasad hewan-hewan di Dunia Atas dan Bawah adalah mereka. Karena keteledorannya, malah membuatmu salah mengambil keputusan menghidupkannya." Kazza mengedikan bahu ringan tanpa memperhatikan warna kulit Sirius yang sudah semakin pucat seakan tidak ada darah yang mengaliri wajah rupawannya.

"Sekarang kau lihat bagaimana ganasnya mahluk yang seharusnya mati tapi malah dihidupkan kembali." Tangan Dewa Kematian itu bergerak membebaskan kurungan merpati itu, seketika burung itu berubah menjadi lebih besar dan menjadi raksasa seukuran dengan harimau. Sayapnya terbuka lebar, memamerkan kebebasan yang tadi sempat terenggut darinya. Kazza melepaskan sebuah jiwa gelap dari tabung bening di kantongnya. Burung merpati itu dengan ganasnya langsung melahap jiwa itu, mengoyaknya menjadi bagian-bagian kecil dan hanya menyisakan asap tipis yang berangsur menghilang bersamaan dengan habisnya jiwa gelap tadi.

"Mengerikan bukan jika mahluk itu berkeliaran di Dunia Atas? Karena tentu mahluk ini akan dengan beringasnya memangsa setiap jiwa di sana." Kazza menunduk melihat anak Dewa Aten itu dengan menyipitkan mata, lalu berucap dengan nada yang serius supaya Sirius mengingat setiap ucapannya, "Aku harap kau belajar banyak dari kejadian hari ini, Sirius."

***

Chara duduk termenung sendirian di depan taman hijau tanpa bunga di Dunia Bawah. Wajahnya murung selepas kelas yang diikutinya berakhir. Ia masih teringat akan kejadian saat Rown mencabut paksa nyawa Das, sampai-sampai ia hampir muntah karena terlalu tiba-tiba baginya.

Chara mengela napas panjang. Tidak sepantasnya Dewi Pemanen sepertinya merasa iba terhadap nyawa yang harus dipanennya, karena seorang Dewi Pemanen yang dipimpin oleh Dewa Kematian harus bergerak dengan hati dingin saat menjalankan tugasnya. Dewa-dewi di Dunia Bawah tidak ada yang memiliki rasa iba, empati, prihatin ataupun yang lainnya, mereka smeua dituntut berwajah dingin dengan manik tajam tanpa belas kasihan, dan dagu terangkat menunjukkan kuasanya saat memanen nyawa mahluk hidup.

Chara mengusap wajahnya kasar, menghalau air mata yang mendesak keluar karena tertahan dari tadi, kepalanya menunduk melihat ujung sepatunya yang mengambang di bangku taman.

Sepasang sepatu berhenti tepat di depan miliknya, ia mendongak mencari tahu siapa gerangan itu, manik emasnya menumbuk manik hijau terang yang balas menatapnya, tubuh di hadapannya itu berlapis jubah emas dengan kerah lebar yang menjuntai ke tanah, rambut legam terpotong pendek rapi, dan senyum lebar menghias wajah rupawannya.

"Kenapa kau bersedih?" tanya Sirius dengan masih memasang senyumnya yang mampu meluluhkan hati setiap dewi.

Mata yang tadi melengkung sendu di wajah cantik itu seketika membeliak saat menyadari siapa yang sedang berada di hadapannya. Tubuhnya tersentak ke depan, sedikit meloncat turun dari posisinya duduk, matanya mengerjap tidak menyangka bahwa ia akan melihat Sang Penanam, anak Dewa Aten.

"Kau... kau Dewa Pemanen?" Chara tidak dapat menyembunyikan keterjutan sekaligus kekagumannya pada Sirius. Hanya dari jubah emasnya saja Chara bisa mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya adalah seorang Dewa Penanam, kebalikan dari Dewa Pemanen. Dewa Dunia Bawah sepertinya, tidak diperbolehkan mengunjungi Dunia Atas kecuali memiliki urusan dengan dewa-dewi di sana, apalagi dewi yang masih sekecil Chara, ia tidak memiliki kepentingan yang cukup genting hingga bisa melihat Dunia Atas. Hal yang sama juga berlaku bagi dewa-dewi Dunia Atas, mereka tidak bisa saling mengunjungi satu sama lain agar tidak ikut campur dengan urusan masing-masing dunia.

Sirius tersenyum pongah, dagunya terangkat tinggi, kedua tangannya bersedekap terlipat di depan dadanya, matanya menatap rendah ke arah Chara, namun tidak ditangkap oleh Chara lantaran dirinya masih terkejut dengan apa yang dilihatnya. "Ya. Akulah Sang Penanam. Kau tentu sudah mendengar kemahsyuranku di Dunia Bawah ini, bukan?"

Chara mengangguk antusias, ia mendengar bahwa Sang Penanam sangat rupawan, dan benar adanya. Namun bukan itu yang menjadi fokusnya.

"Kenapa kau bisa berada di Dunia Bawah?" Bibir merah Chara mengkerucut lucu tidak mengerti dengan situasi yang saat ini terjadi, membuat Sirius sesaat terpana dengan benda lembut di wajah Chara tersebut. Ia merasa... gemas.

"Aku sedang ada urusan. Aku adalah dewa yang sibuk karena harus berlalu lalang untuk memastikan nyawa-nyawa yang ditanam kembali layak menghuni tubuh asalnya," seru Sirius dengan arogansi yang terlihat jelas

Chara mengangguk sekali lagi tanda mengerti, lalu ia balas menjawab pernyataan Sirius yang membuat Sang Pemanen itu menganga tidak percaya.

"Aku juga sama sibuknya denganmu. Aku rasa tugas kita sama. Bukankah itu artinya kita memiliki derajat yang sama?" Pertanyaan polos tanpa dosa itu menembus gendang telinga Sirius, bibirnya berkedut menahan rasa dongkol dari penuturan Chara.

"Memangnya kau dewi apa?" cela Sirius, mencoba mengkonfrontasi Chara dengan menunjuk seberapa berbedanya mereka berdua dari kedudukan mereka sebagai dewa dan dewi.

"Aku Dewi Pemanen. Aku bertugas memanen setiap nyawa yang sudah tertulis di daun kering Pohon Morti," sahut Chara riang, menampilkan kebanggaan dirinya dalam menjadi Dewi Pemanen, ia bahkan sudah melupakan kejadian di kelas tadi yang membuatnya bersedih hati.

Sirius mendecih, merendahkan Chara melalui lirikan matanya. Chara menatap Sirius bingung, tidak mengerti dengan bahasa tubuh Sirius yang berubah-ubah dan sulit ditangkap maksudnya oleh Chara yang polos.

"Tugasku jauh lebih mulai daripada sekedar mengambil nyawa mahluk hidup seperti yang kau lakukan. Aku satu-satunya dewa yang menjadi Sang Penanam. Derajatku jelas-jelas lebih tinggi. Jadi, jangan kau samakan kedudukan kita berdua yang jelas berbeda." Senyum kemenangan saat melihat raut Chara yang berubah masam, tersungging di bibir Sirius. Ia merasa di atas angin saat memamerkan kehebatannya, sedangkan Chara, alih-alih tersinggung, ia justru memikirkan hal lain dari ucapan Sirius.

"Bukankah tugas Sang Penanam sangat jarang? Karena di Bumi jarang sekali terjadi kasus koma tidak sadarkan diri. Rata-rata dari mereka langsung meninggal saat tertimpa musibah. Dari data yang kupelajari, manusia maupun hewan, mereka lebih akrab dengan kematian dibanding koma berkepanjangan. Bukankah itu menjadikanmu pengangguran?"

Rona merah langsung menyemburat di tulang pipi Sirius. Ia tahu betul sebagai Sang Penanam, tugasnya tidak banyak dan tidak sesibuk dewa-dewi lainnya. Ia hanya bertugas saat daun Pohon Morti berubah kuning yang menandakan mahluk hidup yang sedang sial itu berada di selaput tipis kehidupan. Dan setelah itu semua selesai... ia menganggur.

Rasa malu yang tadi mengusai diri Sirius langsung ditepisnya, ia kembali menegak punggung dan mengangkat dagunya, mengulurkan tangan ke depan ke arah Chara. "Kau benar. Kita sederajat. Kalau begitu siapaa namamu?"

Chara menatap tangan Sirius lalu beralih ke wajahnya yang masih memerah, tangannya terulur menjabat tangan hangat Sirius yang berbanding terbalik dengan tangannya yang selalu dingin.

"Aku Chara. Senang berkenalan denganmu, Dea Penanam." Senyum tipis yang terkulum di bibir Chara menambah kecantikan wajahnya.

Sirius kembali terpana melihat kecantikan yang terpancar dari gadis kecil yang usianya sama dengan dirinya, matanya mengerjap repetitif, tangannya terayun, lalu ia berkata, "Aku Sirius," Sirius balas tersenyum, lalu berkata dengan nada ramah, "Mari berteman, Chara."

Chương tiếp theo