webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · Lịch sử
Không đủ số lượng người đọc
240 Chs

30. Lukisan Pengungkap

Hari sudah sore, saatnya mencari tempat untuk bersiap menghangatkan diri daripada harus merasakan dinginnya malam di suatu tempat yang jauh sekali dari pemukiman. Seruni memasuki sebuah goa dengan menuntun kudanya. Sedangkan gadis yang ia tolong itu masih pingsan, badannya diselampirkan di punggung kuda. Setibanya di dalam, dia mengangkat tubuh gadis itu dan menyandarkannya pada dinding goa setelah dia gelarkan selendangnya sebagai alas.

Seruni memberikan gadis itu air minum dari kendi perbekalannya. Kemudian gadis itu batuk seolah tersedak oleh air minum yang Seruni berikan. Dia membuka matanya perlahan dan langsung terkejut melihat Seruni hingga dia agak menjauhkan posisi sandarnya.

"Siapa kamu?" tanya Gadis tersebut.

"Tenang..., tenang...! jangan takut Nyi Sanak. Kamu aman bersamaku," ucap Seruni menenangkan.

"Apa yang baru saja terjadi?"

"Seorang lelaki mencoba hendak membahayakanmu, aku melihatnya dan langsung menahannya. Dia sudah hilang jatuh ke dasar jurang ketika aku balas menyerangnya. Kemungkinan dia sudah mati. Tenang, kamu aman bersamaku."

Gadis itu mempercayai apa yang Seruni katakan dan seketika terdiam tenang tanpa merasa takut lagi.

"Namaku Seruni. Kamu?"

"Nirmala."

"Dari mana asalmu?" tanya Seruni.

"Aku dari desa Nanjung."

"Di mana itu?"

"Di Kadipaten Mandi Wunga."

"Itu tidak jauh dari sini."

"Aku harus segera pulang, ibuku pasti sedang mencariku."

"Istirahat saja dulu, hari sudah mulai gelap. Besok ku antarkan kamu pulang."

"Terima kasih Nyi Sanak sudah menolongku. Dari mana Nyi sanak ini?"

"Jangan panggil Nyi Sanak. Panggil Seruni saja," pinta Seruni. "Aku dari Bangkalan, Pulau Madura. Aku seorang pendekar pengembara."

"Apa yang membuat wanita muda seperti mu menjadi pendekar pengembara?" tanya Nirmala.

Seruni menghela nafas sejenak dan tersenyum. "Aku sedang mencari keberadaan ibu ku."

Kemudian Seruni menceritakan semua kisah hidupnya sama seperti yang diceritakannya kepada Jayendra tempo hari.

***

Sementara itu, di rumah Sunda Manda. Margasari sudah siap untuk melukis. Jayendra, Utkarsa, Utpala, dan Sunda Manda menemaninya. "Baiklah, sudah siap," ucap Margasari memberitahu.

"Dari mana aku mulai menyebutkan ciri-cirinya?" tanya Utpala.

"Tidak perlu, Paman. Mendekatlah kemari, cukup bayangkan rupa orang tersebut," ujar Margasari sambil mengambil posisi duduk yang nyaman.

Semua yang di situ keheranan, kecuali Sunda Manda yang memang sudah paham bagaimana cara anaknya itu melukis.

"Maksudmu, kamu mau masuk ke dalam pikiran Paman Utpala?" tanya Jayendra heran.

"Iya begitulah, Kakang. Aku memadukan Ajian Herdaya dengan kemampuanku dalam melukis," jawab Margasari yang sudah mulai memegangi kuas dan mencelupkan ke dalam cairan pewarna. "Baiklah Paman Utpala, sekarang pejamkan matanya dan bayangkan rupa orang tersebut. Tolong jangan membuka mata sebelum aku memintanya."

Utpala memandang ke arah Utkarsa. Saudara kembarnya itu pun mengangguk pelan seolah berkata, 'lakukan saja.' Utpala pun mulai menurutinya.

Mereka menunggu Margasari menyelesaikan lukisannya. Mereka duduk berseberangan dengan posisi Margasari melukis, sehingga tidak ada yang bisa melihat langsung goresan kuas pada kanvasnya.

Hari sudah mulai gelap, selagi mereka menunggu hasil lukisan Margasari, Sunda Manda bangkit dari duduknya untuk menyalakan lampu temaram di dalam dan di luar rumah. Ketika dia membuka pintu menuju teras, tiba-tiba seseorang mendatanginya. Seorang wanita setengah tua dengan langkah tergesa-gesa menghampiri Sunda Manda yang sedang menyalakan api temaram di teras rumahnya.

"Sampurasun, Ki Manda...!" ucapnya.

"Rampes...!"

"Maaf, Ki. Apa Margasari ada di rumah?"

"Ada. Ada apa, Nyi Sadah?"

"Tolong, panggilkan sebentar, Ki!" pinta wanita yang bernama Nyi Sadah itu.

Sunda Manda menghela nafas, "baiklah, tunggu sebentar." Dia pun masuk ke dalam untuk memanggil putrinya itu.

"Nyi Sadah ada di luar mencarimu, Nduk. Temui dulu sebentar!"

Margasari meletakkan kuasnya dan bangkit dari duduknya. "Sebentar ya, Paman," izinnya. Dia pun keluar menemui Nyi Sadah.

"Ada apa, Bibi?"

"Apa Nirmala bersamamu?" tanya Nyi Sadah.

"Tidak, Bi!"

"Aduh, gawat!" Nyi Sadah mulai panik.

"Kenapa, Bi?"

"Nirmala sejak pagi pergi dari rumah sampai sekarang belum pulang. Dia bilang akan menemui mu sebelum kamu berangkat ke Caruban."

"Hari ini aku belum bertemu dengan Nirmala. Jangan-jangan...."

"Iya, aku khawatir dia pergi bersama Raden Sukmaraga."

Mendengar nama Sukmaraga, Jayendra turut keluar. Sunda Manda dan Utkarsa pun menyusul, sementara Utpala masih duduk bersila sambil memejamkan matanya.

"Maaf, ada apa ini?" tanya Jayendra. "Aku mendengar ada yang menyebut-nyebut nama Raden Sukmaraga."

"Kamu mengenalnya, Kang?" tanya Margasari.

"Aku baru bertemu sekali. Kebetulan aku juga punya urusan yang belum selesai dengannya," jawabnya.

"Aku pun hanya tahu dari cerita yang disampaikan Nirmala. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Raden Sukmaraga," ujar Margasari. "Nirmala adalah anak perempuan dari Nyi Sadah, dia sedari pagi belum pulang. Kemungkinan dibawa oleh Raden Sukmaraga," terang Margasari.

"Diculik?"

"Belum tahu. Sebab dia adalah kekasihnya."

"Aduh,... Bagaimana ini?" gusar Nyi Sadah yang mulai gelisah.

"Tenang, Nyi. Kalau pria itu kekasihnya, kita tunggu saja. Mungkin anak Ibu akan diantar pulang sebentar lagi," ujar Jayendra menenangkan.

"Siapa Sukmaraga?" tanya Utkarsa.

"Dia anak dari Tumenggung Aria Laksam," jawab Jayendra.

"Setahuku namanya Asmaraga."

"Itu adiknya, Paman. Kalau Sukmaraga adalah Kakaknya."

"Aku baru tahu kalau Tumenggung Laksam punya dua putra. Ku pikir Asmaraga anak tunggal," ujar Utkarsa. "Eh, sebentar. Margasari, apa lukisanmu sudah selesai?" lanjutnya.

"Oh iya, hampir lupa."

Margasari pun masuk kembali, dan meminta Utpala membuka matanya yang sedari tadi terpejam. Kemudian dia keluar lagi membawa lukisan itu disusul Utpala setelah bangkit dari duduknya.

Semua orang melihat lukisan itu, Utkarsa dan Utpala keheranan karena hasil lukisannya sangat mirip dengan Saga Winata yang pernah mereka temui. Namun kekaguman mereka akan hasil lukisan Margasari tak harus berlama-lama. Kini ada seorang ibu yang perlu dihilangkan kekhawatirannya atas anaknya yang belum kembali.

Jayendra melihat hasil lukisannya dan langsung terkejut.

"Wah gawat...! Sungguh gawat...!" seru Jayendra.

"Apanya yang gawat, Jayendra?" tanya Utkarsa.

"Anak Nyi Sadah dalam bahaya. Harus sekarang juga kita cari sebelum semuanya terlambat!"

Semua tidak paham dengan maksud Jayendra yang tiba-tiba menyerukan untuk mencari Nirmala.

Jayendra bergegas masuk kembali untuk mengambil pedangnya beserta barang perbekalannya. Kemudian dia pun keluar.

"Nyi Sadah sebaiknya tunggu di rumah. Ayo semuanya, kita cari Nirmala sekarang!" ajak Jayendra.

Semua orang nampak hanya melongo kebingungan dengan sikap Jayendra yang aneh.

"Margasari, kamu juga harus ikut supaya pencarian bisa lebih mudah. Karena kamu yang kenal dengan Nirmala,"

"Aku pasti ikut mencari nirmala, Kang. Dia sahabatku satu-satunya." Margasari pun masuk ke dalam rumah untuk bersiap-siap.

"Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah sikap, Jayendra?"

"Kita memang harus mencari Sukmaraga...!" Seru Jayendra yang mulai melepaskan ikatan tali kuda yang semula terikat di pohon.

"Kita tidak harus mencari Sukmaraga untuk membawa pulang Nirmala. Mereka sepasang kekasih yang mempunyai urusan pribadinya sendiri," jawab Utkarsa.

"Tetapi hari sudah malam begini, Karsa. Dia perempuan muda. Pria baik-baik akan tahu batas wajar untuk membawa pergi anak gadis orang. Apalagi dengan tanpa izin." ujar Utpala.

"Orang yang sedang kasmaran tidak akan peduli dengan waktu. Apakah masih sore atau sudah larut malam."

"Aku paham soal itu. Tetapi bukan itu maksudku," sangkal Jayendra.

"Lalu kenapa?" tanya Utkarsa.

"SUKMARAGA ADALAH SAGA WINATA...!"

Mereka semua terkejut mendengar itu.

Utkarsa dan Utpala pun bergegas mempersiapkan diri dan menuju kudanya masing-masing. Disusul Margasari yang meminta izin kepada Ayahnya untuk ikut mencari Nirmala. Ayahnya pun mengizinkan. Sementara Nyi Sadah memutuskan untuk pulang menunggu mereka kembali membawa putrinya dengan selamat.

"Orang yang sedang kasmaran tidak akan peduli dengan waktu. Apakah masih sore atau sudah larut malam."

Sigit_Irawancreators' thoughts