webnovel

Demam

Sepelan mungkin Kira membuka sepatu Ryan, agar tak membangunkan Ryan yang sudah terlelap. Saat ini, Ryan memang sangat lelah, sehingga tetap terlelap saat Kira membuka sepatunya.

"Hmmm.. Apa yang harus aku lakukan sambil menunggunya tidur, ya?" Kira yang duduk di sofa bed dalam kamar yang sama di tempat Ryan tertidur, berpikir sambil memandangi cahaya kota Bandung dari dalam kamar. Sudah sejam Ryan tertidur. Bahkan, hingga waktu Isya tadi datang dan Kira juga sudah menyelesaikan Isyanya, masih belum nampak Ryan akan bangun. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Kira yang juga tak tidur pulas semalam, ikut ketiduran di sofa bed.

01:00 dini hari

"Hoaaam!" Kira menutup mulutnya dengan tangannya. "Aku ketiduran, jam berapa ini?" Kira merenggangkan badannya, dan menurunkan kakinya ke lantai, menengok ke arah Ryan, yang masih tidur dalam posisi sama,.

"Apa enak ya, tidur seperti itu? Apa sebaiknya aku pindahkan saja posisi tidurnya? Mana dia besar dan berat, lagi.." Kira berjalan mendekati Ryan dan duduk di sisi tempat tidurnya, hendak mengangkat ke atas.

"Astaghfirullah! Ryan.. Ryaaaan.. Ryaaan... Ah, suamiku..." Kira sangat panik dengan suhu tubuh Ryan yang meninggi. Kira berusaha mengangkat Ryan untuk tidur dengan benar

"Ughh.. Berat sekali.. Ryan.. Kau kenapa bisa demam begini. Kau kan kuat, kenapa kau bisa sakit juga?" Kira sangat ketakutan dalam hatinya, tak tahu apa yang harus dilakukannya.

"ShaKira Chairunisa.. Ah apa-apan dia menarikku kasar seperti ini.. Dan kanapa dia menangis? Hufff.. Kepalaku sakit sekali, badanku juga.. Apa karena tadi malam aku mandi dengan air dingin? dan demam sekarang?" Ryan baru saja terbangun, tapi Ryan belum sadar seratus persen dan masih bertanya dengan hatinya.

"Ryan.. Bangun Ryan.." Kira sudah menangis, seperti kehabisan akal harus melakukan apa.

"Bodoh.. kenapa menangisiku seperti itu? Apa kau sangat khawatir padaku?" Ryan menyeringai dan memperhatikan Kira yang sedikit dengan mengintip dari celah lengan tangan yang menutupi matanya.

"Hey, aku belum mati, kenapa menangisiku seperti itu?" Ryan bicara masih menutup matanya dan wajahnya terlihat sangat pucat.

"Ryan.. Kau bangun." Kira memeluk erat Ryan dan masih menangis.

"Dia benar sangat ketakutan dan mengkhawatirkanku? Hahahah! Kau sangat manis, Shakira Chirunisa!" melihat Kira seperti sekarang, Ryan sangat bahagia. Ada rasa senang melihat seseorang selain Asisten Andi benar-benar memperhatikannya secara tulus.

"Hey, berhentilah.. Jangan menangis! Handphoneku!" Ryan berbicara dengan suaranya yang masih tegas, cuma lebih pelan.

"Ah, handphone!" Kira bergegas mengambil handphone Ryan dan memberikannya ke Ryan.

"Ini, suamiku.."

"Telepon Andi!" Ryan hanya membuka finger printnya dan memberikan instruksi pada Kira untuk menelepon Andi.

"Aku boleh pakai handphonemu?"

Ryan mengangguk.

"Aku sudah mempercayakan hatiku padamu.. Mana mungkin aku tak mempercayakan hatiku padamu, Shakira Chairunisa!" gumam Ryan, yang masih berbunga-bunga melihat kepanikan Kira yang melihatnya sakit.

"Iya, Tuan Muda?" Asisten Andi menjawab

"Asisten Andi.. Tolong aku, Ryan sakit.. Tolong lakukan sesuatu badannya sangat panas!" suara Kira yang masih menunjukkan habis menangis, membuat Asisten Andi sedikit cemas.

"Nyonya muda?"

"Iya ini aku.. Tolong cepat lakukan sesuatu.."

"Baiklah.. Aku akan menelepon Dokter Lusi. Ehm... Bisa tolong buka pintu depan?"

"Ah, iya.. Sebentar aku buka pintu!"

Klik

Kira menutup teleponnya.

"Ryan.. Aku boleh membuka pintu depan dulu untuk asisten Andi?"

Ryan menggeleng.

"Suruh tunggu di luar sampai Lusi datang!"

"Ah, baiklah.. Aku tulis pesan boleh?"

Ryan mengangguk.

Kira segera mengetik pesan untuk Asisten Andi, supaya bisa kembali mengurus Ryan.

"Asisten Andi, suamiku tak mengizinkanmu masuk. Tolong tunggu sampai dokter Lusi datang ya.. aku akan membuka pintu."

Send

Pesan sudah terkirim, dan Kira menaruh kembali handphone Ryan di bed, lalu kembali ke Ryan.

"Kau mau apa?"

"Membuka dasi, jas, sabuk dan melonggarkan kancing bajumu. Aku mau mengompresmu." Kira menjelaskan dan mulai melakukan apa yang tadi sudah dijelaskannnya. Mendengar kata Dokter Lusi akan datang, membuat Kira lebih tenang dan dia bisa kembali fokus dan menentukan apa yang harus dilakukan untuk Ryan

"Kau sangat manis seperti ini, ShaKira Chairunisa. aku suka kau yang seperti ini.. Kau sangat memperhatikan dan menjagaku disaat aku sakit.. Huuuuh.. Kau terlihat semakin cantik.. Yang aku ingat, terakhir kali seseorang yang sangat khawatir saat aku sakit, adalah ibuku, sebelum kecelakan itu! Sebelum ayahmu membunuh ibuku. Dan kenapa aku harus menyukaimu? Padahal kau anak pembunuh orangtuaku!" hati Ryan kembali sakit mengingat ibunya. Tapi melihat Kira memperhatikannya seperti sekarang, Ryan juga tak tega umtuk menyalahkan Kira atas kematian orangtuanya.

"Suamiku, Tunggu sebentar, aku ambil kompresmya dulu!"

Setelah Ryan mengangguk, Kira segera mengambil air panas lalu ke kamar mandi untuk mengompres Ryan.

"Kenapa membuka bajuku?" tanya Ryan ketika Kira kembali dari kamar mandi.

"Aku ingin mengompresmu, suamiku.." Kira bicara sambil memeras handuk kecil untuk mengompres kepala, dada, dan perut Ryan. Kira juga memijat Ryan, di kaki, dan kepala Ryan.

"Aaah, sakit.. hentikan tanganmu!"

"Sssstt! Badanmu akan enakan, suamiku.. Kamu akan baik-baik saja.. Ini namanya akupuntur. Tenanglah, aku ga akan menyaitimu." Kira terus melanjutkan memijat, walaupun Ryan masih memarahinya sedikit dan kesakitan.

"Sssh.. Apa yang dilakukannya? Akupuntur? Apa dia benar-benar bisa? Sakit sekali semua yang dipegangnya, tapi, dia terlihat sangat khawatir padaku. Bahkan sampai sekarang, dia masih menangis seperti itu? Apa dia sangat mengkhawatirkanku? Apa dia sangat memperdulikanku? Ah, baiklah, aku akan menahan semua rasa sakit akibat akupunturmu ini.. Anggap ini kompensasi yang aku berikan karena kau sudah memperdulikanku" ada rasa senang dan bahagia dalam hati Ryan melihat perhatian Kira saat ini.

Ryan lebih merasa rileks saat Kira memijat kepalanya.. tak ada lagi makian dan marah-marah pada Kira. Pijatan di kepala Ryan tidak sesakit pijatan di kaki Ryan. Membuatnya lebih bisa menikmati dan lebih rilex.

"Berhentilah memijat, kau sudah memijatku dari tadi. sekarang kondisiku sudah lebih baik. Duduk di dekatku, sini"

Kira menggeleng

"Aku ga mau. Aku mau pastikan kau benar-benar sudah baikan dan ga meriang lagi.. Aku ga bisa melihatmu seperti ini Ryan. Aku ingin kau sembuh!" Kira tetap memijat Ryan tanpa memperdulikan celoteh Ryan yang menyuruhnya untuk duduk

"ShaKira Chairunisa, kau tak ingin mendengarku?"

"Suamiku, kau sedang sakit, jangan banyak bicara. Orang sakit itu harus mendengar kata-kata orang yang sehat. Jadi, kau harus mendengar kata-kataku! Mengerti?"

"Hey, apa kau bilang? Sejak kapan kau bisa memerintahku?" Ryan mulai terpancing lagi emosinya dan ingin duduk.

"Sejak aku bilang kalau aku mencintaimu.. Maka aku akan menjagamu. Aku mendengarkanmu selagi kau sehat. tapi kalau kau sakit seperti ini, kau harus mendengarkanku, Ryan."

"ShaKira, kau.."

"Sssssttt.. Jangan berisik.. Kau harus cepat sembuh.. Sabarlah.. jangan bicara macem-macem.." kira manaruh jari manisnya di bibir Ryan, membuat Ryan diam dan menatap jauh ke dalam mata Kira.

"Dengarkan aku.." tangan Ryan menarik Kira mendekat setelah mengatakan kalimatnya tadi. Ryan masih memiliki tenaga untuk menarik Kira terjatuh di dekatnya. "Aku akan mendengarkanmu selama aku sakit ini. Tapi keputusan tetap ada padamu, aku mau lakukan atau tidak kalau aku merasa bisa mendapat kerugian hampir sebear kota Nagasaki, aku tak akan segan-segam untuk menghabiskanmu, ShaKira Chairumis!" Ryan sudah menyeringai tersenyum.

"Ryan.. Baiklah aku ingat itu. Aku juga tak ingin kau rugi, jadi aku akan lakukan yang terbaik untuk dirimu."

"Handphoneku!" Ryan mengingatkan Kira bahwa handphonenya berhetar

"Ah, iya.. Sebentar aku angkat." Kira mengangkat dan membuat loud speaker

"Halo?"

"Dokter Lusi sudah datang, tolong bukakan pintunya."

"Ah, Baik Asisten Andi. Tunggu sebentar, aku akan bukakan pintu."

Klik

"Hmmm... Suamiku aku ke atas dulu untuk membuka pintu.

"Pegang tanganku!" Ryan berusaha bangun dan menahan pening di kepalanya.

"Ah, kau mau ke mana?" Kira mencegah Ryan untuk bangun.

"Ayo, ke atas! Pakai penutuo wajahmu!"

"Oh, Iya aku lupa!" kira memakai niqobnya sambil melanjutkan kalimatnya pada Ryan. "Kau tak perlu mengantarku.. Aku berani ke atas sendiri!"

"Memang kau pikir aku mau ke atas untuk menemanimu? Aku hanya menjaga harga diriku di depan nenek tua itu! Ambilkan sandal!"

"Baik, tunggu sebentar."

"Huuuh. Sudah sakit, harga diri tetap saja di nomor satukan! Dasar!" Kira ngedumel

"Kau pikir aku tak tahu kalau kau takut tinggal di rumah sebesar ini? Dan apa kau pikir aku begitu lemah menyuruhmu jalan sendiri membuka pintu? Hah, kau ni.. Kau belum mengenalku seutuhnya!" gumam Ryan.

"Ini sandalnya!" Kira menaruh di depan Kaki Ryan.

"Ayo!"

Ryan dengan sigap mengambil tangan Kira dan membawa tubuh Kira kembali ke dalam rangkulannya, menyusuri lorong, tangga ke atas menuju lantai atas dan menuju pintu rumah.

"Tetap di sampingku!" perintah Ryan sebelum membuka pintu villa.

"Lusi.. Kau membawa Farida?"

Hai kakak semua, mohon maaf aku coba buat nulis lebih, tapi belum bisa, dan untuk nulis bab ini pun membutuhkan bantuan suamiku untuk edit kata. mohon doanya, supaya aku bisa sehat lagi dan nulis lebih seperti sebelum-sebelumnya..

Ri_Chi_Richcreators' thoughts
Chương tiếp theo