Setelah seminggu mengirimkan jadwal konsultasi pada Pipit, tak sekali pun Lelis menerima pesan konfirmasi dari Pipit. Hari ini dia berencana berkunjung ke rumah Pipit menanyakan perkembangan hubungan kliennya, kalau pun sudah tidak memerlukan jasanya maka dia akan menutup kasus yang didaftarkan Wawan dengan pembayaran sukarela saja karena kasusnya tidak bisa terselesaikan dengan baik.
[Assalamualaikum, Mbak sore ada di rumah? Insya Allah saya mau berkunjung untuk sambung silaturahmi.]
Pesan terkirim ke nomer Pipit.
Lelis masih berada di dalam kelas menunggu para siswa yang sedang mengerjakan ulangan harian.
"Bu aku mau nanya boleh?" Siswa perempuan yang tinggi dengan kulit sawo matang, memakai kaca mata minus tapi tidak membuatnya terlihat cupu berdiri di depan meja Lelis.
"Tadi kamu 'kan udah ngumpulin lembar jawaban, Nin," jawab Lelis pada siswi bernama Nindya.
"Iya, tapi aku gak mau nanya soal pelajaran."
Lelis mengerutkan dahi.
"Jam istirahat ibu sibuk?" lanjut Nindya, sepertinya ada hal yang sangat penting yang ingin dia sampaikan pada Lelis.
"Nanti ke kantor saja ya, sekarang Nindya duduk dulu," kata Lelis disertai senyuman.
Nindya permisi undur diri dan kembali duduk di bangkunya.
Bel istirahat berbunyi, para siswa langsung berhambur keluar dari kelas masing-masing. Lelis memesan dua es teh tawar ke Ibu kantin dan minta diantar ke mejanya saat berjalan menuju ruang guru melewati kantin sekolah.
"Aduh bu konsultan makin cerah saja nih muka," cetus Mirna, guru Matematika di SMP tersebut.
"Cerah dong secerah matahari di tanggal muda, bentar lagi juga bunda Wiwin nyuruh tanda tangan, eh keceplosan."
Kalimat Lelis ditanggapi para guru dengan seruan 'Aw aw wow honoran' yel-yel kebanggaan mereka ketika awal bulan menantikan Wiwin selaku bendahara sekolah membagikan honor bulanan pada guru di sekolah tersebut yang masih berstatus sebagai guru tidak tetap (GTT) atau sering dipanggil guru honorer. Sahut menyahut membahas tanggal muda dan honor bulanan pun berlanjut hingga Nindya mengetuk pintu disertai ucapan salam sebelum meminta ijin masuk untuk bertemu Lelis.
Lelis meminta Nindya masuk dan membawakan dua gelas es teh tawar yang baru saja diletakkan anak ibu pemilik kantin di mejanya. Dia mengajak Nindya keluar lewat pintu samping yang terhubung dengan ruang UKS, meninggalkan rekan-rekannya yang masih asik mengobrol santai menghabiskan waktu istirahat.
"Di sini saja ya Nin ngobrolnya," ajak Lelis sambil duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan UKS diikuti Nindya yang juga duduk di sampingnya. Ruang UKS kebetulan kosong, tidak ada siapa pun.
"Es tehnya diminum, Nin."
"Terima kasih, Bu," ucap Nindya tanpa menyentuh gelas es teh tawar yang ia taruh di meja.
"Kamu ada perlu apa sama ibu?"
"Bu, Nindi mau nanya soal biro jasa yang sering ibu posting di Facebook itu...." Nindya berkata dengan ragu melihat mimik wajah Lelis yang langsung berubah. Dia menggigit bibir bawahnya takut-takut.
Nindya Kusuma Dewi yang akrab dipanggil Nindi oleh teman sekelasnya adalah siswa yang cerdas, dia selalu mendapatkan peringkat pertama sejak kelas tujuh SMP hingga di semester ganjil kelas sembilan pun peringkatnya belum tergeser. Namun, Nindi termasuk golongam siswa introvert.
Yang dimaksud siswa introvert di sini adalah seseorang yang cenderug pendiam, pasif, tidak terlalu bersosialisasi, hati-hati, tertutup, penuh perhatian, pesimistis, damai, tenang, dan terkontrol. Biasanya, siswa seperti ini lebih suka menyendiri dan tidak suka dengan keramaian atau kebisingan.
"Biro jasa ibu itu untuk orang dewasa, Nin," tutur Lelis perlahan.
"Jasa yang ibu tawarkan untuk memperbaiki hubungan rumah tangga, 'kan?" potong Nindya.
Kedua alis Lelis saling bertautan ketika dia mengernyitkan dahi. Tiga tahun dia mengajar Nindya baru kali ini dia duduk berhadapan dan berkomunikasi dengan siswa paling pendiam yang dia kenal selama ini.
"Kamu tahu, terus?" pancing Lelis agar Nindya mengatakan maksud dan tujuannya menanyakan biro jasanya.
"Aku mau daftar jadi klien Ibu. Aku merasa keluargaku tidak baik-baik saja. Mamah dan papah membawa adikku merantau ke Cikarang dengan alasan mereka ingin fokus mencari duit demi kebahagiaanku. Padahal aku di sini membutuhkan mereka. Setidaknya, salah satu di antara mereka ada bersamaku. Bukankah dalam rumah tangga bukan hanya ada suami dan istri, tetapi juga ada anak. Aku butuh mereka, Bu," ungkapnya lancar tanpa keraguan sedikit pun. Seolah kalimat yang dia ucapkan tadi sudah dia pikirkan jauh hari sebelum dia memutuskan untuk berbicara dan berhadapan langsung dengan Lelis.
"Oh, oke," gagap Lelis menyadarkan dirinya kalau yang ada di depannya sekarang adalah benar Nindya Kusma Dewi yang kini duduk di kelas sembilan C.
Nindya, siswa yang selalu menghindar untuk bertegur sapa dengan para guru di sekolah ini. Siswa yang sangat susah didekati, tetapi tadi dengan lancarnya mengungkapkan keinginannya mendaftar menjadi klien di biro jasanya karena merasa hubungan dia dan orang tuanya perlu diperbaiki. Lelis berpikir sejenak bagaimana menanggapi keinginan Nindya.
Ponsel di saku bajunya bergetar dengan dering yang menandakan ada sebuah pesan masuk.
"Sebentar ya, Nin, Ibu baca pesan dulu," ijin Lelis sebelum mengambil ponselnya.
[Mbak, bisa ketemu di warung sate 'ASAL PENGEN' jam dua siang. Yang di depan gang sebelum masuk ke rumah mertuaku.]
Satu pesan masuk dari Pipit memberikan dia ide bagaimana merespon kalimat Nindya.
[Oke mbak]
Lelis dan suami sering makan di warung sate yang dimaksud Pipit, dengan cepat dia mengirim pesan balasan yang menerima ajakan Pipit.
Lelis mengunci ponsel dan memasukan kembali ke saku. Dia menggenggam kedua telapak tangan Nindya yang terkepal di atas paha. Telapak tangan yang terasa dingin, sedingin ekspresi yang Nindya tunjukan kini.
"Nin, Ibu minta waktu satu Minggu, Nindya mau menunggu ibu menyelesaikan kasus yang sedang ibu tangani dan belum terselesaikan. Setelah kasus dengan klien Ibu yang satu itu dinyatakan selesai. Ibu akan panggil Nindya lagi, bagaimana?" papar Lelis meminta pengertian Nindya.
Selama ini Lelis tidak mau menangani lebih dari satu kasus karena bagaimanapun ada anak dan suaminya, yang juga butuh diperhatikan. Apalagi ditambah kesibukannya mengajar. Dia tidak mau salah satu tugasnya terbengkalai gara-gara bisnis biro jasa yang baru dirintisnya. Untuk jadwal konsultasi pun disesuaikan dengan waktunya di sekolah dan di rumah agar kliennya paham tidak setiap waktu bisa menghubungi Lelis.
Nindya mengangguk, "Terima kasih, Bu." Nindya meraih tangan kanan Lelis untuk dicium. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Nindya langsung mengucapkan salam dan berlalu keluar dari ruang UKS dari pintu depan UKS yang tidak terhubung dengan ruang guru.
Lelis menghembuskan napas dengan kasar, dia menenggak es teh tawar di hadapannya tanpa sisa.
"Bagaimana bisa menyelesaikan kasus Nindya. Kenapa gak ke guru BP/BK saja ya?" gumam Lelis lirih sambil mencoba terus memikirkan kemungkinan yang terjadi kalau dia menerima Nindya sebagai klien-nya. Pasalnya, Nindya masih di bawah umur.
"Ya Allah lieur, Au ah pusing," keluh Lelis pada dirinya sendiri.
Dia kembali ke ruang guru menuju pintu samping, tak lupa segelas es teh tawar yang masih utuh tidak disentuh Nindya dia bawa dengan tangan kanannya bersama gelas kosong di tangan kirinya.
_____I.S_____