Zaki meraih air minuman dalam gelas yang tersedia di atas meja. Dia meneguknya, mencoba menarik dan membuang napas berkali-kali agar sesegukannya lekas berhenti. Aku tersenyum melihatnya, Zaki bukan lagi bocah kecilku yang polos. Kini dia sudah mulai tumbuh dengan pemikiran yang mulai dewasa.
"Doni kemarin cerita, mamah sama papahnya tidur pisah kamar lama banget. Akhirnya, sekarang mereka bercerai. Doni tinggal sama papahnya di rumah, sedangkan mamahnya kembali ke rumah nenek dia. Aku gak mau ayah sama papah tidurnya pisah-pisahan terus. Aku gak mau kalian nanti pisah seperti mamah papah Doni," ungkap Zaki.
Matanya kembali berkaca-kaca, usahanya meredekan tangis tadi seolah sia-sia. Tetes demi tetes bulir bening kembali mengalir membasahi pipinya.
Ya Allah, aku hanya bisa beristigfar, bisa-bisanya anakku berpikiran sejauh itu. Aku menarik Zaki mendekat, wajahnya tenggelam di dadaku. Air mata Zaki mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Bahkan mulai membasahi kaos yang kupakai.
"Ayah harus bujuk Bunda supaya mau tidur di kamar kalian lagi, janji ya, Yah," pinta Zaki dengan tergagap di tengah isak tangisnya.
"Iya Ayah janji."
Aku mengangguk, dia mengajakku menautkan kelingking kami, memintaku mengucapkan janji kembali.
"Ayah janji, janji bujuk bunda biar kembali tidur di kamar bareng ayah dan membuat suasana rumah kembali seperti biasanya," janjiku pada Zaki. Dia kembali memelukku.
Tak ada lagi kalimat yang keluar dari bibirnya. Napasnya yang tadi tersengal karena meluapkan emosi dengan tangis kini mulai terdengar teratur. Aku menyusut hidung Zaki dan membersihkan wajahnya yang basah oleh air mata.
"Sudah malam, Bang. Kita ke kamar ya," ajakku.
Zaki mengangguk menerima ajakanku untuk tidur. Aku berjongkok di depannya, dia naik ke punggungku, kemudian aku menggendongnya menuju kamar. Setelah menurunkan Zaki ke tempat tidur. Aku menyalakan kipas angin dan menyelimutinya, tak lupa aku memastikan dia berdoa sebelum tidur baru berbalik untuk mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan nyala lampu lain yang lebih redup.
"Tidur nyenyak ya, Bang. Semua akan baik-baik saja," ucapku sebelum menutup pintu. Zaki mengangguk dan mengacungkan kedua ibu jarinya padaku.
Aku kini duduk di sofa bed ruang keluarga, menatap pintu kamar Nisya. Di dalmnya sudah tentu ada Pipit dan anak gadisnya.
Seminggu ini aku tak berani masuk ke kamar Nisya untuk memastikan istri dan si bungsu telah tertidur atau masih terjaga. Namun, janjiku pada Zaki membuatku harus berusaha mendekatkan diri pada Pipit.
Aku menatap jam dinding, jam setengah sepuluh malam. Biasanya Nisya sudah pasti tidur, entahlah dengan Pipit. Terkadang dia menunggu kantuk datang dengan menonton drama Korea. Aku tak mempersalahkan itu kalau saja Pipit memperdulikan keberadaanku ketika menemaninya menonton. Hanya saja dia terlalu fokus dan menghayati tiap adegan yang diputar tanpa mau diganggu. Hal itu yang membuatku bosan hingga aku menikmati saat bertukar kabar, bertanya jawab dan bercanda di chat dengan Mariska tanpa sepengetahuan Pipit.
Pipit tak pernah menaruh curiga saat aku dengan asiknya membalas pesan Riska di sampingnya. Bahkan, tak jarang obrolan kami saling memancing hingga menjurus ke obrolan yang bersifat intim. Aku sering terpancing dan membayangkan Riska dengan sukarela melayaniku dengan keagresifan dan sifat manjanya.
Imajinasiku semakin liar membayangkan bisa melakukan hubungan badan dengan Riska, tapi setiap kali aku mengajak Pipit untuk merealisasikan apa yang ada di pikiranku, dia selalu menolak dengan alasan ngantuk dan capek. Padahal dia selalu punya banyak waktu untuk menatap layar ponselnya. Sudah sering aku mengungkapkan hal tersebut padanya. Namun, tak pernah sekalipun ditanggapi dan digubris oleh Pipit.
Kekesalanku memuncak ketika dari bada isya hingga jam sepuluh malam dia masih asik dengan gawai kesayangannya. Aku mendekati dan merayunya untuk menuntaskan hasrat lelakiku yang terpancing desahan dan rayuan Riska di telepon tadi. Namun, Pipit menolak dan mematikan ponsel, kemudian berbaring memunggungiku.
Sesuatu yang teramat membuatku kesal. Sikapnya benar-benar menyebalkan jika begitu. Aku langsung keluar kamar dan membanting pintu dengan kasar dan meninggalkan Pipit begitu saja. Kalau sudah begitu pelarianku langsung pada ponsel. Aku kembali mengambil ponselku untuk menghubungi Riska lagi.
"Kenapa lagi? Katanya mau praktek sama istri, kok malah telepon aku lagi." Suara Riska terdengar manja, mungkin setan teramat mendukungku berselingkuh hingga tiap kata yang keluar dari mulut Riska bagai bisikan dan desahan yang memabukkan.
"Ketemu yuk, Yang. Penasaran kamu berani gak goda aku secara langsung." Aku sengaja menantangnya, karena tak tahan dengan imajinasi liarku yang tak pernah bisa disalurkan dengan sempurna ketika bersama Pipit.
"Siapa takut, jemput aku di Bandung hari Minggu ya. Banyak hotel 'kan kalau kamu gak tahan dengan godaanku," tantang Riska tak mau kalah.
Ajakan Riska langsung aku iya 'kan. Tanpa berpikir ulang. Akhirnya, aku menyusun rencana agar Pipit tidak curiga dengan kepergianku ke Bandung untuk menjemput Riska. Hingga terjadilah kejadian yang tak bisa dielakkan. Riska memang benar-benar hot di atas ranjang. Dia bergerak sangat liar dan lincah mengimbangi setiap permainanku.
"Faster, Wan. Aku milikmu. Puaskan aku," teriaknya berkali-kali ketika aku yang memegang kendali.
"Kamu milikku sayang, teruslah mendesah sebut namaku," suruhku.
Dia menurut, di setiap desahannya selalu namaku yang dia sebut. Dia benar-benar membuatku gila. Aku menyukai caranya mendesah memanggil namaku. Aku menyukai caranya memuji permainanku. Aku menyukai semua perlakuan Riska yang teramat membuatku mabuk kepayang. Aku bahkan lupa kalau statusnya yang masih single tapi pengalamannya luar biasa. Aku bahkan tidak berpikir dosa dan apapun yang akan terjadi yang diakibatkan dari segala perbuatanku saat itu.
Aku hanya bisa merasakan Imajinasiku terealisasi dengan sempurna bersama Riska, tanpa kusadari saat itu Pipit begitu mencemaskan aku yang tidak bisa dihubungi ketika badan Nisya menggigil karena demam.
"Kurang ajar! Bisa-bisanya kamu selingkuh saat anakmu demam tinggi dan mengigau memanggil namamu. Bapak malu punya anak sepertimu. Istrimu menangis melihat kondisi putrimu, mencemaskan keselamatanmu, tapi kamu malah...."
Plak. Plak
Bapak menamparku dua kali, di kedua pipiku dengan segenap tenaga yang mampu dia keluarkan. Aku hanya menunduk menerima tamparan bahkan bogeman kepalan tangan bapak di wajah dan tubuhku. Saat dia tak lagi mampu berkata-kata. Akhirnya, dia meninggalkanku dan tidak mengijinkan aku berada di rumah sakit.
"Bertaubat, Wan. Minta maaf pada istrimu, perbaiki hubungan rumah tangga kalian, baru kamu datang ke rumah kami untuk meminta maaf pada bapakmu," pesan Ibu setelah bapak pergi beliau mendekat menasehatiku.
"maafkan aku, Bu." Aku menggenggam kedua telapak tangannya sambil bersujud.
"Minta maaflah pada istrimu, dia yang paling tersakiti karena ulahmu," saran Ibu terdengar sangat lembut menyejukanku. bagai oase di tengah gurun.
Aku mengangguk dia mengusap kepalaku sebelum kembali ke ruang perawatan Nisya. Sampai sekarang aku belum berani bertemu bapak. Aku tidak punya muka menampakkan diri di depan bapak sebelum aku bisa melaksanakan apa yang dipesankan ibu malam itu.
_____I.S_____
Maaf baru update lagi kakak, ada yang mau aku update rutin setiap hari gak?
Bisa jawab di komentar ya kak. Insyaallah bisa mulai besok bisa update setiap hari kalau aada yang nungguin ceritaku.