webnovel

BACK STREET

Seminggu berlalu, Lukman masih tertegun membaca penjelasan panjang lebar yang dikirimkan Ami ke HPnya. Tidak masuk akal rasanya, bila yang dipermasalahkan hanya karena perbedaan usia saja. Tidak terlalu terpaut jauh, hanya lebih kurang tujuh tahun. Jika masalahnya dulu Yuni yang masih belia, oke. Tapi sekarang Yuni itu sudah besar, dia pasti juga ingin punya cinta. Cinta yang tak terkekang, cinta yang bebas diekspresikan, cinta yang berbalas tentunya. Merasakan memiliki seorang kekasih, yang bertanggung jawab dan mampu menjaga dirinya.

Tapi, jika masalah pekerjaan yang dijadikan alasan, Lukman mungkin butuh waktu. Saat ini dirinya memang bisa dikatakan tidak memiliki pekerjaan tetap. Merantau ke Jakarta bertahun-tahun hanya bekerja di toko kakaknya saja, belum cukup terkumpul  modal untuk buka usaha sendiri. Lama dia tidak pulang, hingga kali ini dia harus balik kampung. Ibunya sangat rindu ingin bertemu dengan anak lelaki satu-satunya, ditambah kesehatan Ibu yang semakin menurun saja.

Lukman merasa memiliki banyak waktu untuk medeklarasikan cintanya, menuju pelaminan. Yuni pun tentu belum akan siap, tamat sekolah langsung menikah. Gadis itu pasti ingin melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi, lalu mencoba mencari pekerjaan, merasakan memiliki gaji sendiri, kemudian bersenang-senang bersama teman-teman. Belum ingin ada kewajiban mengurus suami di rumah, lalu merasa hidup penuh kekangan. Rasanya begitu panjang waktu yang tersedia memantapkan kondisi kehidupan sendiri, untuk setelahnya membawa wanita dengan status istri masuk ke rumah, mempertanggung jawabkan hidup dan matinya, kenyang dan laparnya, sepenuh jiwa raga.

Niat tulus itu ada, tentu. Lukman bukan tipe pria yang suka main-main, sejak awal dia sudah merasa Yuni kelak akan menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Tentu saja, dia akan melamar Yuni, saat dirinya merasa sudah mapan dengan penghasilannya. Kini usia dirinya sudah memasuki dua puluh lima tahun, dia ingin membuat Yuni bersedia menunggunya. Dia ingin Yuni menjadi kekasihnya, yang dengan demikian tidak akan ada pria lain yang bisa memacarinya.

Saingannya mungkin hanya ada satu, pria yang berani melamar Yuni.

"Bang, Ami belum tahu bagaimana perasaan Yuni ke Bang Lukman. Cuma Ami coba dulu lah ya, tanya." Ami memegang lengan Lukman yang kini duduk dihadapannya. Menatap lekat ke rumah Yuni, yang tak juga memperlihatkan salah satu penghuninya, yang teramat sangat diinginkan pemuda itu saat ini.

"Kamu bantu lah, Dek." Ari pun ikut menyokong permohonan Lukman pada kekasihnya.

Ami kembali melihat sekilas ke rumah Yuni. Gadis itu tak juga menampakkan diri. Mungkin dia tahu, ada Lukman. Biasanya hampir setiap malam dia nongkrong di teras rumah, malam ini justru tak tampak puncak hidungnya. Yang terlihat dari tadi hanya Rika dan ibunya saja.

"Iya, nanti lah Adek coba lagi, Da." Ami mencoba berpikir, langkah apa yang bisa ia tempuh untuk meyakinkan Yuni, atau sekedar mencari tahu perihal perasaan Yuni, ada tidaknya untuk Lukman?

🥀🥀🥀

Pulang kampung berikutnya, seminggu kemudian. Ami langsung mendapati sosok Yuni, saat turun dari bus antar kota, yang memang melewati jalan raya rumahnya.

"Yun..." Ami berteriak memanggil Yuni, yang hendak masuk rumah.

Yuni berbalik, lalu mendekati Ami yang sudah berjalan menuju rumahnya, "Nimi baru balik, nggak kuliah besok?"

Ami menggeleng, "Kan besok udah minggu, mana ada kuliah..." mereka duduk di kursi teras rumah Ami, "Yun, Nimi mau tanya sesuatu nich?"

"Ya?"

"Mengenai Bang Lukman..." Ami mengamati reaksi Yuni, memang berubah. Terkesan salah tingkah, kikuk atau sejenisnya lah --saat seseorang mendengar nama orang yang dicintainya disebutkan--.

"Kenapa dengan Bang Lukman?" Yuni berusaha mengalihkan ketidak beresan hatinya yang bisa saja terlihat dari pancaran wajahnya, yang berubah merona seketika.

"Bang Lukman, sebenernya dia udah lama suka sama kamu Yun. Tapi, dia belum berani untuk bilang. Kamunya menghindar terus. Kaya dulu, dia udah bolak balik lewat sini, cuma pengen sekedar lihat kamu, tapi kamu waktu itu kayak ngilang gitu aja..." Ami masih memperhatikan respon Yuni, "...Kamunya gimana sama dia?"

"Gimana apa Nimi?" Yuni mengalihkan wajah kemana-mana, berusaha menghindar dari tatapan Ami yang seakan menyelidiki dirinya.

"Ya, perasaan kamu ke Bang Lukman, ada nggak sih, Yun?"

Yuni sejenak terdiam, bagaimana bisa dia mengatakan tidak untuk urusan satu ini. Jelas sudah, pesona Lukman telah tertambat dalam sanubarinya yang paling dalam. Tapi, untuk mengatakan hal ini, dia tidak memiliki keberanian. Percaya atau tidak, Anwar masih memberinya peringatan. Acara tujuh belasan seminggu lalu, saat mereka kembali bertemu, saat dimana dari puncak pinang, Anwar melihat adiknya berduaan dengan lelaki yang sepantaran dirinya.

Lelaki yang dulu pernah diwanti-wanti untuk dijauhi oleh Yuni. Anwar, memiliki ketidak sukaan yang teramat jelas pada Lukman. Pemuda itu tidak suka bergaul, dia terlalu penyendiri. Di kampung ini saja, Lukman terkesan acuh tak acuh, di saat banyak pemuda seusianya, termasuk Anwar, senang saat berkumpul di salah satu kedai, atau pos ronda, dia tidak.

Terlalu anak mami kesannya. Keluar malam saja jarang, kerjanya hanya mendaki gunung saja dengan kawan-kawan SMAnya, yang jelas-jelas bukan salah satu dari pemuda kampung. Ya, Lukman tidak begitu bergaul di lingkungan tempat tinggalnya.

"Yun...?" Ami mengagetkan Yuni yang termenung.

Sulit untuk bilang iya, tapi juga tak ingin bilang tidak. Yuni merasa, perasaannya pada Lukman akhir-akhir ini semakin menyiksa saja, terlebih saat dia harus memaksa diri untuk tidak keluar, saar ada Lukman di sekitar rumah.

"Aku suka Nimi..." tiga kata yang dibiarkan mengambang diudara, tanpa tahu apa yang hendak dikatakan setelahnya.

Ami tersenyum, "Serahkan semua ke Nimi dan Uda Ari. Kamu harus bahagia kali ini, Yun."

Yuni hanya bisa pasrah, entah apa yang direncakan Ami untuk dirinya. Yang jelas, ada sedikit rasa lega dihati, kala menyampaikan perasaan yang sebenarnya. Ya, hanya Ami yang menjadi tempat curhat gadis yang beranjak dewasa itu. Sebentar lagi usianya delapan belas tahun. Banyak tekanan dalam hatinya yang ingin berontak, namun takut untuk menyampaikan.

Yuni, bak burung dalam sangkar. Tidak bebas kemana-mana, kecuali hanya untuk pergi sekolah.

🥀🥀🥀

Sore itu, Yuni tengah berada ditepi jalan depan sekolahnya. Dia justru mendapati sosok Lukman, yang sudah berada di angkutan umum yang memang sedang ditunggunya.

Sontak perasaan itu kian berbunga-bunga. Yuni naik dan duduk disebelah Lukman. Begitu dekat, debar-debar dihatinya semakin tak terkendali.

Lukman tersenyum seperti biasa, menatap gadinya yang kini duduk disebelah, bertempelan lengan dengannya. Terasa hangat, begitu nyaman. Tiga hari yang lalu, Ami mengirimkan SMS. Dia sudah tahu bahwa Yuni pun ternyata mencintainya. Dua hari berjuang, mengira-ngira waktu kepulangan Yuni, karena tidak ada nomor yang bisa dihubungi, gadisnya tak memiliki telepon genggam seperti dirinya. Cukup dikali ketiga, akhirnya mereka bisa duduk bersebelahan.

Kondisi angkutan sore itu tak begitu padat, posisi dirinya yang duduk disudut belakang sekali, lalu Yuni disebelahnya, tidak ada lagi orang. Lalu di bangku depan terisi dua orang lainnya, mobil sejenis carry, dengan cat warna putih melaju santai, memecah sore yang kian temaram. Jarak tempuh dari sekolah ke rumah berkisar empat puluh lima menit.

"Abang sayang banget sama kamu, Yun. Mau jadi pacar Abang?" akhirnya Lukman memecah hening, setelah beberapa saat hanya debar jantung mereka saja yang saling bersahutan.

Yuni masih terdiam, ingin sekali rasanya bilang iya, tapi dirinya masih sangat takut dengan keluarganya, yang tentu tidak akan setuju dengan hubungan mereka, terlebih Anwar.

"Kita jalani saja sebaik mungkin, beranilah untuk bahagia. Kita saling cinta, kelak kita akan buktikan, bahwa kita tidak salah pilih satu sama lain." Lukman menggapai jemari gadis pujaannya, menggenggam erat.

Yuni pun tak mampu, bahkan tak ingin menolak. Dia membalas menggenggam jemari pemuda yang sangat dicintainya itu. Lama, hingga akhirnya angkutan berhenti tepat di depan masjid seberang rumah Yuni.

"Kita akan jalani ini diam-diam, tunggu Abang selalu setiap pulang sekolah. Abang akan jemput," ucap Lukman sebelum angkutan itu membawa dirinya menghilang dari penglihatan Yuni, kekasihnya kini.

🥀🥀🥀