webnovel

MY WIFE

Zein adalah pria yang aku kenal dengan kepribadian yang memang dingin dihadapan banyak orang. Namun aku mengenal Zein dengan hati, ternyata lambat laun Zein bukanlah sedingin itu. Namun Zein justru sebaliknya sangat ramah dan penuh kasih sayang. Kehidupan yang gersang semenjak tragedi kecelakaan yang menewaskan Ayah dan Ibuku itu terlipur dengan besarnya cinta Zein. Namun badai tiba-tiba menghempas harapanku, yang membuat aku dan Zein harus berpisah sementara waktu bahkan kami akan saling menjauh karena restu yang tidak kami dapat. "Zein, kasihlah aku kesempatan untuk kembali mencintaimu ...."

sholiaayumathluby · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
4 Chs

Rencana Malam

"Assalamualaikum Ibu ...."

"Wa'alaikumsalam, hati-hati ...."

Aku ketemu dengan Paman Aldan kembali di depan kamar Ibu Hesti. Mungkin Paman Ladan mau mengantarkanku sampai pintu keluar.

"Sudah selesai Nona?"

Tanya Paman Aldan sambil melihatku masih berlinang air mata.

"Sudah, Paman ...."

Aku menyeka kembali air mata.

"Ini, Nona bawa sebagai oleh-oleh!"

"Tidak usah, tidak kenapa paman."

Aku tidak berharap kalau aku memberi Ibu Hesti buah nanti Ibu Hesti akan memberikan sesuatu. Kasih sayangnya sudah cukup bagiku."

"Ayolah Nona ... tolong diterima, Ibu Jesti sendiri yang memberikan. Apakah Nona tidak mau?"

"Aku tidak berharap ini, paman ...."

"Tolong diterima saja. Anggap ini dari Ibumu."

Aku tidak bisa menolak kalau menyebutkan kata Ibu, maka aku terima saja bingkisan itu dengan senyum.

"Baiklah, Paman. Terima kasih ...."

Sampai pintu keluar, belum juga aku salam perpisahan ada dering telpon dari keluarga Paman Aldan mungkin.

"Kamu pergi pulang saja, Nak. Nanti keburu hujan. Paman mau angkat telpon ke dalam ...."

"Assalamualaikum, Paman."

"Wa'alaikumsalam ...."

Usai itu, aku mendekat ke singgah Zein. Sebagian air mataku yang masih tumpah diusapnya.

"Sudah, jangan menangis. Manisnya hilang nanti ...."

Aku tersenyum sambil memberikan bingkisan itu.

"Aku tahu, biar kamu tidak menangis lagi bagaimana ...."

Aku tercekat heran. Memang ada?

"Apa Cintaku?"

"Kamu mau?"

Aku tidak tahu, yang dimaksud oleh Zein itu apa?

Mula-mula Zein menarik perlahan pinggang kiri dan belakangku dengan lengan kirinya. Lalu aku juga bingung, mengapa tangan kananya memegang pipiku.

Kemudian mendekatlah wajahnya, dan ....

"Ciiip ...."

Aku diam beberapa detik, aku memang merasakan Zein melepas lengan dan pipiku perlahan. Namun aku tetpaku dengan sentihan bibirnya yang menyatu dengan bibirku.

Aduh, dosalah aku! Tetapi rasanya ....

Aku tersenyum, namun sedikit melamun soal cuplikan kecupan Zein.

"Sayangku, ayo ... keburu waktu sholat!"

Lamunku membuyar, kemudian aku langsung menaiki motor dibelakang Zein.

Aku ragu untuk memeluk dari belakang karena kecupannya tadi. Namun, beberapa menit setelah berada di jalan. Aku mulai memeluk erat Zein dari belakang.

"Aku mencintaimu, Zein. Tetaplah menjadi milikku ...."

***

"Assalamualaikum ...."

Aku membuka pintu rumah Paman dan Bibi, selekas aku melihat Zein telah menghilang dari belokan jalan.

"Wa'alaikumsalam ...."

Aku melihat Bibi di belakang pintu dengan wajah yang seperti ingin meluapkan amarah kepadaku. Matanya yang berkilat tajam menatapku. Aku menelan ludah.

Habislah aku.

Aku pasti akan dimarahin karena aku pulang agak sedikit terlambat. Bukan, perasaan tidak begitu terlambat. Mungkin terlambat kurang lebih lima belas menit.

"Kamu ke mana saja? Sudah masuk waktu sholat barusan pulang. Kamu tidak tahu? Rumah ini belum bersih, cucian menumpuk tidak kamu urus. Kamar mandi sudah waktunya kamu bersihkan bak airnya juga belum kamu bersihkan. Kamu sukamya sama Zein terus. Anak itu habis mengajak kamu ke mana saja?"

Belum juga aku menjawab. Bibi memberiku jawaban sangat dasyat sampai memotongnya saja aku tidak bisa. Ya tuhanku, semoga aku masih punya rasa sabar.

Aku merasa di sini, aku bukan keponakan Bibi malaikat. Tapi yang benar, aku adalah pembantu di keluarga ini. Aku tahu, Paman tidak sejahat Bibi. Namun tetap saja, aku tidak akan pernah bisa melawan Bibi yang selalu suka protes ini itu, yang suka marah karena alasan yang selalu sama.

Aku tidak tahu kapan ini semua akan berakhir. Aku tidak tahu juga kapan Bibi tidak menekanku terus seperti ini. Karena ini semua seperti penderitaan dari keluargaku sendiri.

Aku tahu, Bibi tidak akan pernah bisa aku ubah. Bibi dari dulu tetap sama. Paman Riko memang baik, namun kalau mendengar penjelasan dari Bibi malaikat. Paman menjadi sama saja seperti bibi. Aku ini sebenarnya dianggap siapa?

"Maaf Bibi ...."

Aku mengecup punggung tangan lalu pergi

Dari kamar aku menangis.

Ini rumah bukan seperti surga yang ada segalanya. Namun ini rumah yang membuat aku merasa membutuhkan ribuan kasih sayang.

"Zein. Cepatlah bawa aku bersamamu. Aku tidak suka menempati rumah ini Zein. Aku sengsara. Ada nestapa di mana-mana. Tidak ada yang mengerti aku di sini Zein."

Aku tidak tahu, Zein mendengar ataukah tidak suara hatiku. Namun aku rasanya begitu lega ketika aku menyebut nama Zein.

Aku tahu, Zein itu jauh dari aku. Namun aku yakin, hatiku dengan hati Zein selalu menyatu.

Dari awal aku mengenal Zein, aku bahagia sekali. Aku merasa Zein memberikan semua dunia untuk aku genggam.

Senyum yang tidak pernah ada setelah aku tinggal di rumah bibiku, Zein mengembalikan senyum itu bersamaan dengan cintanya.

Aku melihat ponselku. Aku berharap Zein memberiku sebuah pesan. Aku lihat Whats Aap masih sepi. Tidak ada satupun yang mengirim pesan. Namun sebelum ponsel aku taruh. Kontak Zein tertulis di layar mengetik.

Aku terdiam sejenak, sambil merebahkan diriku di atas kasur yang tadi sprei putihnya aku ganti warna hijau.

"Sudah sholat, sayangku?"

Itu bunyi pesannya.

Melihat pesannya aku tersenyum sambil mendekap ponselku yang seakan ponsel itu adalah ibarat Zein yang aku peluk sendiri.

"Belum, Cintaku ...."

Aku melihat di layar, tertulis lagi sedang mengetik. Aku menunggu dengan sabar. Pasti Zein akan menyuruhku untuk segera sholat.

"Kenapa tidak segera sholat sayang? Cepat, nanti waktu sholatnya habis loh!"

Itu benar. Sudah aku duga Zein akan mengatakan itu.

"Iya Sayangku. Kalau Cintaku sudah sholat belum?"

Aku menunggu balasan pesan lagi, namun sudah tertulis di layar. Kalau Zein sudah terakhir dilihat.

Aku menatap jendela kamarku yang masih terbuka.

Di sana sudah nampak awan hitam yang amat gelap. Hingga udara malam yang akan turun hujan ini masuk tanpa izin memenuhi isi kamarku.

Mungkin malam ini, aku tidak akan menyalahkan kipas angin.

"Finai ... cepat turun!!!"

Aku mendengar suara Bibi Malaikat.

Iya, datangnya seperti suara halilintar yang membuat orang terkejut karena suaranya. Apa tidak bisa menunggu selesai waktu sholat. Aku yakin, Bibi Malaikat pasti memanggilku karena belum mengurus dapur ataupun rumah yang berantakan. Setidaknya, aku ingin sholat dulu sebelum mengerjakan semua itu.

Maaf Bibi, aku tidak bisa. Aku letih, aku sudah kurang semangat sejak tahu kalau Ibu Hesti sedang sakit. Aku ingin sholat dulu. Bibi tolonglah, mengerti aku. Sesekali pahami aku. Sesekali suruh putri kesayangan Bibi itu. Aku mungkin suatu saat tidak selalu ada untuk Bibi dan keluarga ini lagi.

"Finai ...."

Ujar Bibi Malaikat aku dengar kembali. Ya tuhanku. Sampai kapan?

"Iya Bibi, agak terlambat. Ini mau sholat ...."

Aku menjawab dengan nada yang bukan nada lemes.

"Iya, kalau sholat jangan dilambat-lambatin. Biar pekerjaanmu selesai!"

Aku tidak menjawab lagi.

***

Tiiiiiiin ... tiiiiiiiiin .....

Suara mobil Paman Riko, mendarat di garansi sebelah rumah.

Aku dengar Bibi sedang ada di kamar mandi untuk melakukan rutinitas malamnya kali ini. Tetapi, kalau Kakak Perempuan Miftah lagi di mana ya?

Aku menaruh pisau dan membiarkan sayuran yang habis aku potong itu di atas nampan. Aku yakin, setelah ini aku mendengar suara ketukan pintu dari Paman Riko.

"Miftah, tolong buka pintunya. Ayah sudah pulang ...."

Kakak Perempuan Miftah tidak menjawab. Apa sedang tidur? Mendengarkan musik? Atau lagi pura-pura tidak mendengar?

"Finai!!!"

Aku mendengar suara keras dari kamar mandi yang di dalamnya ada Bibi Malaikat.

Apaan juga? Ya tuhanku. Apa mau dimarahin lagi?

"Iya Bibi?"

Aku bersuara keras dari lorong yang akan menuju ke ruang tamu. Setidaknya biar Bibi mendengar jawabanku kalau diamya memanggil.

"Pamanmu pulang itu ... kamu buka pintunya. Nanti masaknya dilanjutkan lagi!!!"

"Iya Bibi ...."

Entahlah, apakah terdengar atau tidak. Aku jadi malas bersuara keras. Apalagi Paman sudah lama menunggu, kasihan kalau aku tidak segera membuka pintu.

"Assalamualaikum ...."

Paman Riko mengulang ketukan bersama salamnya.

Hujan di luar sangat deras. Angin kencang seperti badai yang datang. Aku saja tadi sempat mendengar suara guntur yang terdengar menakutkan. Malam ini adalah malam yang sangat dingin.

"Wa'alaikumsalam Paman ...."

Aku mengecup punggung tangan Paman Riko setelah menjawab salam.

"Mifta sama Bibimu kemana, Finai?"

Aku tersenyum sambil mencoba membawakan tas yang sedang di bawa oleh Paman Riko.

"Bibi sedang mandi, Paman. Kalau Kakak Perempuan Mifta, tidak tahu sedang melakukan apa?"

Paman Riko menduduki kursi di ruangan tamu, sambil melepas sepatunya.

"Paman mau dibuatkan kopi apa teh hangat?"

Paman Riko menatapku, sambil meletakkan kaos kaki yang barusan dilepasnya ke dalam sepatunya.

Tumben juga, Paman Riko melakukan itu di sofa. Biasanya habis pulang kerja selalu tujuannya ke kamar Bibi dahulu.

"Teh hangat saja."

Aku mengangguk sambil mengambil langkah.

"Finai, sebantar ...."

Paman Riko mencegahku untuk pergi. Apa mau bilang kalau buat tehnya itu yang manis? Ya tuhan, padahal aku sudah memberikan takaran gula yang tepat, mengapa selalu belum manis?"

"Iya, Paman?"

Aku tersenyum sedikit dengan wajah bertanya-tanya menatap paman.

"Habis ini, kamu ganti baju ya ... nanti jam sembilan malam ada acara makan malam dengan bosnya Paman Riko. Kamu harus ikut."

Aku mengangguk sejenak.

Paman Riko mungkin juga sempat memperhatikan baju dapurku yang kotor dan ada banyak percikan air yang mengenai baju dapurku itu. Memang mau makan malam di mana?

Baru kali ini, Paman Riko mengajakku. Biasanya Paman Riko hanya mengajak Bibi sama Kakak Perempuan Miftah saja. Atau terkadang hanya mengajak Bibi Malaikat saja.

Tetapi kenapa malam ini, Paman Riko memutuskan untuk pergi dengan aku juga?

"Baiklah, Paman. Aku mau buatkan teh hangat untuk Paman dahulu. Baru nanti kalau sudah selesai, aku akan ganti baju."

"Sebentar, kamu mau masak atau bagaimana? Atau hanya cuci piring saja? Kenapa pakaian dapur yang kamu pakai, Nai?"

Aku diam sejenak, lalu memandang baju dapurku.

"Tadi habis mencuci piring. Finai disuruh masak sekalian, Paman."

"Kakak Perempuan Miftahmu ke mana, apa dari tadi tidak ikut membantu di dapur?"

Aku menggeleng sambil menundukkan kepala. Aku takut, Paman akan memarahiku karena tidak menyuruh anaknya juga. Tetapi kalau aku menyuruh yang namanya Kakak Perempuan Miftah. Aku juga yang kena tamparan omongan pedas dari Bibi Malaikat.

Ya Tuhan, kenapa engkau selalu membuat aku dilema dalam dua hal yang ke duanya sama saja membuat aku menemukan masalah?