Part belum di revisi.
Typo bertebaran.
Happy reading.
***
"Benar-benar sebuah keburukan,"
Kata-kata itu terlalu berat di telinga Ernest. Senyumnya terukir pelan dengan jari menelusuri wajah Ellina. Sedangkan satu tangan lainnya semakin mengeratkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Ellina.
"Kau ingin kematian seperti apa?" tanya Ernest sangat pelan. Sangat dingin dengan senyum tipis yang tak pernah pupus. Zacheo menahan napasnya saat melihat itu semua.
"Seperti ini, atau ...,"
Tubuh Ellina sedikit tergerak saat tangan Ernest menekan lehernya. Cukup kuat hingga ia dapat merasakan pasokan udara yang kosong di paru-parunya. Denyut nadinya terasa lebih sakit karena genggaman itu semakin kuat. Perlahan, saat tekanan di lehernya semakin kuat, ia hanya bisa tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Atau yang seperti ini?"
Entah dari mana, Ernest mendapatkan sebuah belati kecil yang tajam. Menekan sudut pundak Ellina lalu menariknya pelan hingga menuju leher.
Ellina memejamkan matanya, merasakan rasa sakit yang mulai terasa. Kulitnya terasa mulai terbuka, dengan darah yang mengalir mengotori gaun cantiknya.
"Tuan," cegah Zacheo kebaratan. Ia tak tega melihat itu semua.
Ernest tak menjawab, hanya tertawa tipis saat mata Ellina terbuka dan bertemu dengan matanya. Ia dengan sengaja menekan ujung runcing belati di tangannya, membuatnya melesak dalam di leher Ellina.
Tak ada erangan, tangisan atau kata ampunan. Tak ada ketakutan di mata gadis tersebut hingga Ernest begitu sangat tertarik. Ia melihat darah yang menyembur, mulai merembas keluar dan mengalir sedikit ke tangannya melalui belati yang ia pegang. Hal yang membuatnya penasaran adalah, seberapa kuat gadis di hadapannya menahan semua sakit yang ia ciptakan.
Senyum Ernest melebar. Menatap mata yang berbinar lalu menutup dengan desisan pelan. Itu jelas terasa sangat menyakitkan. Darah dari luka belatinya bahkan tak berhenti. "Berada di bawahku. Maka kau akan mendapatkan semua hal yang kau mau."
Ellina membuka matanya pelan. Ia tersenyum mengejek. "Kau membeliku?" tanyanya langsung, lalu matanya kembali tertutup pelan.
Masih tersenyum, Ernest menarik sedikit belati di tangannya. Membuat daging Ellina tertarik sedikit mengikuti belatinya. "Menurutmu?" bisiknya sangat dekat dengan telinga Ellina. Merasakan hembusan napas gadis itu membuatnya nyaman.
Para pelayan yang melihat itu semua panik tak terkira. Namun mereka juga tak berani membuat suara. Hanya pegangan erat di sisi baju mereka yang kian kuat. Dengan air mata kekhawatiran yang semakin banyak.
"Ini sudah pasti pemakaman." itulah yang mereka pikirkan.
Lalu Zacheo, ia sedari tadi menahan langkahnya. Tangannya terkepal erat melihat semua hal yang tuannya lakukan. Bagiamana mungkin tuannya melukai seorang wanita? Atau lebih tepatnya menganiayanya. Haruskah ia melaporkan ini pada polisi? Tapi kini ia sangat heran, melihat gadis yang dalam genggaman Tuannya sama sekali tak ketakutan. Binar matanya merobohkan semua benteng kuat yang coba tuannya dirikan. Lalu senyum itu, Zacheo sangat yakin. Hal itu sama berbahaya dengan senyum milik tuannya.
Ellina kembali terkekeh. Ia sangat tahu arah pembicaraan pria di hadapannya. Baginya itu tak buruk. Pria di hadapannya ini langsung teras terang pada tujuannya. Dan ia merasa bahwa itu jauh membuat perasaannya kian baik. "Aku bukan boneka! Yang suka tinggal di rumah kaca." tolaknya jelas.
Mendengar itu semua Ernest menaikkan satu matanya. Satu tangannya yang menggengam erat tangan Ellina terlepas. Menyentuh pundak Ellina yang terluka karena ulahnya. Gerakan ringan dengan menyentuh luka terbuka itu membuat gadis di depannya merapatkan pejaman matanya. Saat ini ia suka, melihat wajah cantik Ellina yang pasrah. Darah-darah itu kembali menetes cepat dengan tekanan tangannya yang terus menelusuri luka itu hingga leher.
"Maka kau akan menjadi seekor burung yang tak akan lupa pada rumahnya."
Tubuh Ellina terhuyung lemah kebelakang saat Ernest menarik seluruh belatinya. Darah kembali menyembur. Membuat gaun cantik itu menjadi sangat mengerikan. Namun detik berikutnya, satu tangannya meraih satu tangan Ellina. Memutar tubuh Ellina hingga membelakangi tubuhnya. Ia mendekatkan tubuhnya. Mengalungkan tangannya ke depan dan merengkuh tubuh Ellina dalam pelukannya.
Ellina hampir saja ambruk. Kesadarannya semakin jauh dengan rasa sakit dan pusing luar biasa. Tapi ia bisa merasakan hembusan napas lain di telinganya. Menggelitik dengan suhu hangat di tengah salju. Ia mencoba tersenyum. Lalu sudut bibirnya terbuka. "Kesepakatan." ujarnya namun semua gelap telah menyapanya.
Mata Ernest terbelalak lebar mendengar jawaban Ellina. Ia menahan tubuh Ellina yang tak sadarkan diri di pelukannya.
"Kesepakatan," ulang Ernest dengan penuh bahagia. Kata-kata itu jelas dapat do dengar semua orang.
Zacheo yang mendengarnya sama sekali tak dapat menggapai ekspresi apapun. Ia bahkan terlalu bingung hingga bungkam.
Adakah orang yang mencapai kerjasama dengan cara yang seperti ini? Ini benar-benar gila.
Cara itu membuat Zacheo menggeleng lemah. Ini benar-benar berbeda. Ataukah gadis itu juga berbeda. Karena dapat mengikuti tuannya dengan mudah.
"Rumah sakit!"
Teriakan Ernest sukses membuat seisi rumah kalang kabut. Para pelayan bahkan terlalu terkejut hingga lari dan saling bertabrakan. Zacheo bahkan menjatuhkan handphone yang ia bawa. Namun tangannya dengan cepat menggapai dan menuruti hal yang tuannya inginkan.
"Itu pasti karena kehabisan darah," terang Zacheo saat mengikuti langkah tuannya yang menggendong tubuh Ellina. Tuan, haruskah kau berbuat seperti ini? Kau membuat nyawa seseorang hampir melayang. Saat ini Zacheo ingin menangis. Tapi ia cukup sadar diri dan mencoba bersikap normal.
Ernest tak menjawab, hanya diam dan membiarkan sebagian darah itu mengenai tubuhnya. Saat ini mereka tengah berada di dalam mobil dan menuju rumah sakit.
"Jika nyawanya tak terselamatkan itu karena ulahmu," ujar Ernest dingin.
Zacheo yang duduk di depan terlihat pucat. Tuan bagiamana ini bisa jadi salahku? Anda yang melukainya, oke. Namun bibirnya menjawab pelan. "Saya akan menambah kecepatan mobilnya."
Tak ada jawaban yang terdengar. Hari ini Zacheo benar-benar ingin menangis. Jelas hidupnya tak akan tenang jika gadis di pangkuan bosnya meninggal. Dengan itu ia juga berdoa di dalam hati. Sepanjang perjalanan dengan doa yang tak henti. Berharap bahwa nyawanya akan tetap aman.
Tak lama mereka sampai di rumah sakit. Beberapa dokter terbaik menyambut. Mereka dengan cepat menangani Ellina. Membuat Ernest hanya bisa berjalan mondar mandir di luar ruangan. Sedangkan Zacheo mengerjakan semua urusan lainnya. Sepertinya hari ini menjadi hari berat untuk mereka sebelum awal yang bahagia.
***