Setelah beberapa saat duduk merenung menatap pintu kamar Nisya. Wawan memberanikan diri melangkah menuju kamar Nisya. Janjinya pada Zaki membuat kaki Wawan terasa enteng. Sehingga, tanpa sadar dia sudah berada di depan kamar Nisya. Perlahan Wawan membuka pintu kamar Nisya, Nisya sudah terlelap di atas ranjang dengan selimut yang menutupi sebagian badannya. Namun, Wawan terkesiap melihat Pipit yang duduk khusyuk di atas sajadah dengan mukena yang dia pakai. Sesuatu yang tidak pernah Pipit lakukan sebelumnya, hingga mata Wawan beberapa kali mengerjap memastikan bahwa yang dia lihat adalah sesuatu hal yang nyata bukan ilusi atau sebagainya.
Suara ranjang yang berderit ketika Wawan duduki membuat Pipit menoleh ke asal suara.
"Wan," katanya lirih, kemudian Pipit melepas mukena yang dia pakai dan melipatnya untuk ditaruh di meja kecil bersama tasbih yang dia gunakan.
Pipit memang terbiasa memanggil suaminya hanya dengan nama saja 'Wawan' tanpa imbuhan apa pun ketika tidak ada anak-anak.
"Aku mau ngomong, bisa?" cetus Wawan saat Pipit sudah berdiri di depannya.
Pipit mengangguk, "Di luar saja ya," ajaknya lirih.
Dia melangkah terlebih dahulu ke luar dari kamar Nisya, diikuti Wawan yang menutup pintu kamar sang putri. Langkah Pipit terhenti di ruang televisi. Dia duduk di spring bed yang diletakkan di sana. Wawan yang mengekor di belakangnya memilih duduk di kasur bulu karakter yang digelar di samping spring bed.
"Aku...," ucap mereka bersamaan.
"Kamu dulu, Pit,"
"Aku minta maaf,"
"Aku yang salah Pit. Aku yang minta maaf. Bisakah kekakuan ini segera mencair, aku kangen kamu yang cerewet, Pit," ungkap Wawan dengan menggenggam erat jemari Pipit
Pipit tersenyum hambar. Wawan kemudian menceritakan rengekan Zaki dan ketakutan yang dia rasakan melihat mereka yang tidak pernah tidur sekamar dan keganjilan yang Zaki rasakan dari hubungan mereka belakangan ini.
"Abang ngomong begitu?" Ada rasa bersalah yang menyeruak ketika mendengar cerita Wawan saat si sulung mengungkapkan apa yang dia rasakan.
"Aku berjanji untuk membujukmu biar kembali tidur di kamar lagi dan membuat suasana rumah kembali seperti biasanya, baru dia berhenti nangis dan mau diajak tidur," pungkas Wawan mengakhiri cerita.
"Ya Allah, maafkan bunda abang," ucap Pipit lirih dengan rasa bersalah pada si sulung.
"Maaf, maaf Wan, mungkin aku memang terlalu egois karena jujur aku terlalu sulit melupakan apa yang kulihat. Terlalu sulit untuk berhenti membayangkan apa yang kalian lakukan di belakangku. Aku memang salah dan ikut andil dalam hal ini. Namun, keegoisanku belum bisa dikendalikan. Jujur, Wan, Aku jijik membayangkan semua bagian tubuhmu bekas dia, aku...."
Pipit tak sanggup melanjutkan kalimat berikutnya, dadanya terlalu sesak. Wawan menarik Pipit turun dari spring bed dan membiarkan dia meluapkan tangis di dadanya. Dia memeluk erat dan mengusap rambut hingga punggung Pipit sambil terus mengucapkan kata maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
"Menangislah, Pit. Semoga dengan tangismu ini, semua kebencianmu padaku ikut menguap dan hilang bersama air mata yang jatuh. Aku janji, Pit, tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Aku janji, Pit, itu menjadi yang pertama dan terakhir. Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Pit. Bantu aku untuk menjadi suami yang bertanggung jawab untuk membuat kamu dan anak-anak selalu merasa bahagia."
Wawan mencium kening Pipit mengakhiri ungkapan panjang kalimat dengan penuh nada penyesalan. Kedua telapak tangannya memegang kedua sisi pipi sang istri, menatapnya dalam, ingin membuktikan kesungguhan dari perkataannya.
"Kamu mau memulai semuanya dari awal, menjadi istri dan ibu dari anak-anakku? Aku janji tidak akan pernah berselingkuh di belakangmu lagi. Maafkan aku," mohon Wawan berharap Pipit akan mengabulkan permintaan yang diucapkannya.
Pipit mengangguk, Wawan kembali memeluk sang istri erat. Dia usap kedua mata dan pipi sang istri yang berlinangan air mata dengan telapak tangannya. Wawan kemudian berdiri berjalan ke bufet TV untuk mengambil tisu. Dia membantu Pipit membersihkan wajahnya.
"Aku mau ke kamar mandi," pamit Pipit. Dia berdiri dan melangkah ke kamar mandi di samping dapur. Baru dua langkah Pipit berjalan, Wawan menarik tangannya membuat dia berhenti dan berbalik menengok ke arah sang suami yang kini sudah berdiri.
"Kamar mandi di kamar saja, ya," ajak Wawan menuntun Pipit berjalan menuju kamar.
Wawan duduk di salah satu sisi ranjang menunggu Pipit di kamar mandi. Pintu yang terbuka, memperlihatkan wajah pipit yang terlihat lebih segar meskipun hidung dan matanya masih memerah. Pipit ikut duduk di samping Wawan.
"Yuk tidur." Wawan menepuk ranjang yang didudukinya.
Pipit membaringkan tubuhnya, Wawan kemudian berjalan ke arah stop kontak lampu untuk mengganti nyala lampu kamar dengan yang lebih redup dan kembali berjalan ke sisi ranjang yang lain untuk ikut berbaring dengan sang istri. Ditariknya Pipit untuk lebih mendekat. Dia merentangkan lengan kanan untuk menjadi bantal dan meletakkan kepala Pipit di atasnya.
"Aku mencintaimu, maafkan aku," ucap Wawan sebelum mendaratkan kecupan di kening Pipit.
Dia bawa sang istri ke dalam pelukkannya dan mengusap rambut Pipit dengan tangan kiri sampai mereka sama sama terpejam dan terlelap.
Malam ini adalah malam pertama mereka kembali tidur bersama setelah hampir dua minggu pisah ranjang karena affair Wawan dengan Si Mantan. Malam yang menjadi saksi janji Wawan pada Zaki untuk kembali rukun bersama sang bunda. Malam yang menjadi saksi saat Wawan dan Pipit berjanji bersama untuk mulai membangun rumah tangga mereka dari awal lagi. Mencoba saling melupakan kejadian buruk yang baru saja dilewati. Mencoba belajar saling memperbaiki diri dan berharap tak pernah ada lagi pihak ketiga yang membayangi rumah tangga mereka.
Azan subuh berkumandang, Zaki terbangun lebih dulu mendengar teriakan Nisya memanggil bunda mereka.
"Nisya kenapa?" Zaki mengusap pipi sang adik yang sudah dibanjiri air mata.
"Bunda bang, bunda," rengek Nisya disela isak tangisnya.
"Nisya kan udah sehat, udah sembuh, anak pintar. Bunda tidur di kamar sama ayah, yuk kita bangunin. Jangan nangis ya Nisya cantik," bujuk Zaki seraya mengusap rambut adiknya.
Zaki menuntun Nisya berjalan ke kamar ayah dan bundanya. Usia mereka terpaut tiga tahun.
Tok tok tok
Suara pintu diketuk Zaki.
"Bunda, ayah, bunda, ayah," teriak Nisya berulang-ulang.
"Masuk saja yuk bang," ajaknya pada Zaki.
"Gak boleh sayang, nanti abang ketuk lagi ya."
Baru saja Zaki hendak mengetuk pintu saat terdengar suara gagang pintu yang diputar dan Wawan membuka pintu dengan lebar.
"Anak ayah sudah bangun semua, sudah subuh?" tanya Wawan menyambut kedua anaknya yang berhambur memeluknya.
"Baru azan ayah," jawab Zaki.
Pipit keluar dari kamar mandi dengan muka yang masih basah seusai wudu.
"Wah kayak Teletubbies nih, berpelukan," guraunya. Nisya berlari memeluk kedua kaki Pipit.
"Abang wudu ya, kita salat di masjid. Nisya wudu sama bunda di sini."
Zaki mengangguk dan keluar kamar bersama sang ayah.
Subuh yang menentramkan jiwa mereka. Subuh pagi dengan niat di hati Wawan dan Pipit untuk belajar lebih baik lagi dalam membina keluarga mereka.
Subuh yang disambut kedua malaikat kecil yang mewarnai dunia mereka.
Semoga Subuh hari ini benar-benar menjsdi awal kebahagiaan keluarga mereka.
_____I.S_____