“Apa ini saatnya untuk itu?”
Cristhian mengangkat botol obat yang ada di tangan. Perlahan, dilepas dan jatuh di dekat mereka. “Robert? Siapa itu? Apa maksud isi suratnya? Dan apa arti MS itu?” Beberapa saat berlalu dengan mulut Evelin yang masih tertutup rapat. “Tinggalkan aku.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang tidak mempercayaiku. Lebih baik kamu kembali pada mereka,” sambil melangkah mengambil pisau buah di nakas. Diraihnya tangan kanan sang gadis, lalu menaruh senjata itu di sana agar tergenggam berdua. “Hanya ini pilihanmu,” Cristhian pun mengarahkan ke lehernya.
“Kak Cris! Apa yang kau lakukan?!” Evelin meronta melepaskan genggaman mereka pada pisau tersebut.
“Aku hanya mempermudah tugasmu.”
Gurat emosi terlukis di wajah gadis itu. “Setelah semua yang kita lalui, kau bersikap seperti ini?”
“Ya.”
PLAK!
Spontan tamparan melayang ke pipi Cristhian. “Brengsek kau, Kak Cris!”
Cristhian hanya menyeringai. “Jadi, apa ini artinya kamu tetap ingin bersamaku?” dirabanya pipi yang kesakitan itu.
Tak ada jawaban. Evelin terlanjur marah karena merasa dipermainkan. Dirinya berbalik hendak keluar. "Mau ke mana?” Cristhian menahan pintu agar tak terbuka.
“Minggir kau, Kak Cris!”
“Kamu marah? Aku begini karena tak kunjung mendapat jawaban.”
“Jawaban apa? Aku bahkan tak tahu apa yang kau tanyakan! Begitu banyak ocehan dari mulutmu itu!”
Sang pemuda hanya tersenyum tipis. Disentuhnya pinggir rambut Evelin dan diselipkan ke belakang telinga.
“Apa kamu akan tetap di sisiku?” Detik-detik berlalu dengan bungkamnya sang pujaan. “Jangan diam saja, kamu punya mulutkan?” disentuhnya bibir bawah gadis itu dan diusap lembut.
“Aku—”
Hening.
Perlahan, suara dari dua bibir saling bertaut mengambang di keadaan. Jawaban yang hendak dilontarkan Evelin, tertelan dalam ciuman Cristhian. Entahlah, pemuda itu selalu melakukan apa pun sesuka hatinya.
Dirinya terlalu ahli dalam hal ini. Bermain rasa dalam ekspresi dan bicara, bahkan pertengkaran terasa manis dibuatnya, mulai membangkitkan gelora Evelin walau dirinya agak murka.
Bibir mereka menjauh secara perlahan, tapi tidak dengan tatapan. Masih beradu, melukiskan cerita yang tak disampaikan lewat suara. Tiba-tiba Evelin memeluknya. Erat walau tubuh kecilnya gemetar saat dibalas rangkulan sang pemuda.
“Semua akan baik-baik saja,” gumam Cristhian.
Mata Evelin berkaca-kaca. Kalimat penyemangat untuk mereka, walau ada bayang doa tersirat di sana, keduanya memang ingin hidup bahagia.
“Seandai—”
“Ini takdir kita,” potong Cristhian. “Apa kamu tahu, Evelin? Jika bukan karena pekerjaanmu, kita takkan pernah bertemu.” Tangan kanan sang pemuda mulai mengelus lembut kepalanya.
“Kita juga takkan pernah menghabiskan malam seperti itu,” dengan nada agak jengkel.
Senyum mulai melebar di bibir sang pemuda karena ucapan sosok dalam dekapan.
“Entahlah. Karena menurutku, kisah kita tak hanya dimulai di atas ranjang. Tapi saat kamu dan aku bertatapan,” keningnya pun disandarkan pada bahu kanan Evelin.
“Kak Cris.”
“Ayo kita pergi,” ajaknya melepas pelukan di antara mereka.
Keduanya keluar dari kamar, menapaki jalanan menuju tempat bar. Ada seseorang yang ingin ditemui putra presiden di sana.
“Kamu tunggu di sini,” ucap Cristhian begitu gadis itu duduk di salah satu sofa. Sorot mata Evelin masih mengikuti langkah pemuda yang menjauh darinya. Tampak ia memasuki sebuah ruangan bersama bartender di sana.
Rasanya Evelin ingin meneguk minuman. Tapi ia sudah ditegaskan Cristhian untuk tak memesan apa pun di bar.
“Jadi, apa kau menikmatinya?”
Bulu kuduk Evelin tiba-tiba berdiri. Hawa dingin di balik punggungnya, mengalir menekan udara. Keringat pun mulai turun secara perlahan.
“Apa suratku kurang jelas?” lanjutnya. Tubuh gadis itu gemetar, tangan dan kaki basah akibat gugup yang dirasa. "Robert sudah bergerak. Mungkin dia akan sampai di sini besok.”
“Apa tak ada pilihan untukku?” gumam Evelin.
“Larilah. Tinggalkan kapal ini sekarang juga.”
Raut wajah gadis itu berubah. Lebih tertekan saat di hadapkan dengan kalimat yang di dengar.
“Kenapa anda mengatakan ini?”
“Pergilah.”
“Apa anda mengkhianati Robert?!”
“Waktumu tak banyak. Pemuda itu punya kenalan untuk menurunkan sekoci. Lakukan saja sekarang. Antonio dan Barbara sedang bersenang-senang.”
“Kenapa anda melakukan ini?”
“Kau terlihat menyukainya.”
Evelin tertunduk mendengarnya. “Maafkan aku.”
“Semoga kau bahagia,” sahut Marcus berdiri dari duduknya. Tiba-tiba, sentuhan lembut diusapkan ke kepala Evelin.
Gadis itu terisak, rasanya menyakitkan. Mengkhianati orang yang sudah membesarkannya. Tak ada amarah, tak ada pertanyaan, tak ada pertentangan, hanya doa dan harapan demi kebahagiaannya.
Dirinya tahu, kalau harga yang harus dibayar Marcus dengan melepaskannya tidaklah murah. Tapi, kenapa?
Evelin segera berbalik. Mencari sosok pria itu. Tak lagi ada dan entah ke mana. Suaranya masih terngiang di pendengaran, isak tangis melahap keadaan. Dirinya menutup wajah, dengan telapak tangan bergetar sambil meringkuk bersalah dalam duduknya.
“Evelin? Kamu kenapa?!” tanya Cristhian yang kaget begitu menghampirinya. Diraihnya tangan penutup muka, “ada apa?! Kamu kenapa?!”
Dalam derainya air mata, pandangan sendu Evelin cuma menjawab pertanyaan pujaan hati sebagai pengganti suara. Cristhian terdiam, segera ia tarik lengan sang gadis untuk beranjak dari sana.
“K-kak!” selanya berhenti tiba-tiba sehingga langkah mereka tertahan. Cristhian terdiam beberapa saat menatap wajah sendu Evelin. “Ayo kita pergi!” Masih tak ada jawaban. Sorot matanya tenang tak menyiratkan ekspresi. Kesedihan wajah sang gadis, seakan berubah bercampur keanehan akan respons putra presiden. “Kak?”
“Kenapa kamu menangis?” Kristal bening yang masih mengalir tenang, mulut sedikit terbuka karena kaget di rupa, mewakilkan Evelin. Dirinya menunduk dan menghapus kasar air mata. “Evelin.”
“Marcus memintaku untuk kabur sekarang.” Cristhian terdiam. Tangannya yang satu lagi terkepal erat mendengar perkataannya. “Dia memberitahuku kalau Kakak punya seseorang untuk menurunkan sekoci. Kita harus pergi. Hanya ini kesempatan kita,” jelasnya.
“Dia ada di sini?”
“Lupakan itu, Kak Cris. Ayo kita pergi!” ajak Evelin. Raut wajahnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Tampak dirinya telah memantapkan hati, untuk benar-benar menghapus ikatan dengan organisasi.
Tanpa membuang waktu, keduanya segera pergi ke ruangan tadi di mana Cristhian memasukinya.
Di tempat berbeda, seorang wanita dengan bikini indah di tubuhnya, terlihat menikmati pesona kolam renang kapal. Lekuk menggoda, diiringi siulan para lawan jenis beraura buaya, merayu bersuara agar bisa menikmati fisiknya walau hanya lewat mata.
Memang begitulah mereka yang cuma mampu memandangi dirinya.
“Bukankah kita harusnya bekerja?”
“Diamlah! Aku juga butuh hiburan!” Barbara menyisir rambut basahnya dengan jari sehingga semakin menawan.
“Kalau mereka lari bagaimana?” tanya Antonio.
“Biarkan saja. Lagi pula Robert akan tetap turun tangan. Buang-buang tenaga tak cocok untuk pesona cantikku.”
“Ya. Kau memang cantik, tapi sayangnya bukan idamanku.”
“Diam kau keparat!” Barbara pun menyemburkan air kolam menyiram Antonio yang bersantai di belakangnya.
“Sialan,” gumam laki-laki itu karena kebasahan.