webnovel

Jika Itu Kamu

Gelombang biru yang besar telah menarik Mila ke dalam dunia novel yang dibuat oleh ibunya sendiri! Awalnya, Mila menyukai dirinya berada di dunia novel, tapi itu tidak bertahan lama. Adengan demi adegan sudah dilalui Mila. Ternyata Ibunya suka membuat tokoh utama menangis. Tujuan Mila sekarang adalah untuk keluar dari dunia novel! Dia tidak mau menjadi tokoh utama. Sampai akhirnya, ada seseorang yang menyadari bahwa dirinya tidak berada di dunia nyata. Orang itu membantu Mila agar sama-sama bisa keluar dari dunia yang fiksi ini. Apakah Mila bisa keluar dari dunia novel? atau takdir berkata lain?

Syafira_Putt · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
12 Chs

*Kecelakaan*

Selesai membeli barang antik itu, Iqbal dan Naura akan kembali ke mobil mereka. Namun Iqbal dibuat kasihan melihat seorang kakek akan menyebrang. Kakek itu yang sepertinya buta karena memegang tongkat dan memakai kaca mata hitam. Iqbal merasa iba. Dia tanpa ragu melangkah berniat untuk membantu kakek itu.

"Mas mau kemana?" cegah Naura.

Pelan-pelan, Iqbal melepas tangan Naura yang sedang melangkup lengannya. "Mas mau nolongin kakek itu. Kamu tunggu sebentar ya, jangan nyebrang dulu."

"Iya, Mas. Hati-hati," ujar Naura. Iqbal berjalan mendekati kemudian menuntun pria tua itu.

"Buang! Buang komputer itu!" seorang wanita berambut acak-acakan serta sedikit bau mendekati Naura dan mengucapkan hal aneh seperti itu.

Naura menjauh. Dia memegang perut buncitnya. Naura ketakutan melihat wanita itu. Penampilan perempuan asing itu sangat berantakan pasti wanita itu sudah tidak waras.

Berapa menit kemudian, seorang petugas RSJ menangkap wanita gila itu. Naura mendesau lega. Ia tadi sangat khawatir akan disakiti wanita gila itu.

Terlihat Iqbal sudah menyebrangkan Kakek tua itu dengan selamat. Dia hendak menyebrang untuk menghampiri Naura.

Naura maju satu langkah. Begitu juga Iqbal. Namun, tanpa Iqbal sadari, sebuah truk melaju kencang ke arahnya.

BRAAKKKK

Tubuh Naura seketika menjadi lemas. Mulutnya menganga. Ia tidak percaya apa yang dilihatnya barusan. Suaminya tertabrak sekaligus terseret kendaraan besar itu. Semua orang yang menyaksikannya kompak menutup mulut masing-masing.

Tidak ada yang bisa menghentikan termasuk supir truk itu. Rem blong, itulah penyebabnya. Setelah menyeret Iqbal beberapa meter, truk itu menabrak pembatas jalan dan jatuh ke sungai yang berada di bawahnya.

Cairan merah mengalir deras dari kepala Iqbal. Laki-laki itu masih bernafas walaupun kondisinya yang sudah mengenaskan.

"Ma-maafin a-aku, Na-naura." lirih Iqbal. Dia sudah tidak kuat lagi menahan rasa pedih yang mendera seluruh badannya. Iqbal tidak bisa mendampingi istrinya bersalin, melihat anak pertamanya apalagi menjadi wali saat anaknya menikah nanti. Detik kemudian, Iqbal menghembuskan nafas terakhir. Kelopak mata kanannya meneteskan bulir bening. Akhir hidup yang menyedihkan. Tidak ada yang bisa merubah takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan.

NAURA POV

Aku tidak percaya. Suamiku sudah tiada? Di otakku, aku mengingat jelas bagaimana suamiku terseret oleh truk. Aku waktu itu tidak bisa melakukan apapun. Aku memang bodoh. Aku menyesal telah mengajak Iqbal ke toko. Seharusnya aku langsung mengajak dia ke tempat lain. Namun, apalah gunanya menyesal. Itu tidak membuat Iqbalku kembali.

Sore ini, Iqbal dimakamkan bersebelahan dengan kedua orangtuanya. Ya, orang tua suamiku sudah tiada terlebih dahulu ketika Iqbal berusia 10 tahun. Iqbal yang menceritakannya sendiri padaku. Di rumah sewaan kami yang berukuran lumayan cukup besar, hanya aku, Iqbal dan ibuku yang tinggal di sana. Tidak ada satu saudarapun. Mengingat, ibu adalah anak tunggal di keluarganya begitupun Iqbal.

Hanya kami bertiga. Walaupun begitu, aku merasakan kebahagiaan dan cinta tulus yang ibu dan Iqbal berikan padaku.

"Ayo, Nak."

Pundakku disentuh oleh seseorang. Aku menegok. Tampak Ibu sedang menatapku dengan tatapan sendu.

"Bentar, Bu. Sebentar saja," Mataku kembali menatap makam Iqbal. Air mata mengalir deras dari kedua netraku. Sudah aku ucapkan beribu kata maaf melalui batinku. Namun, itu tidak membuat Iqbal hidup kembali.

"Ini udah mau hujan, Nak." ujar ibuku. Aku menolak.

"Enggak. Aku enggak bisa ninggalin Iqbal sendirian." aku menggelengkan kuat-kuat kepalaku.

"Sadar, Naura. Suami kamu udah tenang di surga sana. Tuhan sayang sama Iqbal makanya ngambil Iqbal secepat ini. Kamu harus kuat. Ingat, ada bayi di perut kamu."

"Ingat pesan Iqbal. Kamu harus ngerawat anak pertama kamu sebaik mungkin."

"Iqbal pasti senang, jika kamu enggak nangis."

Benar kata ibu. Aku harus kuat demi anak pertamaku dan juga Iqbal. Dengan bantuan tangan ibu, aku berdiri. Kami berdua meninggalkan pemakaman.

Selamat tinggal suamiku.

***

2 bulan kemudian...

"Bayar sewa rumah! Inget, Bu Lita udah nunggak selama dua bulan." tegur Bu Priska, pemilik rumah besar yang ditempati oleh Naura dan juga ibunya.

Naura tidak berani keluar. Dia tertunduk sembari mengelus perutnya. Jujur, ia tak bisa bekerja karena sedang mengandung. Perekonomian keluarga mereka anjlok sejak Iqbal meninggal.

"Iya. Saya usahain bayar minggu depan. Kasih saya kesempatan satu kali aja,"

Priska memicingkan mata. Dia tidak bisa percaya begitu saja. "Kaya gitu mulu ngomongnya! Buktinya mana? Mana?" tantang Priska. Lita tertunduk dalam.

"Nanti saya kerja. Tunggu aja uangnya kalau udah ada, saya bakal ke rumah Ibu dan kasih uang itu." Naura tiba-tiba muncul dan berbicara seperti itu pada Priska.

"Kalau kalian enggak bisa bayar lagi minggu depan sebaiknya kalian kosongin rumah ini!" ancam Priska. Wanita paruhbaya itu kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.

"Kamu mau kerja, Nak?" tanya Lita dengan tatapan prihatin.

"Iya, Bu." balas Naura. Ia menghela nafas. "Aku keluar dulu buat nyari pekerjaan ya," lanjutnya.

"Tunggu."

Naura menengok. "Apa, Bu?"

"Bayi kamu enggakpapa?"

"Enggakpapa Bu. Tenang aja." Naura tersenyum tipis. Setelah itu, ia meninggalkan rumah.

Di tengah panas teriknya matahari, Naura sama sekali tidak menyerah untuk mencari pekerjaan. Warung demi warung ia tanyai, namun hasilnya nihil. Tidak ada lowongan.

Karena lelah, Naura duduk terlebih dahulu. Untung saja dia membawa satu botol minuman kalau tidak, ia pasti akan sangat kehausan dan itu tidak baik untuk bayinya.

Melihat beberapa orang memberikan brosur pada setiap orang lewat, Naura bertanya-tanya.

Tiba-tiba Wanita berawakan pendek mendekati Naura.

"Jika anda tertarik, silahkan hubungi nomor atau email yang tertera di brosur ini." secarik kertas diserahkan ke Naura. Tak lupa wanita itu mengangkat sudut bibirnya. Naura membalas senyum dan menerima brosur itu.

"Penulis?" gumam Naura ketika pertama kali membaca isi brosur itu.

***

"Udah pulang, Nak? Gimana? Dapet kerjaan?" cecar Lita.

"Udah, Bu. Ini," Naura memperlihatkan brosur.

Lia menyipitkan mata. "Penulis?"

"Iya. Aku mau jadi penulis, Bu. Lumayan bisa buat bayar biaya rumah sewa kita," ujar Naura semangat.

"Kamu punya komputernya?"

"Ada kok,"

Naura berjalan menuju ke dapur.

"Bukannya komputer Iqbal udah dijual semua?" tanya Lita. Naura mengalihkan pandangan.

"Aku punya komputer satu lagi," sahut Naura.

Sejak hari itu, Naura disibukkan dengan kegiatan mengetik naskah. Entah kenapa, imajinasi Naura begitu tinggi ketika menulis di komputer dari toko antik itu padahal sejak kecil, Naura tidak begitu pandai untuk membuat cerita.

Sampai tibanya di mana hari pengumuman naskah yang lolos seleksi. Naura sangat berharap bisa lolos karena selain menulis, ia tidak bisa melakukan pekerjaan apapun.

Sebenarnya banyak orang yang ikut audisi itu, tapi hanya dipilih 10 orang saja oleh pihak juri untuk dikontrak. Naura berdoa semoga dirinya termasuk salah satu 10 orang itu.

'Naura Carroline'

Mendadak kedua mata Naura membulat melihat namanya tertera di salah satu peserta yang lolos seleksi.

"Akhirnya ibu bisa dapet uang buat persiapan kelahiran kamu," gumam Naura sambil membelai perutnya.

Naura tidak sadar kalau komputer itu adalah perubah nasib anaknya suatu saat nanti.