Semuanya berjalan dengan berat. Walaupun berat Amanda tetap tidak punya pilihan, ia harus tetap melanjutkan sekolahnya, membantu mamanya di toko roti, memasak makan malam, adu mulut dengan adik laki-lakinya dan lain sebagainya. Semua tetap harus di jalankan walau tidak senormal yang ia harapkan.
Lagi-lagi saat semuanya akan kembali berjalan normal, ada saja masalah yang menghampirinya. Toko roti mamanya berantakan, hampir semua roti berserakan di lantai toko. Lima orang karyawan mama sibuk membereskan toko. "Ma, ada apa?"
Mama menggeleng, air matanya mengalir frustasi. Ia bingung dengan kejadian yang tiba-tiba menimpa toko rotinya.
"Ada apa ini?" tanya Amanda pada salah satu karyawan di tokonya.
"Tadi ada banyak pembeli yang menyerang toko roti kita Mbak. Mereka mengatakan kalau keluarga mereka keracunan setelah mengonsumsi roti kita. Mereka menuduh kita menaruh zat berbahaya di dalam roti itu.
Amanda menatap tajam ke arah semua karyawan yang menunduk. "Siapa yang melakukannya? Hah? Siapa?" tanya Amanda marah. Siapa lagi yang akan melakukannya kalau bukan salah satu dari karyawan mereka sendiri.
"Mohon maaf Mbak, saya benar-benar tidak tau kalau tepung yang saya beli sudah kadaluwarsa. Saya tidak memperhatikannya," jawab salah satu karyawan sambil menunduk, matanya tampak berkaca-kaca dan ketakutan terhadap keteledoran yang ia perbuat.
"Ini keterlaluan. Kita akan kehilangan semua pelanggan kita, siapa yang akan membeli roti di toko kita lagi? Nama toko roti ini sudah tercoreng buruk. Apa yang bisa kamu lakukan hah? Kamu bisa bertanggung jawab?"
"Amanda!" Mamanya meninggikan suara, "Dia tidak sengaja, Nak. Jangan lanjutkan emosimu!"
"Tapi Ma … Bagaimana Mama akan membiayai kuliah Kak Aliya? Membayar SPP Amanda, Alan dan Ahmed? Kehidupan kita hanya bergantung pada toko roti ini Ma," ujar Amanda. Air matanya tak bisa ia tahan membayangkan kesusahan yang akan mamanya alami.
Mamanya melangkah mendekati Amanda, mengusap kepala putri kesayangannya dengan lembut. "Biar Mama yang memikirkannya Sayang. Tugasmu hanya bersekolah saja, belajar, jangan pikirkan bagaimana Mama akan membiayai sekolahmu, Kakak dan Adik-adikmu."
Amanda terisak, ia memeluk mamanya erat. Begitu berat beban yang dipikirkan mamanya saat ini, ia berusaha menghidupi keluarganya sendirian tanpa ingin menyusahkan siapapun. Semua karyawan memperhatikan itu dengan wajah sendu, sungguh beruntung mereka dapat bekerja di toko roti ini. Mungkin mereka semua sudah dipecat jika mendapatkan bos yang tidak akan peduli dengan nasib karyawannya.
Begitu pula dengan Yusuf, ia tertegun menyaksikan pemandangan itu. Tiga kali ia bertemu dengan Amanda dan ketiga kalinya Amanda selalu saja sedang menangis. Seberapa besar beban yang diperoleh wanita itu sampai-sampai mebuatnya begitu terpukul.
Hari itu Yusuf ikut untuk membereskan toko roti Amanda, mamanya sangat berterimakasih kepada Yusuf, Yusuf adalah pelanggan setia toko roti mereka yang baik. "Terimakasih, Nak. Seharusnya kamu tidak perlu membantu Ibu. Kau adalah pelanggan kami, tidak seharusnya kamu malah menata roti."
"Tidak masalah Bu, pekerjaanku juga sudah selesai. Jadi itu bukanlah masalah besar Bu."
Bu Hanum tersenyum, "Apa tidak mau ikut ke rumah? Kita akan makan malam bersama," tawar Bu Hanum ramah.
"Untuk apa Ma? Dia kan bisa makan malam di rumahnya,"
Bu Hanum memelototi Amanda, 'Jangan berbicara tidak sopan!'
"Ayo! Ibu akan tersinggung jika kamu menolaknya."
Yusuf tersenyum, "Baiklah Bu, aku akan ikut."
"Bapak gak akan mau masakan rumah saya, jadi mending gak usah deh Pak."
Bu Hanum kembali memelototi Amanda, "Ibu sudah membeli bahan masakan yang enak hari ini. Jadi, tidak perlu khawatir."
Yusuf tetap tersenyum, ia adalah orang yang paling murah senyumnya diantara orang yang pernah ditemui oleh Amanda dan itu menyebalkan sekali.
Terpaksalah acara makan malam itu dilaksanakan di rumahnya. Alan riyuh sejak pertama kali melihat Yusuf datang ke rumah. "Itu pacarnya Kak Amanda ya Ma?" tanya Alan tiba-tiba muncul di dapur.
"Bukan. Asal main tebak aja lo, sana lo di depan aja! Ngapain ke dapur? Gak bantuin juga," omel Amanda membuat Alan tertawa terpingkal-pingkal.
"Lo malu-malu kucing ya Kak. Padahal jelek gitu sok jual mahal," ejek Alan melanjutkan tawanya.
Hampir saja Amanda melempar Alan dengan paha ayam yang sedang dibersihkan olehnya. Untung mamanya dengan cepat meredakan amarah Amanda dan menyuruh Alan untuk kembali ke ruang tamu.
"Gara-gara Mama nih."
Bu Hanum tertawa tetap melanjutkan pekerjaannya. Ia tau jika putrinya sedang punya masalah dengan Dion, ia sengaja mengajak Yusuf ke rumah mereka karna siapa tau Yusuf bisa mengobati perasaan Amanda. Dengan alasan mamanya sering melihat Yusuf diam-diam memerhatikan Amanda yang sedang menata roti-roti atau ikut menjaga kasir.
Selesai shalat magrib berjamaah Amanda membantu mamanya menata semua makanan di meja makan. Ahmed ikut membantu, walau hanya membawa sendok makan saja. Ahmed memang sangat berbeda jika dibandingkan dengan Alan si adik yang suka usil dan setiap hari makin memperburuk suasana hatinya.
"Ayo biar aku yang membantumu!" ujar Yusuf pada Ahmed membantunya menata sendok dan piring.
"Terimakasih," ucap Ahmed tersenyum memperlihatkan giginya yang kurang satu alias ompong.
Yusuf tersenyum, anak itu begitu manis sangat mirip dengan Amanda.
"Bang! Lo tau gak Bang kalau Kak Amanda baru aja diselingkuhin pacarnya. Jadi gue saranin nih kesempatan lo buat deketin dia," ujar Alan dengan santai tanpa peduli Amanda juga ada di meja makan.
Amanda mengangkat centong nasi yang ia pegang mengancam Alan.
"Alan … Jangan buat keributan!"
Amanda menjulurkan lidahnya. Mamanya sudah pasti akan membelanya jika dibandingkan bocah nakal yang suka mengusilinya seperti Alan itu.
"Silahkan dicicipi Nak Yusuf!" ujar Bu Hanum lembut. "Sup ayam ini Amanda yang memasaknya spesial."
"Ma …."
Bu Hanum nyengir, sedangkan Alan malah tertawa terpingkal-pingkal. Kali ini mamanya berpihak padanya bukan pada kakaknya.
Acara makan malam sederhana itu berlanjut dengan baik, sesekali Alan menggoda dan Ahmed hanya memerhatikan tidak terlalu paham. Ia tidak merespon percakapan kakak-kakaknya, anak itu sibuk dengan paha ayam di dalam piringnya.
"Lo mau langsung pulang Bang?" tanya Alan saat melihat Yusuf kembali mengenakan jasnya.
"Tentu Alan. Besok aku masih harus bekerja," jawab Yusuf.
"Kalau punya waktu lo ke sini lagi ya Bang. Kita main play station bareng. Lo bisa kan?"
"Alhamdulillah bisa. Aku sering memainkannya dengan keponakanku."
Ahmed menarik-narik jas Yusuf, "Tidak bisa lebih lama di sini?"
Yusuf menggeleng, ia menggendong Ahmed. "Tidak bisa Ahmed, kalau aku punya waktu kosong aku akan mengunjungi kalian kembali. Ahmed ingin dibawakan apa?"
"Ahmed ingin pesawat Om. pesawat Ahmed sudah rusak."
"Eh, jangan panggil Om, Med. Panggil Kakak atau Abang biar sama kayak gue," kata Alan sambil mengedipkan mata pada Yusuf,
Yusuf tersenyum, "Baiklah besok akan kubelikan pesawat baru untukmu."
Mata Ahmed berbinar, ia sangat senang dengan jawaban dari Yusuf.
"Sama Kakak aja Dek, itu Om nya mau pulang," ujar Amanda mengambil Ahmed di dalam gendongan Yusuf.
"Kakak bukan Om," bantah Ahmed membuat Alan tertawa dan Yusuf tersenyum.
Amanda tidak menjawab apa-apa, dia bukan Alan yang mau saja berdebat dengan Ahmed.
Yusuf pamit pulang, ia menyalami Bu Hanum sopan. Yusuf adalah orang yang agamis, ia menyalami seseorang yang bukan mahramnya sesuai dengan syariat. Banyak hal yang memang belum mereka ketahui tentang Yusuf karna sejak kemarin Yusuf saja yang selalu mengetahui tentang kehidupan Amanda.
Sebelum pergi Yusuf sempat mengungkapkan kata-kata yang tidak pernah mereka duga, itu terlalu mendadak untuk Amanda dan keluarganya. "Apakah aku boleh melamar Amanda Bu?"