Langkah pelan kakinya membawa Reva ke luar dari kantor. Angin berhembus kencang mengenai kulit bahkan tidak mengusik kekalutan yang sedang wanita itu rasakan. Reva Adinda Gumilly, atau biasa dipanggil Reva, lagi-lagi mendapat kabar kurang mengenakan dari Ayu, Ibu kandung Reva.
'Ayah kamu masuk rumah sakit lagi, Re.'
'Ayah kamu harus rawat inap, uang Ibu kurang.'
Masih teringat betul kata-kata Ayu berputar di dalam otaknya. Sebetulnya, uang gajian kemarin masih utuh Reva simpan. Maka dari itu selepas pulang kerja dia bergegas pergi untuk segera ke rumah sakit.
"Kalau kayak gini uang gue ga cukup, harus cari uang ke mana ya buat jaga-jaga?" guman Reva, sambil terus berjalan menyusuri trotoar.
Langkah kaki Reva terhenti, dia seketika mengingat tawaran kerja yang Nidya tawarkan di salah satu pusat hiburan malam. Nidya memang tidak bisa mejamin apa-apa, tetapi dia bisa menjamin kalau berapapun uang bisa dia dapatkan secara cepat. Reva tahu ini jalan yang salah, tetapi tidak ada pilihan lain.
Setelah memantapkan hati Reva mencoba untuk menghubungi temannya itu. Tidak butuh waktu lama, Nidya langsung mengangkat. Setelah tahu apa maksud tujuan Reva menghubungi, dengan antusiasnya dia membantu.
'Well, perjalanan baru lo segera di mulai, Re,' batinnya.
***
Satu jam lamanya Reva menghabiskan waktu di jalan, sampai pada akhirnya kini dia sampai di tempat tujuan. Wirrelas Gluss, adalah tempat Nidya bekerja. Kedua mata Reva memicing saat dia mendapati seseorang tengah melambaikan tangannya. Senyum Reva mengembang, itu adalah Nidya.
"Macet ya, Re? Lo dari kantor?"
"Banget, Nid. Iya gue baru aja pulang, jadi gimana, Nid?
Nidya tersenyum, dia mengamati Reva dari ujung kepala hingga kaki. Senyumannya semakin lebar ketika dia merasa semua sempurna. Tangan Nidya terulur menarik pergelangan tangan Reva agar segera masuk. Sebetulnya Reva sangat tidak asing dengan tempat ini. Dahulu dia pernah bekerja juga di salah satu club, hanya saja semuanya pekerjaan normal.
"Nanti gue kenalin sama Robert, lo tenang aja. Lo itu cantik, pas, gue yakin bos suka sih. Bahkan ya, Re, lo bisa dapet malam ini juga."
"Ga usah bikin gue terbang lo!"
"Nidya!"
Bukan hanya Nidya, Reva pun ikut menoleh saat seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Reva yakin, itu adalah Robert yang Nidya maksud.
"Jadi ini yang namanya Reva?"
"Benar! Masih bersih, yakin sama gue."
Robert mengangguk-anggukan kepalanya, dia berjalan mengelilingi Reva sambil terus menatapnya. "Sempurna! Modelan kayak kamu, malam ini saya kasih khusus."
"Tunggu dulu!"
"Ini gue cuma temanin ngobrol aja, 'kan? Ga lebih?" Reva melirik Nidya dan Robert secara bergantian.
Robert mengangkat tangannya seraya menyuruh Reva untuk diam sejenak. Robert mengambil ponsel miliknya yang berada di atas meja, dia mencari chat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Setelah menemukan apa yang dicari, senyumnya mengembang sangat lebar.
"Malam ini ada tamu, lima ratus juta untuk satu malam. Dia cari yang fresh, dan itu cocok buat kamu."
"Hah? Gila ya kalian? Gue ga mau kalau begitu, gue kira cuma sekedar ngobrol! Bukannya lo juga bilang begitu, Nid?" Reva menatap Nidya.
Nidya mengangkat bahunya. "Itu terserah lo, Re. Bukannya lo bilang lagi butuh biaya banyak buat rumah sakit bokap?"
'Sial!' Reva mengumpat dalam hati. Keadaan benar-benar mendesaknya, mau bagaimanapun Reva membutuhkan uang itu.
"Lima ratus juta, Re."
Setelah berfikir cukup lama, akhirnya Reva menyetujui semuanya. Perdebatan sengit antara otak dan hati benar-benar membuatnya semakin pusing terlebih saat dia mengingat soal rumah sakit.
"Good job, Reva! Tamu udah datang, kamu bisa langsung temuin di room nomer 104. Enjoy, Reva."
"Bisa aja lebih kalau lo mengesankan di mata dia," bisik Nidya.
Reva mendengus kesal mendengar bisikan Nidya, dia meraih tasnya dengan kasar lalu berjalan ke arah tangga untuk segera ke kamar tujuan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Reva, kini dia sudah berdiri di depan kamar nomer 104.
Sumpah demi apapun, jantung Reva berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Reva melakukannya. Tarikan napas dalam-dalam, lalu dia menghembuskannya dengan perlahan.
'Tok..tok..tok'
"Masuk!"
Kedua pupil mata Reva membulat takala mendengar suara berat dari balik pintu. Perlahan Reva membuka pintu tersebut, lalu menatap seorang pria yang kini membelakanginya.
Pria berperawakan tinggi, kekar, membuat nyali Reva hampir ciut. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi, Reva memilih diam sambil menundukan kepala.
"Saya tidak mau basa-basi, saya bayar kamu bukan untuk jadi patung."
"S-saya har-"
"Silahkan ke kamar mandi, gunakan pakaian yang sudah saya siapkan. Waktu kamu cuma lima menit, dan itu dari sekarang," titah pria tersebut tanpa menoleh.
Tanpa berlama-lama lagi Reva langsung masuk ke dalam kamar mandi, dia menatap kotak berwarna biru, lalu membukanya. Kini sebuah lingerie berwarna merah terpampang nyata di depan matanya. Sangat tipis, apa iya dia harus memakainya?
"Hanya lima menit!"
Reva tersentak kaget, buru-buru dia memakai pakaian tersebut lalu menatapnya di depan cermin. Bahan yang tipis membuat tubuh Reva terlihat dengan jelas. Reva semakin ragu untuk ke luar, dia lebih memilih untuk menatap dirinya sekali lagi. Rambut yang awalnya terkuncir, kini dia gerai untuk menutup tubuh bagian atasnya.
'Ceklek'
Pintu kamar mandi terbuka, Reva berjalan pelan menuju ranjang. Perlahan pria di depannya membalikan tubuhnya, kedua pandangan mereka beradu, saling menatap dalam diam.
"P-pak Se-sean?"
Sean menganggukan kepalanya. Sama dengan Reva, awalnya Sean sangat kaget, tetapi dia berusaha untuk tenang. Boleh saja di kantor mereka saling kerja, tetapi di sini tentu saja pekerjaannya berbeda.
"Kemari, mendekat," titah Sean, sambil mengulurkan tangannya. Wajah cantik dan tubuh indah milik Reva benar-benar membuat Sean terpanah, terlebih lingerie berwarna merah yang senada dengan kulit putihnya.
Jarak keduanya mulai terkikis, Sean mendekatkan wajahnya ke arah telinga Reva. Sial, aroma parfum yang melekat di tubuh Reva membuat nafsunya semakin bergejolak.
"Ini bukan kantor, saya juga sudah bayar kamu, lakukan tugas kamu malam ini dengan baik, Reva," bisik Sean tepat di telinga Reva.
Belum sempat Reva menjawab, Sean sudah lebih dulu mendekapnya. Hembusan napas yang bergemuruh membuat Reva memejamkan mata. Sean mengangkat wajah Reva, dia mengecup bibirnya yang sejak tadi sangat menggoda. Kecupan singkat itu kini berubah menjadi pangutan menuntut.
Kedua tangan Sean tidak bisa diam, dia sangat aktif menurunkan tali lingerie yang melekat pada tubuh Reva. Reva memekik saat tangan kekar Sean menyentuh dua benda milik Reva. Bukan hanya itu, tangan satunya pun mulai menyentuh area sensitifnya. Gerakan yang kasar membuat Reva meringis, tetapi dia memberi Sean akses untuk menyentuhnya lebih lanjut.
Napas Reva terengah saat pangutannya terlepas. Dia memandangi Sean yang mulai membuka seluruh pakaiannya. Reva mundur, dia terduduk di tepi ranjang. Apa malam ini semua akan berakhir?
"Saya tidak punya banyak waktu malam ini, mari kita percepat." Sean mendorong tubuh Reva, dia dengan bebas menjelajahi setiap inci tubuh wanita di depannya.
Reva bergeliat saat merasakan sensasi geli dari bawah sana.
Gejolak yang sudah memuncak, membuat Sean langsung memulainya. Teriakan Reva yang kencang membuat Sean menutup mulutnya rapat-rapat. Ini aneh, tidak seperti biasanya. Saat Sean menunduk dia sangat terkejut ketika melihat bercak merah di atas sprei putihnya.
"K-kamu masih perawan?" Sea menatap wajah Reva dengan tidak percaya, terlebih saat Reva mengangguk.
"Sial! Sebut berapapun nominal yang kamu mau, asalkan kamu bisa melakukannya dengan baik."
Kesempatan ini tidak Sean sia-siakan, dia juga tidak akan melepas Reva setelah ini.
***