Nindya POV
Hari ini ujian sekolah berakhir, tadi pagi mamah dan papah sudah kembali berangkat ke Cikarang. Meskipun ada rasa sedih, tetapi pesan papah selalu membuatku berusaha legowo dan nrimo. Hidup memang tak selamanya mulus sesuai keinginan kita. Namun, rasa syukur akan membuat hidup terasa indah.
Aku baru sadar, sebenarnya aku tak perlu mencari konsultan seperti bu Lelis atau bu Hera. Bagi seorang anak konsultan terbaik mereka adalah orang tua. Mau kesal, ngeluh, curhat dan lainnya, selagi disampaikan tanpa emosi, pasti orang tua akan memberikan solusi terbaik.
Beda halnya kalau kita menyampaikannya dengan emosi, nada kesal, atau tangisan. Bisa-bisa bukan dapat solusi kita malah kena marah. Bagaimana tidak, mereka yang lelah, mereka yang kerja, eh kita sebagai anak dengan seenak hati minta ini-itu dengan nada kasar.
"Nin, itu sampah sudah penuh, dibuang dulu," jerit Wa Das.
Rumah wa Das tepat berada di sebelah kiri rumahku. Kalimat wa Das yang kerap kali membuatku malas keluar. Namun, papah bilang Wa Das sangat menyayangiku. Dialah yang selalu mongmong dan menjagaku ketika bayi.
Saat itu emak dan bapak masih merantau di Jakarta, sebagai pedagang gorengan juga. Jeritan wa Das tadi aku artikan dengan bahasa indah seperti kata papah, mungkin maksud wa Das adalah 'Nindi sayang, sampahnya sudah penuh, uwa gak msu nanti jadi sarang nyamuk dan gigit kamu. Dibuang dulu ya sayang.'
Ah indah banget kan kalimat wa Das yang aku terjemahkan. Aku membuka pintu depan dan keluar dari kamar.
"Iya Wa," jawabku sambil mengambil kresek sampah untuk aku buang di bak sampah besar di tanggul yang tak jauh dari rumah.
"Kamu sudah makan?"
Aku menggeleng. Dia memberikan selembar uang lima puluh ribuan.
"Beliin baso ya dua, buat uwa pake bihun aja, terus pedes. Satunya buat kamu," perintah Wa Das yang aku angguki disertai senyuman.
Benar kan dia baik. Hanya caraku saja yang salah menangkap kalimat yang terlontar olehnya. Papah benar, aku gak bisa ngatur orang untuk ngomong apa, tetapi aku harus bisa menerjemahkan semua kalimat orang dengan bahasa indah agar hatiku tak selalu menggerutu dan mengeluh karena perkataan orang lain.
Langkahku terasa ringan saat berjalan membuang sampah, kemudian membeli baso. Berbeda dengan dulu yang selalu menggerutu tiap kali Wa Das nyuruh atau ngomel.
Hidup itu pilihan, dan pilihan terbaik adalah selalu mensyukuri apa yang sudah Allah berikan untuk kita. Terima kasih papah, mamah. Terima kasih bu Hera sudah membuatku berani terbuka dengan kedua orang tuaku.
Setidaknya aku merasa Menikmati hidup dengan lebih santai tanpa gerutuan, lebih menyenangkan dengan mensyukuri apapun.
Seperti Minggu pagi ini, saat Bi Sarmi teriak-teriak di depan pintu dengan maksud membangunkanku.
"Nindi udah hampir zuhur belum bangun, ya Allah kebluk banget nok, bangun. Itu emak repot nyiapin makan buat kuli tandur," jerit Bi Sarmi di depan pintu.
Aku yang baru selesai mandi segera membuka pintu dan memamerkan senyum ala pepsodent dengan menggaruk rambutku yang sama sekali gak gatal.
"Iya maaf Bi, semalam gak bisa tidur gara-gara suara burung beak Bi," jelasku dengan mimik memelas.
Burung beak adalah panggilan untuk burung hantu di tempatku.
"Iya ya, Nin bibi juga merinding dari jam dua sampe subuh kalau gak salah," timpal Bi Sarmi.
"Iya Bi, makanya kesiangan. Habis subuh tidur lagi."
"Ya lain kali kalau takut kamu pindah tidur ke rumah bibi, rumah uwa atau ke emak," sarannya dengan intonasi yang mulai melunak.
Benarkan kata papah, apapun akan terasa menyenangkan kalau dihadapi dengan senyuman. Teriakan dan omelan bi Sarmi kalau ditanggapi dengan menggerutu kesal atau amarah, bisa semakin menjadilah dia ngomel. Namun, ketika aku belajar mengartikan omelannya dengan bahasa cintaku, aku bisa tersenyum menghadapinya.
Aku yakin maksud bi Sarmi baik saat membangunkan aku, agar kemenakannya ini tidak memiliki kebiasaan bangun siang. Hanya saja kosa kata beliau yang hanya itu-itu saja membuat penyampaiannya kurang enak di dengar. Tinggal tugasku menerjemahkannya menggunakan bahasa indah penuh cinta, agar bisa menanggapinya dengan senyuman.
Gak percaya?
Silakan kalian coba, mencoba menjadi penerjemah komentar pedas orang dengan bahasa indah kalian. Aku yakin hidup kalian akan lebih indah.
_____I.S_____
Hera sedang berkeliling mengecek kebersihan setiap kelas. Netra matanya menatap heran keempat siswi yang duduk mengitari meja. Mereka cekakak-cekikik di dalam kelas, yang membuatnya mengernyitkan dahi adalah ekspresi bahagia dari Nindya yang tertawa lepas dengan ketiga temannya. Sebagian siswa yang menyadari kehadiran Hera, tanpa komando langsung diam dan duduk dengan rapi di kelasnya.
"Nindya, Susan,"panggil Hera didahului deheman.
"Eh, maaf bu," ucap mereka serempak.
Nindya dan Susan langsung memutar badannya menghadap ke depan. Kepala mereka menunduk.
Hera tersenyum melihat ekspresi takut yang ditunjukan mereka berdua.
"Ketua kelasnya mana?" tanya Hera.
"Di kantor Bu, dipanggil Bu Irma. Katanya mau dibagikan surat pengumuman," jawab salah seorang siswa yang duduk di barisan paling depan.
Hera mengangguk-anggukkan kepalanya ber-oh ria. Dia kemudian keluar dari kelas Nindi dan kembali berkeliling. Satu hal yang Hera yakini kini, Nindi sudah lebih baik dari sebelumnya. Dia berharap semoga hubungan Nindi dan keluarganya membaik.
Para siswa bernapas lega melihat Hera yang sudah berjalan menjauh dari kelas mereka. Beberapa menghembuskan napas lega. Sebagian lagi mengelus dada dan berucap syukur karena inspeksi dadakan Hera di kelas mereka tidak berlangsung lama.
"Lelis, sepertinya kasus Nindi selesai Nih," kata Hera begitu berpapasan dengan Lelis yang hendak masuk ke kelas sembilan A untuk memberikan beberapa pengumuman untuk kelas yang diwalikan padanya.
"Alhamdulillah ya, Bun," ucap syukur terlontar dari bibir Lelis.
"Aku ngelihat dia lebih ceria belakangan ini," tambah Lelis.
Hera mengangguk setuju dengan pernyataan yang Lelis ucapkan barusan.
"Lega ya, Lis, rasanya plong banget," aku Hera.
Badannya dia senderkan di tiang penyangga bangunan kelas dengan tangan bersedekap.
"Iya, Bun. Kalau kasus klienku berakhir bahagia rasanya tuh plong banget, sama kayak yang bunda rasakan sekarang."
Di tangan Lelis ada setumpuk kertas yang telah terlipat rapi untuk dibagikan ke siswa kelas sembilan A.
"Semoga selalu lancar ya dalam menyelesaikan kasus klien," doa Hera untuk Lelis.
"Amin, Bun. Sekarang lagi gak ada job. Belum ada klien lagi, jadi bisa family time terus sepulang sekolah."
"Insya Allah kalau udah banyak yang tahu dan kenal biro jasa kamu, nanti bakal ramai kok, Lis. Yo wis Ibu mau ke kantor dulu," pamit Hera.
Hera menepuk lengan kanan Lelis dengan telapak tangan kirinya. Dia pun kembali melanjutkan langkahnya untuk bergabung dengan para guru yang ada di ruang kelas menunggu waktu giliran mereka masuk ke kelas, sedangkan Lelis menunaikan maksudnya sebelum bertemu Hera. Di masuk ke ruang kelas diawali salam.
_____I.S_____