Ayah tergesa-gesa pulang. Pundaknya terasa semakin berat.oleh beban yang di berikan dari dukun kuring. Konsekuensi yang harus dia bayar tunaj setelah berhubungan dengan dukun tersohor itu.
Beberapa kali tubuhnya terhuyung hampir terjatuh. Jalanan yang semakin licin karena semalam hujan deras dan banyaknya daun kering yang basah menutupi permukaan tanah. Belum lagi rumput yang mulai meninggi di kanan kiri jalan beberapa kali hampur menjerat kakinya dn membuatnya tersungkur.
Entah apa yang ayah rasakan. Ia merasa tubuhnya jadi lebih semangat kali ini. Namun hatinya merasa ada kegelisahan yang Ia pendam rapat-rapat.
Sampailah ayah di depan rumahnya. Terdengar suara tangisan dari dalam rumahnya. Ia tahu, suara itu adalah suara nenek. Dia pasti sedang mengadukan perihal tadi pagi kepada istrinya, Duminah.
Ayah mencuci tangannya. Di depan rumah memang di sediakan genyong besar yang selalu di penuhi air sehingga siapapun yang hendak bertamu sebaiknya mencuci tangannya terlebih dahulu.
Ayah kemudian masuk rumah. Ia menuju sumur, melepas bajunya lalu mengguyur tubuhnya dengan air. Agar pikiran beratnya segera hilang. Ia tak mau membebani istrinya dengan beban yang saat ini sedang Ia emban.
Selesai mandi ayah pun mengganti pakaiannya. Ia lalu bergegas menuju kamar. Di sanalah sumber suara tangis dari nenek. Ia melihat istrinya juga menangis namun dalam diam.
Seketika Bayi Sardi menangis tak henti-henti. Nenek yang melihatnya terlihat panik. Simbok dan ayah malah terlihat tenang. Sudab dua tahun ini, inilah yang mereka hadapi. Tak ada solusi untuk tangisan anaknya yang mengiris isi hatinya itu.
"Sekarang lihat bu... cucumu menangis seperti itu dan sudah hampir dua tahun berjalan. Apa ndak sakit hati rasanya mendengar rintihan bocah bayi ini? Yang belum mengerti apa-apa. Apa ndak teriris rasanya bu..." ayah menangis di depan ibu.
Ibu yang tak bisa berkata-kata pun ikut menangis. Terlebih lagi Simbok yang mendekap bayi Sardi kian deras meneteskan cairan bening itu.
"Saya akan sudahi ini bu. Jangan cegah saya. Ijinkan saya. Dukung saya." Ucap ayab lagi.
"Tapi Le, kamu itu ndak tahu kuring itu orangnya seperti apa. Kamu ndak tahu apa yang harus kamu bayar kelak. Apa ndak bakalan menyesal?"
"Aku akan lebih menyesal kalau terlambat memberikan pertolongan untuk anak ini Bu. Sudah Bu.. jangan halangi aku lagi. Inj sudah keputusanku."
Akhirnya nenek pun tak bisa berkata apa pun selain membiarkan ayah melakukan apa yang akan Ia lakukan.
Meski sebenarnya ayah tahu dan sangat mengerti dengan jelas bahwa yang harus ia bayar kelak tidaklah murah. Tapi ayah tetap harus melakukannya kali ini. Demi kesembuhan anak pertamanya, Sardi.
Hari berlalu sejak kedatangan ayah ke dukun kuring. Dua pekan yang dukun kuring tetapkan hingga hari h sudah terpotong tiga hari. Dan tiga hari ini ayah merasa kebingungan.
Ayah sudah menemukan bagaimana catanya mendapatkan persyaratan-persyaratan itu. Namun ada satu yang terasa sangat sulit. Yaitu Rusa. Di mana Ia harus mendapatkan rusa tanpa harus berburu?
Ayah pun mendatangi simbah. Ia bermaksud untuk menanyakan perihal rusa tersebut.
"Apa Le? Rusa?" Simbah nampak terkejut dengan pertanyaan yang ayah ajukan. Yaitu dimanakah Ia bisa mendapatkan kepala rusa kembar.
"Kenapa Pak? Apa ada yang aneh?" Tanya ayah dengan wajah yang bingung.
"Hmmm .. apa kuring tidak memberitahukan sesuatu kepadamu saat itu?"
Ayah semakin tidak mengerti arah pembicaraan simbah. Apakah ada yang salah?
"Kamu tahu rusa itu berarti apa?" Tanya simbah hang jelas ayah tidak tahu.
Ayah hanya menggeleng kepala.
"Dalam tatanan primbon jawa kawi. Rusa itu diartikan keturunan. Korbanmu kelak adalah keturunanmu."
Dahi ayah berkerut. Ia sedikit tidak percaya dengan ucapan simbah. Menurutnya primbon hanyalah karangan empu jaman dahulu saja. Tidak akan berarti lebih di jaman sekarang.
"Pak... itu kan cuma primbon. Jangan di percaya." Jawab ayah ngeyel.
"Le... tapi primbonnya orang jaman dulu itu banyak benernya." Ucap sinbah menasehati ayah.
"Sudahlah Pak. Bapak ini mau bantu aku biar cucumu sembuh atau tidak? Aku ini sudah cukup pusing dengan masalah di rumah. Kalau bapak gak bisa bantu ya sudah!" Sungut ayah yang membuat simbah langsung terdiam.
Selang beberapa menit simbah tak kunjung memberikan jawabannya. Ayah pun sudah semakin kesal. Akhirnya Ia memutuskan untuk pamitan.
"Ya sudah Pak saya pamit saja. Terimakasih nasehatnya." Ucap ayah dengan nada kesal.
"Kalau kamu mau pergilah ke Bukit Peteng. Nanti ikuti jalan setapak yang kamu temukan saat memasuki hutan pertama. Ikuti saja terus. Sampai kamu bertemu dengan gubuk di sebelah lereng. Nah di situ hidup kakek tua. Pekerjaannya adalah berburu. Biasanya dia menyimpan terlebih dahulu hasil buruannya sebelum Ia menjualnya ke kota." Jelas simbah tiba-tiba.
Ayah hanya mengangguk dan berlalu meski wajahnya terlihat masih kesal namun hatinya kini lega. Akhirnya Ia menemukan jalan untuk mendapatkan kepala rusanya kali ini.
Pagi sekali ayah telah bersiap. Hari demi haru berlalu. Kini tinggal satu pekan lagi hingga hari di mana ritual akan dilangsungkan.
Simbok yang mendengar suara gemericik air pun terbangun. Karena bayi Sardi sedang tidur Ia pun akhirnya menghampiri suaminya itu.
"Mas... pagi buta begini mau ke mana?" Tanya Simbok.
"Ssssttt jangan berisik. Nanti kalau ada yang tanya. Bilang saja saya ke kota mau cari jamu." Dahi Simbok berkerut mendengar jawaban suaminya itu. Tidak pernah gelagatnya seperti ini.
"Kenapa Mas... bilang dulu sama saya. Mas mau ke mana?" Bujuk Simbok dengan nada khawatir.
"Aku mau ke hutan Dum. Aku harus mencari rusa." Jawab ayah lagi. Semakin membuat simbok bingung.
"Rusa? Untuk apa?" Tanya Simbok lagi.
"Bukankankah aku sudah bilang. Ini syarat yang Dukun Kuring berikan. Aku harus bergegas. Tidak ada waktu lagi." Ucap ayah.
Simbok pun bergegas pergi ke dapur. Ia membungkus ubi rebus sisa semalam ke dalam sebuah daun pisang lalu memasukkannya ke tas goni yang yang kelak akan ayah bawa.
Ayah pun berpamitan. Semula Simbok yang tidak menyetujui rencana ayah menemui dukun kuring pun kini malah semakin mendukung dan mendoakan semoga semuanya berjalan lancar.
Dengan penuh percaya diri. Dan bersembunyi dari masyarakat banyak. Ayah berjalan menuju hutan yang berada di ujung timur kampung.
Pakaiannya tertutup dan gelap agar menghindari terkaman binatang buas. Dan juga sebuah tas goni yang kelak akan digunakannya untuk membawa kepala rusa.
Langkah kakinya terkesan cepat agar bisa mengejar hari supaya tak seorang pun melihatnya mendatangi hutan ini.
Cerita kelam tenyang hutan peteng yang membuat setiap masyarakat kampung menganggapnya menjadi keramat. Ayah tak mau pusing dengan ucapan-ucapan mereka. Terlebih lagi niatnya adalah mencari syarat yang di ajukan oleh dukun kuring. Yang sebenarnya semua adalah rahasia tak seorang pun tahu bahwa ayah mendatangi dukun kuring kecuali keluarganya dan dukun kuring sendiri.