"Apa yang harus aku berikan kepada mereka Ki?" Tanya Ayah dengan penuh rasa was-was dan ingin tahu.
"hmmm…aku tidak bisa memberitahukannya kepadamu karena itu hak dari mereka." Ucap dukun kuring.
Ayah terdiam. Sesuatu yang akan menjadi teka-teki kelak. Hasilnya mungkin akan bisa menyelamatkan atau malah menjadi bumerang baginya. Ia menunduk untuk berpikir.
"Kenapa?" Tanya dukun kuring.
Ayah menatap dukun kuring kembali de gan percaya diri. Ia tak mungkin ragu setelah tahu segalanya dan hampir sampai pada tujuannya. Ia lalu memenda, dalam-dalam keraguan yang tak penting baginya itu.
"Ragu?" tanya kuring lagi dengan wajah yang sedikit meremehkan.
"Tidak. Aku hanya sedang berpikir. Tidak adil rasany ajika jawabannya tidak ku ketahui. Bukankah transaksi ini harus adil dan seimbang?" Ucap ayah berusaha mencari celah. Ia tak mau berkorban untuk hal yang sia-sia.
"Kamu memang orang yang cerdas dan pemberani. Bagaimana bisa kamu berusaha bernegosiasi dengan seorang dukun yang terkenal sakti sepertiku." Ucap dukun kuring.
"Apa kau mendapat gelar dan ketenaran itu dengan Cuma-Cuma? Aku yakin pasti ada kerja keras di baliknya. Dan sesuatu yang di lakukan dengan kerja keras haruslah mendapat imbalan yang setimpal" ucap ayah.
"Saya sedang membahas kamu. Kenapa kamu sekarang jadi membahas aku? Tidak usah di tutup-tutupi jika kamu ragu. Itu akan menjadi sia-sia jika dilakukan tanpa sebuah keyakinan."
Ayah mengangguk. Kali ini ucapannya benar dan ayah setuju dengan pendapatnya. Meski maksudnya adalah hal lain.
"Aku tidak ragu sama sekali. Aku akan melakukannya begitu pun dengan konsekuensinya. Jadi beritahu aku sekarang apa yang harus aku lakukan selanjutnya.?" Tanya ayah dengan nada bicara yang dua kali lipat lebih serius dari sebelumnya.
"Meskipu harus di bayar dengan nyawamu?!" dukun kuring mendekatkan kepalanya lebih dekat ke ayah. Ia juga memicingkan matanya.
Namun ayah semakin menantang dan menatapnya dengna tajam.
"Tentu saja." Ucap ayah tegas.
"Baiklah nak, sekarang kucatat semuanya. Namamu dan juga anakmu." Ucap dukun kuring sambil meremas-remas stangkup bunga mawar di tangannya. Ia lalu menaburkan remasan mawar yang sudah tak berbentuk rupa itu ke wadah menyan yang kini sudah berhembus asap mengepul keudara. Menimbulkan bau mistik yang sebenarnya tidak berarti apa pun kecuali sebuah wewangian. Namun di anggap sakral oleh orang-orang awam higga kini.
Dukun kuring menanyakan nama ayah beserta bin nya, dan juga nama simbok. Tanpa basa basi ayah memberitahukannya. Dukun kuring lalu merapalkan mantra-mantara di depan kepulan asap kemenyan itu. Ia lalu meniup atau lebih tepatnya menyemburkan sebuah udara dari mmulutnya ke arah menyan itu.
Tidak lama kemudian dari kemenyan itu menyala sebuah api.
Ayah sedikit terkejut. Namun ia kemudian kembali khidmat menatap dukun kuring yang sedang memejamkan mata dan merapalkan mantra-mantra.
Dukun kuring lalu membuka matanya. Ia mentap ayah dengan tatapan yang kosong. Namun mulutnya segera terbuka untuk mengucapkan sesuatu.
"Kembang kanthil, sembojo, melati tiga tangkup." Ucap dukun kuring dengan tatapan aneh dan juga suaranya yang sedikit berubah lembut. Namun kemudian terpejam lagi. Lalu ia merapal lagi mantra-mantranya.
Satu. Dalam batin ayah menghitung. Lalu otaknya pun mengingat.
Dukun kuring kemudian membuka mata. Dan berkata.
"Jangan tanya apapun sebelum aku mengatakan hal selain persyaratan yang kamu harus bawa nanti. Ingat apapun yang ku katakan, karena jika kamu bertanya setelahnya tidak akan kuberi tahu."
"Baik Ki." Jawab ayah sambil mengangguk.
Dukun kuring meremas mawar kembali dan menaburkannya di atas kemenyan itu. Asap kembali mengepul ke udara. Ia kemudian merapalkan mantra-mantra yanag tak ayah ketahui lalu terpejam kembali dengan tetap komat kamit.
Kali ini Ia tiba-tiba menarik napas sangat dalam namun belum sampai puncaknya ia terhenti. Kemudian Ia membuka mata kembali. Kepalanya menoleh kanan kiri, masih dengan tatapan kosong. Ia kemudian mengatakan sesuatu.
"Ayam Cemani panggang. Ndas wutuh." Ucap dukun kuring dengan suara yang berbeda lagi.
Maksudnya adalah cemani panggang dengan kepala yang masih utuh.
Dua. Agak mengerikan dengan kata kepala utuh. Rasa penasaran memang menumpuk dalam benak ayah. Tapi ia urungkan untuk bertanya lebih lanjut.
Dengan cepat dukun kuring kembali komat-kamit mulutnya. Tiba-tiba ia menggeram. Dengusan keras terdengar dari hidungnya. Matanya yang memejam perlahan membuka, namun pupilnya tengglam entah kemana. Hingga hanya terlihat bagian matanya yang berwarna putih saja.
"Selamat siang" Ucap dukun kuring tiba-tiba.
Ayah sedikit terkejut. Namun ia lalu bergegas membalasnya.
"Iya selamat siang Ki." Balas ayah.
"Bawakan aku dupa, dan telur ayam kampung yang baru pertama kali bertelur." Ucapnya lalu terpejam kembali.
Tiga. Ada-ada saja. Batin ayah. Bagaimana cara nya tahu ayam baru pertama atau tidak bertelur?
"Baik Ki." Jawab ayah mantap. Meski dalam batinnya mulai gelisah juga.
Dukun kuring kemudian seperti orang yang menggigil. Meski matanya tetap tertutup, namun Ia tetap mengatakan sesuatu.
"Bambu kuning dan kembang takir."
Empat. Apa? Kembang takir? Kali ini ayah benar benar tidak tahu. Apakah harus di tanyakan? Jawabannya adalah ya.
"Kembang takir?" Tanya ayah tak mengerti.
"Bunga tujuh rupa dalam daun pisang yang menyerupai mangkuk." Ucap dukun kuring.
"ohh,…baik Ki."
"Kalau begitu permisi." Ucap dukun kuring kembali.
"Baik Ki"
Kali ini ayah mulai memahami bahwa setia persyaratan yang diucapkan dukun kuring adalah dari sosok lain yang merasukinya. Itulah kenapa dukun kuring mengatakan bahwa ayah harus mengingat perkataan dukun kuring saat itu juga.
Merinding segera menjalari ke sekujur tubuh ayah. Ia tak menyangka tekadnya telah membawanya melangkah sejauh ini. Selama ini keluarganya di Semarang sangat lah jauh dengan perihal klenik. Bahkan hampir tidak percaya.
Mungkin yang merasuki dukun kuring sedari tadi adalah sosok yang ia sebut sebagai lelembut penjaga tujuh arus, yang kelak akan ia temui di ritual semedi topo jogo banyu nanti. Seperti yang di ceritakan dukun kuring sebelumnya. Begitulah tebakan dalam batin ayah.
Tiba-tiba saja dukun kuring bersin berkali-kali. Menimbulkan suara yang mengundang gelak tawa. Ayah sendiri kini sedang tertawa. Tapi kemudian ia segera mengatupkan mulutnya. Menyadari yang di hadapannya kali ini bukanlah manusia melainkan lelembut.
"Kain mori, kain mori, tujuh lembar." Ucap dukun kuring tiba-tiba.
Untuk persyaratan yang ke lima ini terdengar mengerikan bagi ayah. Meski demikian ia juga tetap menyanggupinya. Suara dukun kuring yang berubah menjadi anak kecil itu pun langsung menghilang setelah ia mengucapkan persyaratan yang ia inginkan.
Ini yang ke lima. Suara anak kecil itu serasa bergema di telinga.
Tiba-tiba dukun kuring membuka matanya lebar. Seolah ia sedang melototi ayah.
"Bawalah dua ekor kepala rusa kembar. Bungkus dengan kain mori. Dan bawalah kembang tujuh rupa. Masukkan kedalam sebuah bejana berisi air."