webnovel

Malam Tidak Selalu Menakutkan

Namaku Havoc Wijikusuma, seorang siswa SMA di sebuah desa. Yonko namanya, sebuah desa yang terkenal dengan bukit para roh tinggal. Maka tak heran, jika banyak penampakan aneh disana. Bukit itu sangat dikeramatkan oleh para penduduk desa, karena mereka percaya, bahwa roh para leluhur desa tinggal disana. Penduduk desa juga percaya jika kita tidak memiliki maksud jahat di bukit, maka para roh akan melindungi kita.

Bisa dibilang, aku adalah anak yang kurang beruntung. Ibuku meninggal karena sakit saat umurku 5 tahun, ayahku seorang pejabat melakukan korupsi lalu dipenjara, dan disekolah, aku menjadi bahan bully dan diejek sebagai anak koruptor. Aku tinggal dan besar bersama Oma (nenek dari ibuku). Oma merupakan keluargaku satu-satunya yang ku punya. Paman, bibi, saudara bahkan sepupu, tidak menganggap ku keluarga. Mereka semua menganggap ku anak pembawa sial. Namun berbeda dengan Oma, dia menerimaku apa adanya, dia membesarkan ku, dia menyayangiku, dia mendidik ku dengan penuh kasih sayang.

Aku sekolah di SMA Purnama, sekolah paling dekat dari desa. Setiap hari, aku biasa pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor butut peninggalan Opa. Walaupun terlihat kusam, sepeda motor ini masih bisa digunakan dengan baik dan ini merupakan peninggalan milik Opa. Jadi aku harus menjaganya baik-baik. Sekolah merupakan neraka bagiku. Disana aku hina, dipukul, dicaci-maki, dan tidak mendapatkan keadilan oleh siswa lain. Apalagi dari siswa yang bernama Alex Subroto, mentang-mentang dia anak pengusaha sukses, dia selalu bertindak semena-mena padaku. Guru-guru pun juga demikian, mereka menganggap ku hama yang harus segera dibasmi, mereka selalu ingin membuatku celaka. Namun, masih ada guru yang peduli padaku. Bu Isla Ningsih namanya, Ia merupakan sahabat ibuku dari SMP. Ia satu-satunya orang yang peduli padaku saat disekolah. Walaupun banyak yang menghinaku dan membully ku, aku tak bisa membalasnya. Bukannya aku takut, bukannya aku tidak bisa membalas perbuatan mereka, tapi aku merasa Oma akan sedih jika tau aku membalas perbuatan mereka. Maka dari itu, aku tetap belajar, belajar, dan belajar. Belajar demi menggapai cita-cita dan merubah nasib ku yang malang

Waktu demi waktu berlalu, tak terasa sudah ganti tahun ajaran baru. Penerimaan siswa-siswi pun tak luput dari itu. Banyak siswa-siswi baru untuk bergabung dengan sekolah ini. Seperti biasa, kita pasti mengadakan upacara untuk membuka tahun ajaran baru dan penerimaan murid baru. Namun ditengah-tengah upacara dilaksanakan, aku merasa ada sesuatu yang mengawasiku. Padahal aku sudah biasa diawasi oleh Alex, tapi entah mengapa kali ini terasa berbeda. Aku merasa takut dan merinding. Jantung berdetak sangat kencang dan tubuh berkeringat, sampai-sampai Bu Isla menghampiriku,

"Kamu sakit, Havoc?" kata Bu Isla.

"Tidak bu, aku hanya berkeringat saja" jawabku.

"Jika kamu tidak enak badan, bilang ke Ibu ya?" kata Bu Isla lagi.

"Baik bu, terimakasih"jawabku.

Setelah berbicara dengan Bu Isla, aku menjadi tenang dan rasa takut itu hilang. Aku merasa sangat lega. Upacara berakhir, aku segera ke kelas untuk melaksanakan pelajaran. Tapi, sesampainya di koridor, tubuhku merinding lagi, aku merasa diawasi lagi. Saat aku menoleh ke belakang, aku tidak melihat siapapun yang menatapku.

Lalu tibalah waktu istirahat, semua anak dikelas berlarian pergi ke kantin agar tidak kehabisan makanan dan meninggalkan aku seorang diri dikelas. Aku jarang ke kantin, karena Oma biasa bawakan sebuah bekal. Tapi, aku merasa ada yang mengawasi ku lagi dan buat ku merinding lagi.

"Apa?!?! Merinding lagi?!?! Ini tidak beres!!!" kata ku dalam hati.

Aku merasa bahwa ada yang mengawasi dari jendela koridor. Karena aku tidak berani menoleh ke jendela, aku menundukkan kepala, diam dan menenangkan diri. Ketika aku fokus untuk menenangkan diriku, aku merasa ada yang menghampiri dan itu membuat ku merasa makin takut. Tiba-tiba.....

"Permisi kak, boleh kenalan?"

Aku yang terkejut mendengar hal itu, secara spontan mengangkat kepala untuk melihat sumber suara. Terkejutnya aku, melihat seorang siswi baru yang ingin berkenalan padaku. Dia berkacamata, berambut hitam panjang yang dikuncir, berkulit putih, dan agak tinggi.

"Hai kak, namaku Sonya, Sonya D'Arc. Salam kenal" katanya.

"Oh h-hai, namaku Havoc, Havoc Wijikusuma. Salam kenal juga" jawabku dengan gugup.

Sonya tersenyum dengan manis, lalu pergi keluar kelas. Aku yang masih terkejut, hanya bisa diam tanpa kata.

Bel pulang sekolah pun berbunyi, aku membereskan semua buku dan alat tulis yang ada dimeja lalu segara pergi pulang, karena pada saat itu mendung dan aku tidak membawa jas hujan. Saat ditengah perjalanan, aku melihat seorang wanita yang berjalan sendirian dan ternyata itu Sonya. Karena hari sudah makin gelap dan gerimis disertai angin, aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya.

"S-Sonya, mau pulang bersamaku? Ini sudah mau hujan loh" tanyaku dengan gugup.

Sonya yang terkejut, lalu tersenyum dengan manis

"Iya, aku mau" jawab Sonya.

Sonya mengarahkan ku arah rumahnya, namun aku merasa bahwa arah rumah Sonya sama dengan arah ke rumahku. Terkejutnya aku setelah sampai dirumah Sonya, ternyata rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Keluarga Sonya baru pindah 2 hari sebelumnya ke desa, dia pindah karena ada urusan keluarga.

"Untung saja belum hujan, terimakasih ya kak" ujar Sonya dengan senyumnya yang manis.

"I-Iya sama-sama, aku pulang dulu ya" kataku.

"Oh iya kak, terimakasih atas tumpangannya ya" jawabnya sambil melambaikan tangan. Hujan pun turun dan membasahi tanaman dan jalan, namun hujan tidak terlalu lama. Sang senja muncul memberikan kehangatan walau hanya sementara. Aku pun sempat melihat pelangi yang langka dengan warnanya yang indah.

Senja pun menghilang, diganti oleh cahaya rembulan di kegelapan malam. Kerlap kerlip bintang menemani rembulan agar tidak bercahaya sendirian. Di dinginnya malam, aku ke teras untuk melihat angkasa sambil menyeruput secangkir kopi hangat. Namun, tiba-tiba cahaya kebiruan bergerak di angkasa. Yang tadinya kecil terlihat menjadi makin besar saat bergerak dan berakhir dengan berbenturan dengan tanah disekitar bukit. Suara dentumannya sangatlah keras, namun anehnya, tidak ada warga yang keluar untuk memeriksa. Karena aku penasaran, aku segera berlari ke bukit untuk memeriksa. Sesampainya di gerbang masuk ke bukit, aku berhenti sejenak dan terdiam. Aku menghela nafas panjang dan memulai untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi saat aku akan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ada yang menggandeng tanganku dan ternyata itu Sonya.

"Sonya, apa yang kau lakukan disini?" tanyaku sambil terkejut.

"Aku melihat kakak, berlari ke arah bukit. Jadi aku mengikuti kakak" jawab Sonya.

"Kak, apa kak tadi juga lihat cahaya itu?" tanya balik Sonya kepadaku.

"Iya, aku melihatnya. Kau mau ikut memeriksanya denganku?" tanyaku.

"Iya, aku ikut" jawabnya.

Akhirnya kami memasuki bukit itu bersama. Hanya dengan membawa senter, kami masuk menuju tempat benda itu jatuh. Pada saat itu aku merasa malu sekali, karena Sonya menggenggam tanganku begitu erat. Aku merasa bahwa dia sedang ketakutan dan aku memakluminya, karena bukit itu sangat gelap dan juga para warga mengatakan bukti itu merupakan tempat tinggal para roh. Tiba-tiba, benda itu memancarkan cahaya kebiruan-nya, kami segera menghampiri benda itu. Sesaat kami hampir sampai, cahaya yang tadi bersinar terang menjadi redup, hanya menyisakan cahaya rembulan yang mulai menerangi jalan kami. Kunang-kunang menghampiri kami seolah-olah mereka menyambut kami. Kami terpesona akan keindahan malam itu, sampai hampir lupa apa tujuan kami kesana. Benda itu jatuh didekat sebuah kolam alami yang berisi banyak ikan-ikan Koi. Benda itu bercahaya namun redup sekali seakan-akan hampir mati. Kami mendekati benda itu dengan langkah kaki yang perlahan dan pasti. Sinar benda yang tadi redup, berkumpul menjadi titik kecil yang terang. Cahaya kecil itu terbang menghampiri kami, dengan bantuan angin sepoi-sepoi untuk mempercepat jalannya. Cahaya kecil itu hinggap dijari manis ku dan berubah menjadi cincin permata biru yang indah. Saat itu aku merasa tenang dan damai, seakan-akan aku terbebas dalam segala beban. Kami yang terpesona dengan keindahan alam di bukit hampir lupa jika bahwa sudah larut malam, jadi kami memutuskan untuk pulang. Perjalanan menuju gerbang bukit tak segelap awal masuk, pohon-pohon yang awalnya menutup rapat-rapat, menjadi lebih renggang hingga kami bisa melihat jalan walau hanya dengan bantuan cahaya rembulan. Kunang-kunang juga mengikuti kami sampai gerbang bukit, seakan-akan menemani kami pulang. Kami berdua hanya bisa terdiam menikmati alam sambil bergandengan tangan tanpa sadar sudah hampir sampai dirumah.

"Malam ini sungguh indah ya?" tanya Sonya.

"Iya, kau benar. Aku takkan melupakan malam yang indah ini" jawabku.

"Aku senang bisa bersama kakak pada malam ini" ujar Sonya.

Aku terkejut dan hanya bisa tersenyum kecil.

"Ya, aku juga"

Malam itu terasa indah untuk kami walaupun kami sendiri baru saja kenal disekolah. Akhirnya sampailah dirumah, aku yang sudah merasa nyaman dengan Sonya merasa tak ingin melepaskan genggaman tangannya.

"Tidak bisa begini, aku harus bisa melepaskan tangannya. Toh besok juga aku bisa bertemu lagi dengan dia" pikirku.

Sampailah kami dirumah, dengan berat hati, aku mulai melepaskan tangannya, lalu mengucapkan selamat tinggal padanya.

"Kak, aku minta nomer telpon-mu" teriak Sonya.

Mendengar hal itu, aku merasa begitu senang.

"Walaupun aku berpisah, setidaknya aku punya nomer telpon-nya" pikirku.

Tanpa pikir panjang, aku memberikan nomer telpon-ku padanya. Sonya terlihat begitu senang tanpa sadar air matanya keluar. Aku yang terkejut, dengan reflek langsung memeluknya, lalu mengelus-elus kepalanya. Sonya lalu tertawa dengan senyuman manis dia berkata terimakasih. Lalu dia berjalan ke pintu rumah dan melambaikan tangannya kepadaku. Aku yang sudah capek, ingin sekali untuk tidur. Tiba-tiba HP ku berbunyi, ada sebuah pesan yang masuk.

"Halo.... Ini Sonya, apa ini Kak Havoc?"

Ternyata sebuah pesan dari Sonya kepadaku.

"Yah, benar sekali. Ini Havoc" jawabku tanpa pikir panjang.

"Baiklah, selamat malam kak" balasnya.

"Selamat malam" jawab dengan perasan yang senang.

"Malam akan menjadi sangat indah apabila diakhiri dengan pesan dari orang yang kau suka."

Sang fajar telah tiba, dihiasi dengan kicau burung dimana-mana. Kini aku bersiap menjalani hari, dan bekerja keras agar sukses dapat diraih. Aku mulai memanaskan sepeda motor dalam garasi, dan bersiap untuk mandi. Tapi mengapa cincin ini sulit sekali dilepas? Ah, sudahlah. Lalu mengambil tas dan bersiap pergi ke sekolah. Tak lupa memberi salam kepada Oma dan juga berdoa sebelum beranjak. Tak ku sangka, seorang gadis pembawa rasa suka, menungguku depan rumahnya.

"Bolehkah aku berangkat dengan kakak?" tanya Sonya.

Dengan wajahnya yang disinari mentari, membuatnya berkilau seperti Dewi. Hatiku yang sudah luluh akan parasnya, membuatku menjawab dengan pasti.

"Tentu saja, dengan senang hati" kata ku.

Kami berangkat bersama untuk menimba ilmu demi masa depan bersama. Sesampainya di sekolah, kami berpisah karena kelas yang berbeda. Dikelas aku merasa aneh, orang yang biasa menghina dan membully-ku, tiba-tiba diam dan memiliki raut wajah yang merasa bersalah. Begitu juga dengan Alex, saat aku menatapnya, biasanya dia langsung menghampiriku dan memukuliku. Tapi kali ini berbeda, Alex memalingkan wajahnya dan berkeringat. Guru-guru disekolah pun demikian, yang biasa membuatku celaka, malah meminta maaf kepadaku dan merasa sangat menyesal.

"Ada apa ini? Kenapa mereka menjadi sangat aneh hari ini? Ah, sudahlah mungkin mereka sadar akan perbuatannya" pikirku.

Bu Isla yang melihat hal itu, menjadi terharu dan memelukku. Pada jam istirahat sekolah, Sonya menemuiku di kelas, dia mengajakku untuk makan di kantin, aku setuju dan mengikutinya. Di kantin begitu banyak orang, tapi beberapa dari mereka memalingkan wajahnya dariku. Tak lama kemudian, Alex dan kawannya mendatangiku.

"H-Hai Havoc, kami minta maaf atas perbuatan kami selama ini. Ku harap kau mau memaafkan kami dan menjadi teman" kata Alex.

Dilihat dari raut muka, mereka meminta maaf dengan tulus dan menyesali perbuatannya. Aku yang heran dan tanpa berpikir panjang, langsung memaafkan mereka. Sonya yang merasa sangat senang, tersenyum padaku dengan sangat cantik. Jam istirahat selesai dan Alex kini menjadi teman. Hingga waktu pulang sekolah tiba, aku dan Sonya pulang bersama. Saat hampir sampai dirumah, aku melihat mobil yang tak asing bagiku. Benar saja, ternyata itu mobil pamanku yang tidak menganggap ku sebagai keluarga. Setelah berpamitan, dengan Sonya aku langsung bergegas menuju rumah Oma dengan hati yang kacau. Saat, aku masuk ke dalam gerbang, bibi ku berlari menghampiriku dan memelukku dengan air matanya yang menetes ke seragam ku. Paman juga begitu, dengan raut muka penuh penyesalan dan sama-sama berkata "AKU MINTA MAAF". Aku terkejut dan tidak tau harus berbuat apa. Tapi dari kejauhan, aku melihat Sonya yang tersenyum padaku dengan senyuman indah, aku membalas senyumannya itu.

"Penyesalan memang datang diakhir tapi siapkah kamu menerimanya?"

Tak terasa 5 tahun sudah berlalu, kini cita-cita ku terkabul. Ya, menjadi dokter adalah cita-citaku. Dengan bantuan paman, aku biasa kuliah sampai sarjana kedokteran. Alex yang dulu musuh, kini menjadi sahabat dekatku. Dan Sonya...

Di malam yang indah dengan rembulan yang bersinar indah, aku mengajak dia ke tempat dimana kita menemukan benda itu. Angin sepoi-sepoi yang menghembus dan kerlap kerlip bintang yang tak terhingga banyaknya, menemani sampai gerbang bukit. Kunang-kunang menghampiri dan pohon membuka merenggangkan diri agar jalan kami diterangi cahaya rembulan, seakan bukit menyambut kami. Ikan-ikan Koi yang berenang kesana kemari, merasa senang akan kehadiran kami.

"Kau ingat malam itu?" tanyaku kepada Sonya.

"Tentu saja, itu malam yang indah untuk kita berdua. Mana mungkin aku bisa melupakannya" sahut Sonya.

"Mungkin malam ini menjadi yang indah kedua kita" ujar ku.

"Benarkah?" tanya Sonya

"Sonya, maukah kau menjadi teman hidupku?" kata ku sambil berjongkok dan mengeluarkan cincin dari saku.

Sonya terlihat begitu terkejut dan meneteskan air mata. Tangannya menutupi mulut dan samar-samar terdengar suaranya.

"Ya"

Benda itu, benda yang jatuh dari langit kembali lagi bersinar membuat sebuah titik cahaya lalu terbang menuju cincin yang sudah terpasang di jari Sonya. Cahaya itu hinggap dan merubahnya menjadi permata biru yang sama sepertiku. Mungkin inilah cara alam membantuku. 3 bulan berikutnya, kami menikah.

"Tak usah takut akan kegelapan malam, karena masih ada rembulan dan bintang yang memancarkan sinar. Tak usah takut akan kesendirian, karena Tuhan sudah memberikan pasangan."

Sekian terima kasih...

Mohon maaf jika cerita ini membuat para pembaca bingung, karena ini pertama kalinya saya membuat sebuah novel

Ezra_Wahyu_3675creators' thoughts