webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
108 Chs

MCMM 49

Happy Reading ❤

"Pagi sayang. Tumben jam segini kamu sudah bangun. Biasanya habis shalat subuh kamu tidur lagi," sapa Cecile pada Gladys yang sudah asyik bermain dengan hpnya.

"Ih, mami gimana sih. Kemarin-kemarin mami ngomel kalau adek bangun siang. Bahkan mami sampai menyuruh Endah menyiram adek kalau nggak bisa dibangunin. Giliran sekarang malah dikomentari." sahut Gladys.

"Ya dikomentarinlah... kan tumben-tumbenan dek," timpal Gibran yang masuk ke ruang makan mengenakan celana training dan kaos lengan pendek.

"Abang mau kemana? Ikut dong."

"Mau jogging. Tumben mau ikut. Sejak balik dari Bali kayaknya ada yang beda nih."

"Apaan sih? Biasa aja kali, bang."

"Hmm..... jangan-jangan lagi jatuh cinta nih," goda Gibran.

"Siapa yang jatuh cinta, Bang?" tanya Praditho yang juga memakai setelan training dan siap untuk jogging.

"Adek, Pi."

"Oh ya? Bagus dong. Jadi pernikahan kalian nggak perlu ditunda lama-lama," timpal Cecile sambil membawakan susu hangat untuk suaminya.

"Mi, kalau bikin susu gitu pakai air panas ya?" Semua memandang Gladys dengan pandangan aneh saat mendengar pertanyaan itu diajukan.

"Dek, elo nggak papa kan? Pas di Bali kepala lo nggak kepentok apa-apa kan?"

"Iisshh... abang gaje deh. Adek baik-baik aja kok. Kenapa sih?"

"Pertanyaan lo itu yang aneh. Bukan pertanyaannya sih yang aneh. Tapi elo." balas Gibran.

"Kok aneh? Dimana anehnya? Biasa saja kan kalau adek nanya cara membuat susu. Sama nggak dengan cara membuat teh atau kopi."

"Tumben nanya-nanya soal itu."

"Bang, biarin tho kalau adekmu mau belajar bikin minuman hangat. Jangan digodain melulu." tegur Cecile. "Adek mau mami ajarin cara membuat minuman hangat?"

"Ya ampun dek, emangnya sampe segede ini elo nggak bisa bikin minuman hangat? Gimana mau nikah, kalau hal sepele kayak gini aja kamu nggak bisa," ledek Gibran. "Nanti nggak ada yang mau ambil elo jadi menantu lho."

"Abang jahaaat!"

"Gibran, jangan godain adek." tegur Praditho.

"Godain sedikit aja kok, Pi." sahut Gibran sambil nyengir.

"Papi mau jogging sama bang Gibran?" tanya Gladys setelah kekesalannya hilang.

"Iya. Adek mau ikut?" tanya Praditho.

"Iya Pi. Adek ikutan ya. Adek ganti baju dulu." Gladys langsung berlari ke kamarnya dan tak lama keluar lagi dengan mengenakan pakaian olahraga celana pendek dan kaos lengan pendek. Di pinggangnya terikat sweater

"Apa bedanya sama baju yang tadi dek?" tanya Gibran bingung.

"Bedalah bang. Yang tadi warnanya merah yang sekarang biru. Yang tadi kayak kaos kutang yang ini ada lengannya. Plus ada aksen sweater," sahut Gladys sambil berputar-putar mematut dirinya.

"Papi pikir kamu mau ganti pakai baju kayak papi, dek."

"Kelamaan nyarinya, Pi." Sahut Gladys cuek. "Ayo kalau mau jogging. Nanti keburu siang lho."

"Huu.. ngapain gegayaan mau ganti baju kalau akhirnya sama aja outfitnya. Endah nggak ikut, dek?"

"Nggak. Dia nanti siang ada ujian di tempat lesnya. Lagipula kan ada bang Gibran dan Papi yang nemenin jogging."

Tak lama mereka bertiga sudah asyik jogging di taman dekat rumah mereka yang kebetulan memang memiliki jogging track.

"Pi, adek istirahat dulu ya. Nggak kuat." ucap Gladys dengan nafas putus-putus karena kecapekan.

"Baru juga 3 putaran, dek. Ayo tambah 1 putaran lagi. Baru habis itu kita istirahat," ajak Praditho.

"Adek nggak kuat, Pi. Abang aja yang temenin papi 1 putaran lagi. Adek nunggu disini."

"Kenapa Pi?" tanya Gibran yang terpaksa balik lagi saat melihat papi dan adiknya berhenti. "Kok berhenti? Baru juga 3 putaran. Biasanya juga papi kuat 5 putaran. Papi sakit?"

"Tuh si adek. Kecapekan katanya." ucap Praditho sambil berlari-lari kecil di tempat. Di usianya yang sudah di atas 50 tahun, tubuh Praditho terlihat bugar karena kebiasaannya berolahraga. Banyak yang menyangka usianya masih di bawah 50 tahun.

"Yaelah dek, ayo tambah 1 putaran lagi. Katanya mau langsing. Padahal kemarin pas di Bali kamu kuat trekking ke Campuhan. Apa karena ada yang menemani?" ledek Gibran sambil tersenyum usil.

"Apaan sih bang. Adek beneran capek tau. Kemarin adek kan habis ikut papi ke pabrik. Terus lanjut rapat sama tim R&D. Pulangnya masih mampir ke rumah om Robert buat menemui eyang Tari."

"Ah, lembek amat badannya. Bilang aja kamu baru semangat olahraga kalau ditemani B...mmph.. mmph.." Gibran tak sempat menyelesaikan ucapannya saat tiba-tiba Gladys naik ke punggungnya dan membekap mulutnya.

"Astagaa.. kalian ini kayak anak kecil ya. Malu dong, ini kan di tempat umum. Kalau orang nggak kenal kalian, disangkain kalian pacaran di tempat umum."

"Pacaran model apa kayak gini, Pi? Itu mah penyerangan oleh begal." sungut Gibran kesal karena selain membekap mulutnya, Gladys juga menggigit kupingnya. "Ya ampun, salah apa sih gue punya adik ganas kayak elo, dek. Kelakuan kok kayak begal."

"Mana ada begal cantik kayak adek. Weeek... " sahut Gladys sambil memeletkan lidahnya meledek Gibran yang masih mengusap-usap kupingnya yang tadi digigit sang adik.

"Kalau di film-film, penjahat perempuannya memang cantik-cantik, tapi bengis. Abang heran kok si Ba..." Kembali Gladys membekap mulut Gibran. Ia tak ingin Praditho mengetahui hubungannya dengan Banyu. Belum saatnya.

"Adek, abangnya jangan digituin terus dong. Kenapa sih abangnya nggak boleh ngomong?" tanya Praditho heran. "Ada yang kamu sembunyikan dari papi?"

"Ng.. nggak ada kok Pi. Cuma abang kan suka ngaco ngomongnya."

"Siapa yang ngaco? Memang benar kan kamu baru semangat kalau...."

"Abaaaaang!!" wajah Gladys sudah memelas ingin menangis.

"Oke, oke.. abang akan menutup mulut tapi kamu tambah 1 putaran lagi ya," bujuk Gibran.

"Adek capek banget bang." Gladys kini mendudukkan dirinya di jogging track. Benar-benar tak peduli diperhatikan pengunjung taman yang lain.

"Astaga adek. Malu dong ngeglosor di jalan kayak begitu," tegur Praditho. "Ayo berdiri. Jangan kayak anak kecil."

"Nggak mau. Kalau adek berdiri nanti dipaksa abang untuk lari 1 putaran lagi. Adek benar-benar nggak sanggup, papi." rengek Gladys.

"Pagi Om, pagi Gladys, pagi Gib" Tiba-tiba sebuah suara maskulin menyentuh rungu mereka. Gladys tampak kaget mendengar suara tersebut. Ini kan suaranya Banyu, batin Gladys sebelum akhirnya mengangkat wajah dan melihat sang kekasih hati.

"Pagi nak Banyu," sahut Praditho sambil menerima salam dari Banyu. "Kamu ngapain disini?"

"Oh kebetulan lagi sarapan om di warung itu, sebelum keliling untuk jualan." sahut Banyu sopan. "Gladys kenapa om?"

"Nggak tahu tuh. Mendadak mogok gak mau jogging 1 putaran lagi. Katanya capek. Dipaksa-paksa sama abangnya malah duduk ngglosor begitu." jelas Praditho. "Dek, malu dong sama nak Banyu."

"Nah, ini dia yang ditunggu." ucap Gibran yang langsung mendapat pelototan dari Gladys.

"Kamu nunggu Banyu, dek?" tanya Praditho menyelidik. Gladys menggeleng.

"Biasanya kalau sama Banyu, Gladys nurut pi," ledek Gibran.

"Oh ya? Papi baru tahu. Coba deh nak Banyu temani Gladys dan bujuk dia supaya mau berdiri. Om dan Gibran mau jogging dulu. Dari tadi mau meninggalkan dia sendirian kasihan. Titip ya, nak Banyu." Praditho mengajak Gibran jogging. Sebelum mulai jogging Gibran sempat mengedipkan matanya pada Gladys.

"Princess, ayo berdiri. Benar kata papi kamu mogok jogging?" Bukannya membantu Gladys berdiri, Banyu malah menemani Gladys duduk.

"Ngapain duduk disitu. Malu tau diliatin orang." tegur Gladys sambil menengok kanan kiri. Untunglah pagi itu suasana taman tak terlalu ramai.

"Biar sama kayak kamu. Aku mau menemani calon istriku, masa nggak boleh. Lagipula kalau sambil duduk begini aku bisa melihat kamu lebih dekat dan aku bisa.... menciummu." Kata terakhir diucapkan Banyu sambil berbisik.

"Idiih mesum banget sih." sontak Gladys langsung berdiri dan berjalan menjauhi Banyu.

"Hey, kok aku ditinggalin?" seru Banyu sambil ikut berdiri dan mengejar kekasihnya. Gladys yang merasa malu, terus berlari untuk menghindari Banyu.

"Gib, itu adikmu mau jogging lagi," ucap Praditho sambil menunjuk ke arah Gladys dan Banyu.

"Banyu itu pawangnya adek, Pi. Banyu selalu punya cara membuat adek nurutin omongan dia."

"Kalau papi lihat-lihat adikmu sering berantem ya sama Banyu."

"Itu dulu Pi. Sekarang sudah nggak lagi. Malah kemarin pas acara fashion week, Banyu yang mendampingi Gladys."

"Maksud kamu?"

"Oh itu.. maksud Gibran, karena kebetulan Banyu lagi ikut proyeknya bang Ghif yang selesainya bertepatan dengan dimulainya acara fashion week, makanya Gladys minta ditemani sama Banyu."

"Kelihatannya adik kamu akrab sama Banyu."

"Lumayan, Pi. Mereka semakin akrab sejak pernikahan bang Ghif. Papi keberatan?"

"Nggaklah. Kenapa harus keberatan. Dia kan sahabat kamu dan papi rasa orangnya bisa diandalkan, pekerja keras dan cukup bertanggung jawab."

"Walaupun dia cuma penjual sayur keliling?"

"Kenapa dengan pekerjaan dia? Dulu papi juga jualan batik di pasar, membantu orang tua. Malah papi ketemu sama mami mu saat berjualan di pasar. Tapi saat itu papi belum berani kenalan sama mamimu yang setengah bule itu."

"Pi, gimana urusan pernikahan adek?"

"Entahlah. Adekmu sepertinya belum sreg sama Lukas, padahal mami mu sudah kepincut sama Lukas. Malah papi dengar mami mu sudah meminta abangmu untuk merencanakan pernikahan mereka."

"Kalau papi gimana? Setuju adek sama Lukas?"

"Buat papi, siapapun calon pendamping adikmu. Selama adikmu nyaman dan pria tersebut bisa menjaga dia maka papi akan setuju saja."

"Maaf ya pi, kalau seandainya adek jatuh cinta sama pria yang strata sosialnya di bawah kita gimana?"

"Perbedaan strata sosial adalah buatan manusia. Tidak papi pungkiri, urusan bibit bebet dan bobot seseorang mempengaruhi masalah pemilihan jodoh. Pernikahan itu kan kalau bisa hanya sekali seumur hidup, kecuali Allah menghendaki lain. Tapi secara garis besar apapun pekerjaan calon pendamping adikmu, ganteng atau jelek, kaya atau miskin, selama akhlaknya bagus insyaa Allah papi yakin bisa menjadi pendamping hidup yang baik."

Gibran manggut-manggut mendengar penjelasan Praditho.

"Walaupun calon pendamping adek bukan orang seperti Lukas? Lukas kan dokter dan berasal dari keluarga terpandang serta kaya. Menantu idaman mami banget tuh Pi."

"Papi kok jadi curiga ya. Apakah Gladys sudah memiliki kekasih tanpa sepengetahuan mami papi?" desak Praditho curiga.

"Nggak tau deh Pi. Gibran cuma nanya aja kok gimana pendapat papi kalau calon yang adek pilih ternyata tidak sesuai dengan keinginan kalian, terutama mami."

"Yang akan menjalani pernikahan itu adekmu, bukan kami. Jadi menurut papi, memang seharusnya adekmu yang memilih sendiri pasangannya. Walau kami akan bahagia kalau adekmu bisa menerima calon yang kami pilihkan. Tak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya." ucap Praditho.

Sementara itu Gladys dan Banyu lebih memilih berjalan santai. Banyu mengernyitkan keningnya melihat outfit Gladys.

"Kok pakai celana pendek? Kulit mulus kamu jadi tontonan orang-orang dan aku nggak suka itu." kritik Banyu.

"Nggak suka orang memperhatikan tubuhku atau nggak suka melihat aku pakai celana pendek?"

"Dua-duanya. Aku nggak suka lihat kamu berpakaian seperti ini di depan umum. Kamu hanya boleh berpakaian seperti ini di depanku kalau aku sudah resmi jadi suami kamu," jawab Banyu.

"Mas, Sabtu besok aku ke rumah ya."

"Mau ngapain?"

"Ajak kamu ke KUA."

"Hah?!" Langkah Banyu mendadak terhenti. Gladys langsung terkikik melihat wajah panik Banyu. "Jangan bercanda, ah."

"Habisnya kamu serius banget sih. Nanti sore aku mau ke rumah."

"Aku nggak ada di rumah kalau sore."

"Kata siapa aku mau bertemu denganmu?"

"Lalu?"

"Aku mau ketemu ibu dan adik-adikmu."

"Mau belajar bikin teh manis?" ledek Banyu. Muka Gladys memerah saat mengingat kejadian di Bali.

"Iih.. apaan sih.. nggak usah diingat-ingat deh. Bikin malu saja."

"Ayo nikah kalau kamu sudah bisa bikin minuman hangat dan memasak." goda Banyu.

"Kenapa gitu? Apa hubungannya?"

"Karena aku mau saat menikah nanti dimasakin sama kamu. Bukan pembantu, bukan beli di luar."

"Kalau nggak bisa?"

"Ya nggak jadi menikahnya."

"Ya sudah, kalau gitu aku nikah sama Lukas saja," sungut Gladys sambil berlari kecil meninggalkan Banyu.

"Lho, kok malah sama Lukas?" Banyu menarik tangan Gladys.

"Iya, kalau sama Lukas aku nggak disuruh masak."

"Oh gitu, ya sudah sana sama Lukas saja." Banyu melepaskan pegangannya dan berbalik meninggalkan Gladys.

"Mas, kok marah?" panggil Gladys sambil mengejar Banyu. Tingkah dua anak manusia itu tak luput dari perhatian Praditho yang melihat dari jauh.

⭐⭐⭐⭐