"Mari kita segera ke sana," katanya lagi.
Langkah demi langkah kian mendekat dan mereka pun tersenyum sebab mengetahui tempat persembunyian Saukilla.
Keduanya saling bersitatap, dengan penuh keyakinan jika rencana mereka akan berhasil hari itu juga.
"Kita akan melihat Kapten Sean menitikkan air mata sebab diperhatikan dari promosinya!"
"Betul itu. Dan ... tunggu apa lagi kita. Ayo lekas mendekat sebelum perempuan itu pergi."
Namun, saat keduanya sudah tiba di balik lemari kayu rupanya Saukilla sudah tidak ada di sana. Kosong, sunyi, sehingga membuat kedua orang suruhan Sersan Dal Mi pun meraung kesal sebab mangsanya tidak ada.
Padahal, tadi Saukilla bersembunyi di sana. Tapi, entah ke mana perempuan itu pergi. Rasanya, cepat sekali.
Mereka pun bergegas menendang lemari kayu itu dan berkacak pinggang seraya mendengus kesal. Entah di mana keberadaan Saukilla, yang jelas itu merupakan langkah baik untuk keselamatannya. Ia begitu kuat, dalam tubuh yang penuh luka Saukilla masih bisa berusaha menyelamatkan nyawa.
Meskipun ia begitu tertatih saat hendak melakukannya
"Sialan! Di mana sebenarnya Kapten Sean menyembunyikan perempuan itu!" kelakarnya kesal.
"Hei! Perempuan sialan, keluar sekarang juga. Jika kau tak mau keluar, aku akan mencari dirimu sampai dapat. Dan akan aku lenyapkan batok Kepalamu!" lagi, anak buah Sersan Dal Mi masih keukeuh akan hal itu.
"Sunbae, sepertinya Captain Sean memiliki tempat rahasia sehingga keberadaan perempuan itu tak bisa kita baca. Bahkan, kita sudah menjelajahi seluruh ruangan yang ada di rumah ini tapi kita tetap tidak menemukannya."
"Kau benar, tapi di mana tempat itu?"
"Sunbae, biasanya kalau warga militer membuat tempat rahasia itu di ruangan ruangan yang tidak mungkin dijelajahi. Kalau di kamar, tempat ini adalah tempat yang paling sering di datangi."
"Jadi ... saya rasa tidak mungkin perempuan itu ada di sini."
Salah satu rekannya pun terdiam seraya berpikir. Ia tampak menatap bawah ranjang melalui ekor matanya, tapi tak lama kemudian Ia pun mengajak rekannya untuk segera keluar. Beruntung, anak buah Sersan Dal Mi mampu terkecoh sedemikian rupa.
Saukilla yang ada di ruang bawah tanah kamar pun terus memastikan bahwa kedua penjahat itu sudah pergi. Sehingga ia bisa cepat naik ke atas. Rasanya ia bahkan tidak bisa bernapas, udara di sana tidak ada. Saukilla lemas, dia hampir tak berdaya. Kendati demikian, Saukilla benar-benar bersyukur sebab ia bisa selamat dari orang-orang itu.
Saukilla tak begitu paham dengan apa yang terjadi. Namun, ia tetap saja merasakan aman tak seperti tadi. Begitu terintimidasi.
"Sebaiknya kita segera kembali dulu. Aku takut jika serdadunya Kapten Sean datang kemari. Keselamatan Sersan Dal Mi bisa berbahaya."
"Baik. Ayo kita segera melapor kepada Sersan Dal Mi kalau perempuan itu tidak ada."
"Mari. Jangan sampai meninggalkan jejak di sini."
Saukilla akhirnya gegas berdiri dan perlahan membuka pintu ruang bawah tanah yang ada di titik tengah kamar Captain Sean. Padahal, sejak tadi kedua penjahat itu berdiri di sana. Namun Sang Kuasa rupanya masih melindungi Saukilla.
Sehingga membuat mereka tidak tahu dan memilih untuk pergi meninggalkan Saukilla.
"Ahjussi, aku takut Ahjussi." Lirih Saukilla seraya meringkuk di pojok kamar. Ia pun sembari terisak dalam tangisan.
"Ahjussi. Kau di mana," kata Saukilla sumbang.
"Kenapa Ahjussi begitu lama. Aku takut sendirian Ahjussi."
Padahal baru beberapa jam yang lalu Kapten Sean pergi meninggalkan Saukilla. Jelas pria berusia tiga puluh lima tahun itu tengah berada di perbatasan pulau Geoje seraya ditemani dengan musim yang tidak menentu sehingga membuat Kapten Sean sedikit kesusahan. Di sana, tugas negara tengah kokoh hidup di pindah para anaknya.
Waktu itu Korea Selatan tengah diselimuti salju tebal. Kemudian selang beberapa hari Korea Selatan menemui musim panas. Tapi kini musim salju datang lagi entahlah sukar ditebak.
Namun berkat turunnya salju, rupanya membawa berkah tersendiri bagi Kapten Sean dan serdadunya. Praka Renjana melihat jejak langkah sepatu milik pasukan militer. Sebab bentuknya berbeda dari yang lain.
"Kapten Sean berhentilah! Coba lihat di sebelah sana tampak jejak sepatu milik anggota militer," kata Praka Renjana.
"Bener, itu adalah jejak sepatu milik tentara angkatan darat. Lihat saja logo yang tertera di bawah telapaknya." Pratu Nara Dega menyahut, hingga membuat Kapten Sean pun bergegas mendekat.
Pria itu mulai menyalakan senter guna melihat dengan jelas. Benar rupanya apa yang dikatakan oleh serdadunya. Kalau begitu dugaannya waktu itu adalah benar. Orang yang mereka duga pun kini justru meninggalkan jejak mungkin tanpa sepengetahuannya.
"Kalau begitu, apa yang dilihat oleh Pratu Nara Dega memang ada benarnya."
"Msksud Anda, ini milik Sersan Dal Mi?"
"Saya masih belum bisa mengatakan iya. Tapi, kita harus terus mengumpulkan bukti lebih banyak. Satu sampai lima bukti mungkin itu cukup."
"Tapi Kapten, lihatlah di sebelah sini juga terdapat jejak sepatu. Hanya saja sepertinya ini milik warga lokal."
Lagi-lagi Praka Renjana memperlihatkan hal tersebut pada Kapten Sean hingga pria tersebut kembali mendekat. Merasa penasaran, Kapten Sean pun menyisir jalur tersebut tapi hanya sampai pada pohon besar itu saja jejaknya
Rasanya belum ada salah satu dari timnya yang memasuki perbatasan ini. Jadi, tebakan mereka bisa dikatakan 80% benar.
"Kapten, apa Sersan Dal Mi dalam melakukan kejahatan ini dibantu oleh orang dalam?" tanya Pratu Hwang Jung Min.
"Rasanya seperti itu. Lebih baik sekarang kita segera menuju perbatasan. Semoga kita menemukan bukti lain. Pastikan
kita menemukan sesuatu yang tertinggal di sini, kalian paham?"
"Paham, Captain!"
Langkah kaki Kapten Sean sedikit pelan, ia sedikit gusar kala mengingat sosok Saukilla. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengharuskan Kapten Sean segera kembali. Entah kenapa, tapi Kapten Sean tidak mau menuruti egonya. Ia ingat akan sumpah janji kala pelantikannya
"Semoga perempuan itu baik-baik saja, Kapten."
"Semoga saja Pratu Chiko," jawab Kapten Sean.
"Saya begitu khawatir dengannya, Kapten."
'Khawatir!' batin Kapten Sean
****
"Tante Riana, kamu pikir bisa menguasai rumah saya! Aset saya, serta beberapa kekayaan yang lainnya. Hei! para manusia laknat, jangan harap, saya bahkan bisa membunuhmu saat ini juga Tante Riana yang berhati licik!"
Riana yang sedang berendam di dalam bak mandi pun terkejut bukan main dengan kedatangan sosok Saukilla yang berlumuran dengan darah. Nampak di tangan sebelah kanannya tengah memegang belati.
Mungkin, sebab pantulan cahaya lampu sehingga membuat belati itu tampak mengkilap dengan lumuran darah segar. Tetes demi tetesnya jatuh membuat air di dalam bak mandi tersebut pekat merahnya.
"Ki ... Ki ... Ki ... Killa!"
"Tidak! Tidak! Tidak, mungkin. Kau bahkan sudah meninggal!" Kata Nenek sihir Riana seraya mundur ke belakang dengan kepala bergeleng.
"Tidak mungkin apanya, kau lihat sendiri kan, kini saya ada di hadapanmu. Saya akan menghabisi nyawamu, Riana. Saya akan mencacah wajahmu, saya akan membelah perutmu, serta saya tak akan membiarkan kamu langsung mati sebelum merasakan sakit ini!"
Saukilla yang mengenakan pakaian berwarna putih tanpa lengan, kemudian rambutnya yang berwarna jingga dengan hair style curly. Saukilla saat itu tampak membawa pisau. Ia berjalan pelan menuju ke arah Riana.
"Riana! Riana! Kau begitu jahat, sehingga meracun pikiran Kak Genta agar mau memanipulasi keadaanku yang sebenarnya. Kau begitu tega, Riana. Kau mengatakan pada publik jika saya telah tiada, padahal itu hanya alibimu saja untuk menguasai kekayaanku dan semuanya!"
"Tidak, Saukilla, tidak! Aku minta maaf. Aku tidak akan melakukan hal itu lagi, aku akan mengembalikan semua uang itu. Tapi tolong jangan membunuhku," kata Riana dengan wajah memelas dia benar-benar ketakutan.
Bak mandinya tak lagi memiliki air berwarna putih, namun berwarna merah darah.
Saukilla tampak menyunggingkan senyum, "Maafmu takkan pernah saya anggap. Yang saya inginkan hanya kematianmu saja, Riana. Ayo katakan selamat tinggal pada dunia sebelum pisau ini memutilasimu!"
Menek sihir Riana terus saja menggelengkan kepalanya, ia bahkan gegas menyambar handuk yang ada di samping dan berusaha berlari tapi tiba-tiba pintu tertutup sendiri. Ruangan kian menakutkan, atmosfer yang ada tak lagi membuat nyaman rasa.
"Tolong! Tolong!"
"Kau hendak meminta tolong kepada siapa Riana?"
"Dasar kau piskopat gila kau Saukilla! Aku akan melaporkanmu kepada polisi!".
"Silakan saja."
Kemudian, dengan cepat Riana bergegas mendobrak pintu dan akhirnya ia pun keluar seraya terus memanggil nama suaminyam. Kak Genta Lambang Ekualen.
"Mas Genta, Mas Genta. Kau di mana! Tolong aku, adikmu Killa sudah benar-benar gila, bahkan dia hendak membunuhku!"
Namum, tak juga Kak Genta mendengar teriakan dari sang istri. Riana yang semakin panik, ia ketakutan bahkan wajahnya pucat saat sosok Saukilla terus mengejarnya. Belati yang berlumur darah itu tampak mengayun tinggi, Saukilla benar-benar siap untuk menghujami tubuh kakak iparnya yang ia panggil, Tante.
"Kau hendak minta tolong siapa? tidak akan ada yang menolongmu, Riana!"
"Penjahat sepertimu tak layak untuk ditolong. Kau harus kukirim ke neraka sekarang juga," kata Saukilla.
"Mas Genta, kau di mana?"
Riana pun akhirnya berjalan menuju ruang utama. Beberapa hari ini, memang Kak Genta sering di sana untuk bermain game online. Dengan cepat, ia menuruni tangga berharap segera menemukan pertolongan.
Namun, kedua iris matanya justru disambut hangat dengan pemandangan menyayat hati. Sosok Kak Genta yang sudah terkapar lemas dengan kepala, kedua kaki, serta kedua tangan terpisah dari tubuhnya. Itu benar-benar membuat Riana gila.
Nampak di depan sana pintu terkunci rapat. Bahkan Riana tak bisa mendobraknya seperti tadi saat di dalam kamar. Ia terjatuh lemas, terus menangis dan menutup mata manakala Saukilla justru semakin mendekati dirinya.
"Kau benar-benar gila ya! Kenapa kau bunuh kakakmu sendiri!"
"Kau gila Saukilla! Kau Gila!"
"Saya tidak peduli dengan ocehanmu itu! Yang jelas saya hanya menginginkan kematianmu supaya kita setimpal. Selama saya hidup kau begitu ingin membunuhku kan! Bahkan berbagai rencana telah kau susun namun selalu gagal. Tapi kecelakaan ini benar-benar masih menjadi misteri, kenapa bisa padahal pihak bandara meneliti jika pesawat dalam keadaan baik-baik saja."
Kemudian Saukilla pun duduk bertumpu tepat di hadapan kakak iparnya, Riana. Ia mulai mendekatkan belati yang tajam itu pada leher Riana. Hal itu membuat Riana kian ketakutan, bahkan bahu serta kaki jenjangnya menggigil. Keringat dingin berjatuhan tak bisa disembunyikan.
"Apa jangan-jangan kecelakaan pesawat itu merupakan ulahmu? Kau bekerja sama dengan pihak bandara?" ujar Saukilla lirih, itu tepat di daun telinga Riana.
"Kau gila! Apa yang kau katakan! Aku bahkan tidak mengetahui semua itu, pergi dari sini pergi!"
"Baiklah, mari kita pergi bersama-sama, Riana. Rasakan ini!"
Belati tajam itu mengayun dengan cepat dan hendak Saukilla hujamkan ke tubuh kakak iparnya. Saukilla menatap buas pada wajah Riana sebelum belati itu benar-benar tertancap pada lehernya.
_ 'Bersambung' _
See you and Love you.