webnovel

Ketahuan

Semua hal yang Bulan ketahui tentang Timur rupanya tidak bisa membendung tangis yang terus mendesak. Maka ketika sampai rumah, Bulan menumpahkan tangisnya sembari menenggelamkan suara isak pada bantal. Dia ingin berhenti menangis, tapi air mata terus saja mengalir.

"Bulan!" Itu suara Seruni.

Hal itu membuat Bulan terperanjat. Dia seketika bangun dari posisinya yang tengkurap. Namun, gerakan tiba-tiba itu mengundang rasa mual di perutnya.

Dia urung menyahuti sang ibu, dan malah berlari menyongsong kamar mandi. Tanpa bisa ditahan lagi, dia muntah. Sayangnya tidak ada yang bisa keluar, sebab sejak pagi memang hanya teh hangat yang mampir ke lambungnya.

"Bulan!" Suara Seruni makin dekat.

Bulan menumpukan tangan di pinggir wastafel kamar mandi untuk menopang badannya yang mulai terasa lemas. Dia kemudian melirik jam yang masih melingkar di pergelangan tangannya.

"Ini masih jam satu siang. Seharusnya Ibu baru pulang kerja jam lima sore nanti," gumamnya parau.

"Lan!" suara Seruni kini sudah sampai di muka kamar Bulan. Lalu, suara gagang pintu yang didorong ke bawah terdengar.

Tidak ada upaya yang Bulan lakukan untuk menyembunyikan rahasianya lagi. Sudah cukup selama satu minggu lebih ini dia membohongi sang ibu. Apalagi saat dia menatap kaca, sembab pada wajahnya tampak sangat jelas.

Alasan apa lagi yang bisa dia buat untuk membohongi ibunya? Tidak ada. Maka Bulan memutuskan bahwa kali ini dia harus jujur.

"Lan!" Seruni mengetuk pintu kamar mandi di kamar Bulan.

Sayangnya Bulan masih belum bisa menyahut karena lagi-lagi dia muntah. Rasa asam menusuk dari lambung hingga tenggorokannya, dan mengundang mual-mual selanjutnya. Dia pikir, mungkin sampai malam nanti kondisinya masih tetap payah.

Suara muntah dari kamar mandi tentunya langsung mengundang kepanikan Seruni. Dia membuka pintu kamar mandi terburu-buru, untuk kemudian menemukan sang putri menoleh ke arahnya dengan senyum yang canggung.

Lalu, Bulan malah muntah lagi. Dia mengerang saat tenggorokannya serasa robek.

Seruni tidak mengatakan apa pun lagi. Dia langsung mengurut tengkuk Bulan dan menatap wajah putrinya dari cermin yang ada di atas wastafel.

"Bu," panggil Bulan.

Dia ikut menatap sang ibu di cermin, kali ini tanpa menyembunyikan raut bersalahnya. Sungguh, hal yang tidak ingin dia lakukan adalah membuat ibunya sedih. Akan tetapi, semua sudah terlanjut terjadi.

Seruni menggeleng. "Tidak usah bicara dulu. Ibu mengerti." Mata perempuan paruh baya itu berkaca-kaca, tapi tangannya tidak berhenti mengusap sepanjang tengkuk hingga punggung putrinya.

Bulan merasakan jantungnya tiba-tiba serasa diremas. Keringatnya menderas oleh rasa takut. Apa ibunya tahu?

***

Timur: Aku, Embun, sama Yasmin mau ke sana buat jenguk.

Bulan membaca pesan yang ternyata sudah dikirimkan oleh Timur sejak dua jam lalu. Sekarang sudah jam pulang kantor. Itu artinya, kemungkinan tiga sahabatnya akan datang sebentar lagi.

"Tolong jangan buat aku muntah dulu," bisik Bulan. Dia mengusap perutnya, lalu turun dari tempat tidur untuk berganti pakaian.

Meskipun perutnya belum membesar, Bulan tetap saja khawatir. Maka dia mengganti crop top-nya dengan kaus berlengan panjang, meski beberapa hari ini dia selalu merasa gerah. Dan, ya, karena kondisi yang masih belum membaik, Bulan menambah masa cuti kerjanya.

Tepat saat Bulan selesai berganti pakaian, suara pintu yang diketuk terdengar. Dia pun bergegas menuju pintu untuk membukanya. Seruni sedang bekerja, jadi hanya dia satu-satunya orang yang ada di rumah.

"Hai," sapa Bulan saat dilihatnya Embun dan Yasmin berdiri di balik pintu.

"Lo pucat banget." Itu komentar pertama dari Yasmin yang langsung diangguki oleh Embun.

Bulan mengulas senyum tipis. "Namanya juga lagi sakit." Dia kemudian mengedarkan pandangan karena tidak menemukan Timur.

"Timur masih di mobil. Dia dapat telepon," ujar Embun sambil menggandeng lengan Bulan dan menuntunnya masuk kembali ke rumah.

Yasmin mengikuti di belakang. Di tangan perempuan itu ada kantong plastik berukuran besar.

"Kamu bawa apa, Yas?" tanya Bulan. Dia hendak duduk di sofa ruang tamu, tapi Embun malah menarik lengannya.

"Udah, baring aja. Kamu udah kayak mayat hidup tau, nggak?" tukas Embun.

Bulan tertawa pelan, lalu mengikuti Embun menuju kamarnya sendiri. Dan iya, dia memang masih merasa badannya lemas, apalagi sejak pagi belum bisa memasukkan makanan ke dalam perut. Hanya sepotong roti tawar, dan teh daun mint yang bisa dia telan. Ya, meski satu jam setelahnya makanan itu keluar lagi.

"Ini buah tangan buat orang sakit." Yasmin memberikan jawaban untuk pertanyaan Bulan tadi.

Bulan hendak tertawa, tapi lagi-lagi mual menyerangnya. Dia melepaskan pegangan Embun di lengannya, lalu berlari ke kamar mandi. Embun dan Yasmin tentu saja mengikuti Bulan.

"Astaga, parah juga tifusmu. Makanya makan itu jangan dilupain. Masa kalah sama aku yang lebih sering ada di hutan."

Yasmin dan segala omelannya. Bulan ingin tertawa, tapi tidak bisa. Sebab, dia masih saja muntah, dan yang keluar hanyalah air.

Embun tiba-tiba saja jadi pendiam. Dia tidak menyahuti omelan Yasmin, dan fokus mengusapi punggung Bulan.

"Kakiku lemas," ujar Bulan lirih. Dia lelah menumpu badannya dengan lengan di wastafel. Namun, mual masih belum hilang, hingga dia kembali muntah.

Embun akhirnya keluar dari kamar mandi, lalu kembali dengan minyak angin di tangan. Dia menyingkap pakaian Bulan secara tiba-tiba, lalu mengoleskan minyak di perut sahabatnya.

Tindakan yang mendadak itu membuat Bulan terperanjat. Dia terkejut, hingga kakinya jadi lebih lemas. Tanpa bisa dicegah badannya luruh ke lantai.

"Astaga, Bulan!"

"Bulan!"

Embun dan Yasmin berteriak bersamaan. Mereka memegangi Bulan yang malah tersenyum canggung. "Maaf, kakiku lemas."

"Ayo balik ke kamar!" ajak Yasmin. Dia memegangi lengan kiri Bulan, sementara Embun sejak tadi sudah memegang lengan sebelah kanan.

"Kenapa kalian teriak?"

Tiba-tiba Timur muncul di depan kamar mandi. Matanya seketika melebar melihat kondisi Bulan yang terduduk di lantai kamar mandi dengan wajah pucat.

"Astaga!" Kini dia malah ikut berteriak, lalu berjongkok bersama Yasmin dan Embun. "Biar aku gendong aja."

Ucapan Timur membuat Embun dan Yasmin bergeser, hingga lelaki itu bisa meraih tubuh Bulan dengan mudah.

Bulan tidak dalam kondisi bisa menolak, sebab Timur sudah menyelipkan lengan di pungung dan bawah lututnya. Dia hanya bisa memejamkan mata dan mengatur napas, agar Timur tidak mendengar degup jantungnya yang menggila saat ini.

Namun herannya, aroma parfum Timur yang samar-samar masuk dalam hidung, membuat rasa mualnya perlahan memudar. Dia jadi merasa nyaman, dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya di dada sang sahabat.

"Kamu buatin Bulan teh, sana!" perintah Yasmin pada Embun.

Embun mendengkus, tapi tetap beranjak menuju dapur.

Sementara itu, Yasmin membantu menata tempat tidur, sebelum Timur akhirnya menurunkan Bulan dari gendongannya.

"Parah juga sakitmu," ujar Timur sambil duduk di tepi tempat tidur. Yasmin sendiri sudah menyeret kursi meja rias mendekati Timur.

Bulan tidak menjawab dan hanya mengulas senyum. Ada secuil ketidakrelaan karena harus turun dari gendongan Timur.

"Kamu benar-benar bisa merasakan siapa dia, ya," batinnya.

"Ini tehnya." Embun tiba dengan cangkir di tangan.

Timur pun bergegas membantu Bulan agar bisa duduk bersandar dengan bantal di punggung. Dia mengambil alih cangkir dari tangan Embun, lalu membantu Bulan meminum tehnya.

"Kayaknya kita harus pulang, deh, habis ini," celetuk Embun. "Bulan harus istirahat."

"Maaf, ya." Bulan menimpali dengan nada menyesal.

"It's okay. Kamu harus banyak istirahat biar cepat pulih," tukas Yasmin, dan diangguki oleh Timur.

Lalu, setelah teh dalam gelas tinggal separuh, dan Bulan tidak menunjukkan tanda-tanda akan muntah lagi, mereka bertiga pamit.

"Salam ke Ibu, ya. Kapan-kapan kita ke sini lagi," ujar Timur. Dia mengusap bahu Bulan lembut.

Bulan menganggukkan kepala, lalu menoleh ke arah Embun yang sejak tadi tak banyak bicara ataupun melakukan kontak fisik padanya. Sunguh terlihat aneh, tapi dia tak bisa banyak berkomentar.

"Cepet sembuh. Nanti kita camping lagi," ujar Yasmin sambil memasukkan tangannya di saku celana.

"Pasti," sahut Bulan.

"Ayo!" ajak Embun. Dia berjalan ke luar kamar lebih dulu, lalu diikuti Yasmin dan Timur.

Bulan bisa mendengar pintu depan ditutup setelah teman-temannya meneriakkan salam. Dia menghela napas panjang, lalu kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Namun, tiba-tiba saja dia ingin kembali bertemu Timur.

"Kamu suka dekat dengan dia?" tanya Bulan sambil mengusap perutnya. "Maaf, aku nggak bisa tahan dia di sebelahku buat kamu." Suaranya bergetar pelan.

Dia kemudian memejamkan mata, mencoba tidur agar pikirannya tidak semakin berkelana. Akan tetapi, serasa baru saja dia tertidur, tiba-tiba tubuhnya diguncang.

Sosok Embun berdiri di samping tempat tidur begitu Bulan membuka mata. Di tangan sahabatnya itu ada kantong plastik putih. Ekspresi Embun terasa begitu berbeda, hingga Bulan akhinya langsung bangun dari posisi tidurnya. Tanpa kata, Embun membantunya duduk bersandar dengan bantal di punggung.

"Kamu enggak bisa nipu aku, Lan," ujar Embun seraya duduk di sebelah Bulan. Dia mengeluarkan sebungkus biskuit dari dalam kantong plastik.

Ditodong begitu, Bulan mengernyit. "Maksudnya?"

Embun yang tadinya sibuk membuka bungkus biskuit, langsung menghentikan gerak tangannya. "Aku dua kali hamil, Lan. Aku tau."

Chương tiếp theo